Pernikahan dini, dulu mitos, sekarang bukan mitos lagi, pasalnya dulu belum banyak lembaga pemerhati anak yang menyoroti terkait masalah pernikahan dibawah umur, sehingga data anak yang menikah pada usia anak nyaris tidak terdata, dugaan masih ada pemalsuan dokumen pun nyaris terjadi seperti menuakan usia anak dan modus lainnya, sehingga saat pengajuan ke KUA sudah dianggap memenuhi syarat dan kondisi hal seperti ini hal biasa.
Namun seiring banyaknya lembaga pemerhati anak dan juga lembaga perlindungan anak serta ketatnya aturan regulasi terhadap usia yang menikah pada usia anak sehingga angka pernikahan dini mulai menjadi isu yang seksi dan datanya langsung bisa dicari secara nasional.
Sebaran anak nikah diusia dini hampir merata. Bahkan dengan era digital ini, banyak anak dinikahkan karena hamil duluan, sehingga bagi orang tua itu adalah aib yang tidak terelakkan.
Khawatir menjadi bahan sindiran atau guncingan tetangga sebelah, akhirnya jalan satu-satunya anak tersebut dinikahkan dengan berbagai cara agar status mereka yang hamil duluan ini segera terselesaikan, mau dibawah kemana nantinya keturunan dari jabang bayi, jika nanti saat lahir tidak tahu ayah kandungnya.
Beberapa kabupaten di provinsi Indonesia yang menjadi kontributor pernikahan usia dini harus ekstra kerja keras. Mereka harus melakukan pengetatan secara regulasi dan sosialisasi secara holistik. Dilangsir dari portal nasional.republika.co.id bahwa Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengatakan, isu perkawinan anak adalah persoalan serius. BPS mencatat, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun di Indonesia relatif masih tinggi yakni di atas 20 persen. Penurunannya pun cenderung stagnan.
Pada tahun 2015, persentase perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 23 persen. Angka tersebut menunjukkan penurunan tujuh persen dalam periode waktu tujuh tahun. Berdasarkan data BPS, terdapat indikasi perkawinan usia anak di hampir semua wilayah Indonesia. Provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak tertinggi pada 2015 adalah Sulawesi Barat yakni 34 persen.
Kemudian diikuti Kalimantan Selatan sebesar 33,68 persen, Kalimantan Tengah sebesar 33,56 persen, Kalimantan Barat sebesar 32,21 persen, dan Sulawesi Tengah sebesar 31,91 persen. Ini artinya satu dari tiga anak perempuan di provinsi-provinsi tersebut menikah di bawah umur.
Pernikahan Dini Sebagai Budaya
Beberapa wilayah di pegunungan, rata-rata yang dinikahkan adalah lulusan SMP dan tidak lanjut sekola, hitungan setelah lulus dan berhenti sekolah karena tidak lanjut, orangtua lebih menyarankan, ada dua opsi pilihan, suruh bekerja agar mendapatkan hasil dan bisa meringankan beban hidup orangtuanya, atau dijodohkan dengan pria dikampungnya atau kerabatnya, orangtya merasa kesulitan jika anaknya disekolahkan ke pendidikan menengah, karena faktor jarak sekolah dan ekonomi keluarganya.
Alasan yang lainnya adalah kekhawatiran lingkungan yang sekarang cenderung berbahaya, anaknya nanti ikut kumpulan anak punk yang akhirnya nanti terjerumus ke hal-hal negatif, maka pilihan orangtua lebih baik masih bisa mengharumkan nama baik keluarga daripada menjadi aib keluarga.
Nikah muda saat usia 16 tahun dianggap budaya, karena secara undang-undang perkawinan itu dibolehkan, sehingga pihak orangtua tidak melihat undang-undang perlindungan anak, dianggap mereka sepanjang tidak ada unsur pelanggaran dan negara mengakuinya, ya oramgtua mengikhlaskan melalui pengajuan pencatatan pernikahan secara resmi.
Kasus pernikahan yang hamil duluan, hanya sebagian kecil saja, rata-rata karena pergaulan bebas anak, dan anak sekarang dengan dunia digital sedikit susah diarahkan, mereka baru menangis atau merasakan kesalahannya setelah terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, hamil diluar nikah, dan anehnya berdasarkan penuturan teman penulia yang bekerja di kantor KUA setiap bulan ada kasus pengajuan nikah tapi kondisi perempuan sudah hamil, ada yang sudah sebulan, dua bulan bahkan empat bulan.
Pernikahan Dini sebagai Kodrat
Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana agama yang sesuai dengan kodrat manusia, agama Islam telah memberikan aturan dan tatanan di dalam menjaga nilai-nilai moral manusia dan kemuliaan manusia disisi Allah dan di dalam lingkungan pergaulan antar manusia.
Di dalam pergaulan masyarakat kita sebagai bangsa telah diatur tentang perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi perkawinan merupakan dambaan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk memperoleh keturunan sebagai generasi penerus dalam keluarga.
Permasalahannya pada saat ini, interaksi antar satu manusia dengan manusia lain tidak dapat lagi dibatasi oleh golongan, suku, ras, bangsa atau agamanya sendiri saja, melainkan telah berkembang amat pesat sehingga menembus batas-batas golongan, suku, ras dan agama tersebut. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki bermacam-macam suku dan agama serta merupakan suatu bangsa yang kaya akan pluralisme Undang-Undang maupun kebudayaan sehingga tidak mustahil menyebabkan terjadi perkawinan antar suku, ras, dan antar agama dalam masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H