Tiga puluh dua tahun silam, saat itu penulis masuk awal Sekolah SMP, diajak sama orangtua untuk melihat persawahan yang ditanami bawang merah. Semua irigasi sawah masih serba alami, samping kiri dan kanan hanya ada tanah liat, ditumbuhi rumput ilalang, airnya masih bersih dan tidak bercampur lumpur banyak, dan saat pergantian musim pun bisa diprediksi bulannya, kapan kemarau dan kapan penghujan, Â bahkan jika habis panen bawang merah, lalu air sawahnya menyusut, maka akan muncul banyak ikan tawar yang bisa diambil dengan cara di tambak atau digogoh.
Ada banyak jenis ikan dengan dipegang (gogoh) langsung, seperti ikan betik, ikan sepat, ikan gabus bahkan ada banyak ikan keting dan lele. Sambil bawa timba atau plastik, semua ikan yang didapat langsung dimasukan, dan dibawa pulang lalu digoreng atau dibakar.
Saat malam hari, bersama teman seusianya, penulis juga pernah mencari belut dengan membawa patromak, dengan syarat air kali sedang surut, dan akan nampak jelas perbedaan antara ikan belut dengan ular.Â
Sayangnya penulis pernah lupa kalau yang terlihat seperti belut lalu diambillah, baru dipegang kok ada perasaan berbeda, kayaknya ini bukan belut, tapi ular, kontak saja langsung berteriak sambil mengipatkan ular tersebut ke arah depannya, dan terbirit-birit naik ke atas sungai dengan perasaan yang was-was.Â
Untung beberapa jam sebelumnya, sebelum  ketemu ular tadi, sudah sebagian belut sawah ditangkap, karena kalau malam hari, belut akan kelihatan di tengah-tengah irigasi dengan air yang tidak banyak dan tidak begitu cepat masuk ke lubang rumahnya atau mencari lubang lain yang penting selamat.Â
Belut dan ikan gabus yang didapatkan, bersama-sama teman sebaya, lalu dibakar dan dinikmati langsung, dengan ambil lombok dan kecap  lalu digerus atau di uleg dan dinikmati satu persatu, wow sensasi rasa yang tak terlupakan.Â
Penulis juga pernah mencari ikan tawar dibeberapa lahan sawah yang sudah ditinggalkan sama pemiliknya, Â karena habis panen dan pihaknya sengaja dibiarkan sawahnya biar mengering, hingga nunggu musim penghujan, biasanya 3 bulan jaraknya antara pergantian musim tersebut.Â
Biasanya ikan di irigasi atau disawahnya petani akan berkumpul di air yang masih menggenang, biasanya pas buangan air itulah banyak ikan berkumpul.Â
Sekarang, fenomenapergantian musim pun tidak menentu, cuaca alam serba tidak jelas, kapan saatnya kemarau, kapan saatnya musim penghujan, begitu pula dengan penggunaan pestisida  yang tak terbatas, dampaknya ikan disawah banyak, sekarang jarang sekali ditemukan, habitat ularnpun sudah mulai jarang ditemukan, ikan tawar yang dulu banyak, sekarang mulai menyuaut bahkan cenderung tidak ada, jika ada itu karena ikan ini daya tahannya tinggi untuk hidup dalam pencemaran sungai.Â
Sebagian Petani pun sudah merasakannya, apakah ini sebagai tanda bahwa kerusakan dan tingkat pencemaran air dan juga kandungan unsur hara tanah juga mulai tidak senormal dua puluh tiga tahun yang lalu.Â
Jarang ditemukan penanaman tanaman disawah dengan pola organik, mau diorganik khawatir tidak panen, karena tetangga sekelilingnya menggunakan pola non organik lewat obat kimia.Â
Hama penyakit semakin lama semakin kebal, ulat atau pun hama lainya semakin kebal dengan obat yang dulunya bisa dilakukan selama masa tanam hanya dua hingga tiga kali, sekatang beberapa kali disemprot, itupun tidak mempan hasilnya.Â
Untung masih ada model penerangan lampu yang nyala  dimalam hari, sehingga telur kupu-kupu akhirnya tidak menetas dan beberapa belalang dan kupu-kupu yang mau bertelur mati dibawah lampu yang diiai dengan air.Â
Hingga sekarang, para petani bawang merah hanya bisa berupaya untuk bercocok tanam seperti ini terus dan bukan berhenti dalam penggunaan obat pestisida yang sedikit, tapi malah over pemakaian. Belum tahu nasib sepuluh tahun yang akan datang nantinya, apakah ada dampak yang kentara akibat ulah manusia ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H