Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menuliskan secarik gundah dan gelisah, secarik keresahan yang tak kunjung redanya, segumpal asa yang mungkin masih tersempil di dada, untuk negara yang tak henti menitikkan air mata rakyatnya, untuk negara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, yang melambungkan begitu tinggi cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, “Indonesia is Beyond Help” (Indonesia takkan tertolong lagi).
Indonesia takkan tertolong lagi, ungkapan yang begitu pesimistis ini saya temukan dalam sebuah dokumen, yang dikutip Buya Syafii dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Kemanusiaan dan Keindonesiaan”. Bahwa benar, kita tidak boleh sepesimistis itu, lantas mengambil kesimpulan bahwa Indonesia akan punah, bahwa Indonesia akan lenyap dimakan kerakusan, bahwa Indonesia akan hilang, tak berbekas lagi.
Siapa sangka, negara yang kita banggakan ini telah jenuh oleh persoalan-persoalan kemanusiaan, perselisihan ras, suku, dan agama. Kerap kali kita temukan saling serang antarwarga, antarkampung, antarpendukung klub sepak bola, antarpelajar, antara pemerintah dengan rakyat, antara dosen dengan mahasiswa, lalu di mana kita taruh otak kita? untuk bangsa yang sebesar ini, yang malah kita hanya mengacak-acak, bukan membangunnya. Lalu masihkah kita berkata Indonesia masih bisa tertolong?
Pendidikan hanyalah ilusi, yang ada hanya transaksi mengesampingkan humanisasi. Belum lagi berbicara teknologi, kita sudah disuguhi pornografi dan pornoaksi dari para pejabat, yang sukanya merayu para biduan. Belum lagi kegaduhan politik yang tak kunjung berhenti, sementara rakyat terus-terusan merintih, menahan lapar dan sakit. Hiburan jadi santapan, tidak kenal waktu siang dan malam, semua ramai menyuguhkan pembodohan, tak heran generasi muda kita kelimpungan. Di mana mencari pegangan? di mana mencari tuntunan? lalu, masihkah kita berkata Indonesia masih bisa tertolong?
Buya Syafii menegaskan bahwa, “Menyelamatkan bangsa adalah tugas dan kewajiban kolektif semua warga, tanpa kecuali.” Tidaklah menjadi kewajiban sebagian pihak saja untuk membangun dan membenahi. Melainkan tugas seluruh elemen bangsa. Namun, dengan fondasi yang cukup bobrok ini, masihkah Indonesia bisa berdiri tegak menahan pengeroposan dari dalam tubuhnya sendiri?
Selamatkan Indonesiaku
Belum lagi, jika bicara soal cukong-cukong kapitalis yang tak hentinya menindas dan menggerus kehidupan masya-rakat Indonesia. Saban hari, kepentingan asing terus masuk dengan gencarnya melalui celah-celah dinding kita yang makin keropos. Dan kita, hanya bisa berdiam diri menonton drama perampokan itu. Sampai habis harta dilumat para cukong dan penjilat. Sampai tak lagi tersisa harta benda di bumi kita. Masihkah Indonesia akan tertolong? Pertanyaan ini masih harus pula kita renungkan dalam-dalam di lubuk hati kita masing-masing.
Ancaman terbesar bagi NKRI
Sekiranya kita dapat memahami, persoalan apa yang membelenggu negeri ini. Pertama, runtuhnya moralitas masyarakat. Kejujuran di negeri ini adalah barang mahal. Terlalu banyak pembual di negeri ini. Pejabatnya gemar menebar sensasi. Belusukan dan pencitraan menjadi jati diri.
Moralitas kita semakin digerus oleh tontonan-tontonan yang tidak mendidik, perilaku elite politik yang kekanak-kanakan, dan bangunan tradisi yang ‘lebih barat dari Barat’ atau ‘lebih arab dari Arab’. Tentunya, ini dapat kita refleksikan secara mendalam. Bangunan moralitas kita harus dilandasi fondasi yang kokoh. Fondasi agama, fondasi budaya, dan fondasi konstitusi.
Maraknya kasus pelecehan seksual, kriminalitas, narkoba, pembunuhan, dan sebagainya tentunya cerminan bahwa bangsa kita masih memiliki penyakit moral. Penyakit moral ini yang perlu kita obat. Bukan hanya menyalahkan sistem dan proses pendidikan di sekolah, melainkan juga aspek-aspek pendidikan di luar sekolah, seperti keluarga, lingkungan, pergaulan, dan tontonan.
Kedua, cita-cita negara yang tak kunjung terwujud. Pancasila hanya menjadi pajangan di dinding sekolah dan kantor-kantor. Pancasila seolah menjadi barang museum yang dipamerkan hanya saat upacara bendera berlang-sung. Pancasila dasar negara. Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, “Pancasila itu diagungkan dalam ucapan tapi dikhianati dalam perbuatan.”
