Sudah kurang lebih empat bulan lamanya saya meninggalkan negeri kincir angin.
Ya, tuntutan akademis yang mengharuskan saya untuk tetap stay di sana telah ditunaikan dan memang sudah saatnya untuk kembali. Tetapi, memori yang ditinggalkan Belanda sangatlah membekas di diri saya.
Di Belanda, saya berkuliah di University of Groningen, sebuah universitas research yang terletak di ujung timur laut Belanda dekat perbatasan Jerman. Jaraknya dari Amsterdam kurang lebih 170 km dan dapat ditempuh selama dua jam menggunakan bus atau kereta.
Groningen ini adalah kota yang memiliki banyak keunikan. Kota yang berikon Martini Tower dan RUG Academiegebouw ini sangat dikenal di seantero Eropa sebagai kota pelajar.
Bayangkan, 35% penduduk kota ini adalah pelajar yang berkuliah di 3 perguruan tinggi, mulai dari University of Groningen, HanzeHoogeschool, dan Minerva School of Art. Selain itu, Groningen dikenal memiliki dialek lokal yang khas membuatnya berbeda dengan kota-kota lain di Belanda.
Di balik keunikan itu, terdapat satu hal lagi yang sangat menarik bagi saya yaitu banyaknya komunitas Jawa Suriname di kota ini.
Salah satu corak Jawa di kota ini yang sangat kentera adalah banyaknya restoran Jawa Suriname di setiap sudut kota. Selain itu, terdapat juga Masjid Jawa yang terletak di daerah Hoogezand, sekitar 20 menit dari pusat kota Groningen.
Corak Jawa yang sangat terlihat di kota ini membuat saya ingin untuk mengeksplornya lebih dalam lagi. Maklum, saya ini setengah Jawa. Ibu saya Cah Sragen (Sragentina mana suaranyaaa?!).
Penelitian saya (cie elah penelitian, bosque :D) dimulai dengan memasuki beberapa restoran Jawa yang ada di Groningen. Salah satu yang paling hits adalah Warung Jawa.Â
Bagi warga Indonesia di Groningen, Warung Jawa ini boleh dikatakan restoran Jawa yang paling enak dan cukup murah. Banyak variasi menu di restoran ini, mulai dari ayam goreng kecap, bakmi ayam, dan nasi goreng. Namun, yang menjadi favorit adalah menu Soto ayamnya.Â
Isi soto ayamnya memang sedikit berbeda dengan di Indonesia. Mereka menggunakan soun dan potongan kering kentang asin untuk menjadi isian soto. Tak hanya itu, kuah sotonya juga bening.Â
Meski begitu, dari segi rasa sudah cukup menyamai soto ayam di Indonesia. Kalau bisa digambarkan rasanya mirip soto bening yang ada di Boyolali. Semangkuk soto plus nasi putih dibandrol dengan harga 6.50. Untuk kelas Belanda, harga ini terbilang murah.
Sayang saya lupa namanya. Maklum mereka tidak biasa berada di front desk atau kasir restoran itu. Mereka terlalu sibuk melayani pelanggan yang selalu datang silih berganti.
Maju ke kasir, ini lagi yang unik. Kasir restoran itu adalah lelaki berkulit hitam yang di mana perawakannya tidak ada Jawa sama sekali, lebih mirip orang Afro-American.Â
Akan tetapi, dia mengatakan pada saya bahwa ia orang Jawa juga. Lanjutnya, ia menuturkan kalau banyak orang afro di Suriname itu juga banyak yang campur Jawa. Maklum, selain Jawa di Suriname sendiri terdapat banyak etnis yang berasal seluruh dunia seperti India, Afrika, dan Tionghoa.
Tak hanya itu, ia mengaku pada saya kalau ibunya keturunan Jawa Tengah bagian barat, yaa sekitar wilayah Banyumas-an sana. Mendengar hal itu, saya menimpali, "Wah ora ngapak ora kepenak kiye" yang dibalas dengan tertawaan kecil darinya.
Sayang, dia mengaku sudah kurang bisa berbahasa Jawa karena dari kecil sudah bermigrasi ke Belanda. Akan tetapi rasa cintanya pada Jawa sangatlah besar. Ia bermimpi bahwa suatu saat nanti ia dapat mencari dan mengunjungi keluarganya di Jawa sana. Sayang, saya tidak mendapatkan momen untuk berfoto dengannya.
