Dia mengatakan bahwa orang Suriname hanya bisa berbahasa Jawa kasar, tidak bisa Jawa halus seperti kromo atau kromo Inggil.
Tidak putus di situ, Pak Peter mulai bercerita pada saya mengenai sejarah orang Jawa Suriname di Groningen. Beliau mulai menuturkan bahwa dahulu ada perusahaan Belanda membuat pabrik pengolahan kayu di Groningen dan banyak orang jawa yang dipekerjakan di sana.
Alasan mereka mempekerjakan tenaga kerja Jawa adalah mereka mengetahui kalau orang Jawa sangat ahli dalam mengolah kayu. Wah, jadi mengingatkan saya dengan Jepara yang tersohor karena kerajinan kayunya.
Ada satu hal yang ia sampaikan dan membuat saya terenyuh. Pak Peter mengatakan sangat bangga pada saya karena masih tidak melupakan bahasa dan tradisi Jawa.Â
Beliau mengetahui, bahwa biasanya anak orang Jawa yang tinggal di luar wilayah orang Jawa seperti di Jakarta atau di luar negeri lain kebanyakan tidak mampu berbahasa Jawa. Ia berpesan pada saya untuk tidak melupakan budaya dan tradisi Jawa.Â
Wong Jowo dudu lali Jowone.
Ehh beliau malah bilang, "Wis nanti dolan-dolan ning omahku yoo, cari wae aku ning kantoor bus di hoofstation. Wong kono wis ngerti aku Peter Jowo, hehehe". Hahaha "Nggih Pakde, matur nuwun" sahut saya dengan rasa gembira dan kagum.
Itulah sedikit cuplikan "pengembaraan" saya di Groningen mengenai orang Jawa Suriname. Memang sayang saya belum mengeksplor seluruhnya. Namun saya mendapatkan hal paling berharga dari dua discovery tadi, adalah untuk lebih bangga lagi akan identitas kultural kita.Â
Sudah saatnya kita tampilkan budaya kita di depan dunia tanpa rasa malu. Lihat orang Jawa Suriname yang dengan bangganya mengaku sebagai Wong Jowo meski mereka terpisah jauh sekali dengan tanah jawa. Karena kalau bukan kita siapa lagi penerus budaya kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H