Terutama sila kelima, sila yang jauh digantung di langit. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jika pancasila itu mencita-citakan sebuah keadilan sosial, lantas kenapa kita sebagai bangsa tak kunjung juga sadar bahwa keadilan adalah hal mendasar dalam sebuah bangunan negara yang sejahtera.
Banyak pemberontakan terjadi lantaran tidak beresnya sistem keadilan yang diterapkan oleh para pemangku kekuasaan. Jika Pancasila adalah ideologi suatu bangsa, di mana kita posisikan ideologi dalam hidup kita?
Tapi bukan itu persoalannya, Pancasila dikhianati dalam perbuatan. Korupsi sana-sini, korporasi kapitalis dengan para ‘mafia’ kebijakan, penindasan kaum lemah (mustadh'afin), dan bentuk kedzaliman lainnya adalah wujud nyata dari khianatnya kita terhadap Pancasila.
Ketiga, kebodohan yang terus dipelihara. “Pendidikan kita adalah anak tiri yang kesepian,” mengutip lirik lagu Iwan Fals. Karena tidak lebih, sistem pendidikan kita seperti sebuah transaksi pasar. Sistem pendidikan yang transasksional tentunya akan berimbas kepada proses pendidikan itu sendiri. Yang terpenting adalah kita harus menyadari bahwa pendidikan harus didukung seluruh elemen. Dengan kesadaran ini, tentunya tanggung jawab mendidik generasi muda menjadi pe er kita bersama.
Keempat, problem ekonomi yang semakin menggelisahkan. Muhammadiyah beberapa waktu lalu telah memulai kembali gerakan-gerakan ekonomi, dengan adanya forum Temu Saudagar Muhammadiyah. Penulis pikir ini adalah langkah konkret, mengingat sistem ekonomi kapital saat ini sudah semakin kacau, menindas rakyat, dan cenderung berpihak kepada para pemodal dan investor asing. Dalam hal ini, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ekonomi yang kita anut, mengingat fenomena MEA yang membuat masyarakat kita makin panik.
Kemudian, hal yang paling mendasar yang menjadi anca-man bagi bangsa ini adalah bagaimana generasi muda kita yang semakin hari semakin 'melempem'. Pemuda tentunya bukan hanya embel-embel mahasiswa, menurut Yudi latif, “Pemuda bukanlah persoalan lutut lentur dan pipi yang merah merona, tapi pemuda adalah bagaimana pemikiran dan produk-produknya dapat hadir untuk meng-upgradetatanan peradaban dan perikehidupan masyarakatnya.”
Kemunculan kaum muda bukanlah sebagai agen perubahan, tapi hendaknya menjadi ‘pelaku’ perubahan. Pemuda adalah pemimpin masa depan, dan masa depan itu adalah saat ini. Jika generasi muda kita hanya terbawa arus kehidupan yang kapitalistik, hedonis, dan transaksiona. Maka benar jika dikatakan Indonesia takkan tertolong lagi, Indonesia is beyond help.
Kaum muda pulalah yang menjadi penentu akan menjadi apa bangsa ini ke depannya. Jika kita menganggap gerakan seperti ISIS, FPI dan gerakan-gerakan radikal lainnya adalah sebuah ancaman bagi bangsa, itu tentu tidak bisa disalahkan. Tapi bagaimana kita menyikapinya sebagai pemuda dengan sama-sama mengintrospeksi diri. Kata Buya Syafii, “ISIS itu hanyalah sebuah gerakan kecil, jika dibanding dengan seluruh Muslim di Indonesia, ISIS hanyalah secuil kuku, hanya saja ia mengganggu ketentraman.”
Kaum muda hendaknya kembali kepada identitasnya, creative minority, meskipun sedikit tapi memiliki pengaruh. Sebagai minoritas kreatif, tentu tuntutan peran kita dalam masyarakat untuk bisa menampilkan hal-hal baru, gerakan reflektif, dan gagasan-gagasan solutif guna menghadapi problematika dan dialektika berbangsa ini.
Situasi yang semakin tak karuan, hendaknya bisa kita benahi, sebagaimana idealisme pemuda yang betul-betul bersih tanpa kepentingan politik dan golongan.
Itulah kiranya menjadi ‘pekerjaan rumah’ kita bersama, mari kita bangun agar bangsa ini dapat bangkit dan bertahan, dan generasi muda kita tak loyo untuk menghadapinya.
Terakhir, hendaknya ada dalam diri kita sebuah kebaikan yang terpancar menjadi bilah-bilah cahaya yang mencerahkan. Jadilah pribadi-pribadi yang unggul baik dalam spiritualitas, intelektualitas, dan humanitas. “Faidzaa faraghta fanshob”, maka setelah kau selesai dari satu urusan, selesaikanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. “Waa ilaa rabbika Farghabb”, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap.
[1] Ketua Umum Pimpinan Cabang IMM Jakarta Timur, Pegiat Laskar Penulis Ikatan, Pegiat Komunitas Lestari Batikku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H