Lepas dari Warung Jawa, pengembaraan saya berlanjut. Kali ini sebenarnya bukan discovery yang disengaja, namun di sinilah saya menemukan banyak sekali informasi tentang komunitas Jawa Suriname di Groningen.Â
Saat itu, saya sedang ingin menaiki bus menuju ke rumah kawan saya. Busnya adalah bus elektrik nomor 1, dan memulai perjalanannya dari Stasiun Groningen. Jadi saya naik dari stasiun untuk menaiki bus itu.
Selang 5 menit tiba-tiba sang supir berteriak pada saya dengan Bahasa Belanda yang saya tidak ketahui.
Saya menjawab "Sorry I don't speak dutch".
Sang supir menanyakan "You Speak English?"
"yes, I do," balas saya
Beliau lanjut bertanya lagi "Melayu?"Â
Saya jawab "Melayu, boleh" sambil ada rasa kaget juga dalam diri saya, wah boleh juga ini driver. Kekagetan saya tidak sampai di situ, si supir langsung mengatakan "Boso Jowo??" Sontak saya merasa terkejut dan senang. Dengan perasaan bangga saya menjawab, "saget, Pak".Â
Si Pak Driver-pun tersenyum sembari mengatakan "Enteni sik yoo, aku arep ning toilet sikk" yang berarti: tunggu dulu yaa, saya mau ke toilet dulu.
Saya timpali pernyataan Pak Driver itu dengan teriakan "oke !!!". Waduh senang bercampur bangga menyelimuti perasaan saya. Ternyata ada juga wong'e dewe di Eropa hahaha.
Sekembalinya dari toilet, si driver ini kembali ke bus dan menjalankan kendaraannya. Di tengah jalan beliau menyuruh saya untuk maju ke sebelah kabinnya untuk ngobrol santai, mengingat toh juga bus dalam kondisi kosong. Beliau memperkenalkan namanya yaitu Peter Admodjo, nama yang khas untuk seorang Jawa Suriname.Â
Memang biasanya Orang Jawa Suriname menamai anaknya dengan western name dilanjutkan nama keluarga. Pembicaraan kita berlanjut ketika beliau mulai bertanya pada saya soal-soal kehidupan saya seperti apa saya studi di sini, jurusan apa, dan tinggal di mana dengan Bahasa jawa Ngoko atau bahasa Jawa kasar.Â
Dia mengatakan bahwa orang Suriname hanya bisa berbahasa Jawa kasar, tidak bisa Jawa halus seperti kromo atau kromo Inggil.
Tidak putus di situ, Pak Peter mulai bercerita pada saya mengenai sejarah orang Jawa Suriname di Groningen. Beliau mulai menuturkan bahwa dahulu ada perusahaan Belanda membuat pabrik pengolahan kayu di Groningen dan banyak orang jawa yang dipekerjakan di sana.
Alasan mereka mempekerjakan tenaga kerja Jawa adalah mereka mengetahui kalau orang Jawa sangat ahli dalam mengolah kayu. Wah, jadi mengingatkan saya dengan Jepara yang tersohor karena kerajinan kayunya.
Ada satu hal yang ia sampaikan dan membuat saya terenyuh. Pak Peter mengatakan sangat bangga pada saya karena masih tidak melupakan bahasa dan tradisi Jawa.Â
Beliau mengetahui, bahwa biasanya anak orang Jawa yang tinggal di luar wilayah orang Jawa seperti di Jakarta atau di luar negeri lain kebanyakan tidak mampu berbahasa Jawa. Ia berpesan pada saya untuk tidak melupakan budaya dan tradisi Jawa.Â
Wong Jowo dudu lali Jowone.
Ehh beliau malah bilang, "Wis nanti dolan-dolan ning omahku yoo, cari wae aku ning kantoor bus di hoofstation. Wong kono wis ngerti aku Peter Jowo, hehehe". Hahaha "Nggih Pakde, matur nuwun" sahut saya dengan rasa gembira dan kagum.
Itulah sedikit cuplikan "pengembaraan" saya di Groningen mengenai orang Jawa Suriname. Memang sayang saya belum mengeksplor seluruhnya. Namun saya mendapatkan hal paling berharga dari dua discovery tadi, adalah untuk lebih bangga lagi akan identitas kultural kita.Â
Sudah saatnya kita tampilkan budaya kita di depan dunia tanpa rasa malu. Lihat orang Jawa Suriname yang dengan bangganya mengaku sebagai Wong Jowo meski mereka terpisah jauh sekali dengan tanah jawa. Karena kalau bukan kita siapa lagi penerus budaya kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H