Mohon tunggu...
Tommy Patrio Sorongan
Tommy Patrio Sorongan Mohon Tunggu... Penulis - Bocah Kaliabang Dukuh Bekasi

Bukan ahli macem-macem... menulis hanya untuk mempertanyakan sesuatu yang dilihat dan dirasa

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Soal Mesin Pompa Cor Saja Ternyata Kita Belum Berdikari

5 Juli 2020   21:30 Diperbarui: 9 Juli 2020   13:09 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesin Cor Pagi itu | dokpri

Dur Dur Dur... kurang lebih menggambarkan situasi pagi itu di depan rumah saya.

Nyala mesin molen dan pompa cor mewarnai awal hari saya. Trucknya pun pagi itu menutupi jalan depan rumah saya yang tidak terlalu besar di bilangan Harapan Indah.

Ya, memang pada saat ini saya sedang fokus merenovasi rumah dan menambah satu ruangan lagi di atas kamar tidur orangtua saya.

Pompa cor mulai diaktifkan dan molen mulai dihidupkan. Curr... puas rasanya pada saat saya melihat adonan semen mulai membanjir lantai atas yang telah dipasangin bondex and besi-besi penyangga. 

Terbesit di pikiran saya "wah enak juga pakai mesin besar ini. Paling tidak saya tidak perlu berlelah lelahan untuk mengaduk dan mengangkat adukan semen secara manual." 

Maklum hari sebelumnya saya membantu para tukang untuk bekerja rodi mengangkat dan mengecor tiang-tiang tulangan (hanya tiang tulangan) penyangga konstruksi.

Hasilnya, malam itu saya tidak bisa tidur memegangi pinggang saya yang rasanya mau lepas.

Dalam proses pengecoran saya mencoba berbicara dengan pak supir mobil pompa cor itu yang bernama pak Langgan.

Saya memulai cerita dengan bertanya dari mana sebelumnya, dan beliau menjawab, "dari cibubur pak".

Obrolan kita berlanjut terus karena jujur saja saya Kepo tentang cara kerja mesin ini dan juga memang saya dari kecil suka melihat alat-alat berat seperti ini.

Pada saat saya bertanya tentang dimana mesin pompa cor ini dibuat, beliau menjawab "Jepang, mas" sambil menunjuk stempel merek pompa itu yang bertuliskan IHI Corp Japan. 

Beliau melanjutkan, "yang kayak begini gaada mas di Indonesia, belum bisa kita bikinnya. Selama ini yang ada dijalan Indonesia itu kalau tidak buatan Jepang yaa Taiwan. Makanya wajar kalo mas lihat truknya tua-tua.

Maklum, truck ini biasanya build up langsung dengan pompanya dari sana dan dijual disini dalam kondisi bekas. Ga ada yang baru".

Sontak penjelasan bapak itu mengagetkan saya. Selama itu saya berpikir kalau alat itu bisa dibuat di Indonesia dan pembelian truck pompa cor bekas itu karena alasan harga yang lebih murah saja. Ternyata, memang tidak bisa membuat barunya dengan chasis truck baru yang dijual di Indonesia.

Saya mulai berpikir, kenapa alat sesederhana dan sangat helpful ini tidak bisa dibuat di Indonesia. Indonesia kan negara besar dengan jumlah proyek infrastruktur yang signifikan. 

Kalau begini, maka pembangunan infrastruktur di Indonesia bisa dikatakan bergantung pada negara lain. Memang mungkin bisa disubstitusi secara manual menggunakan tenaga manusia, tapi ayolah, mau sampai kapan pekerjaannya selesai dan berapa orang yang harus berlelah lelahan mengaduk adonan cor dan mengangkatnya. Belum lagi kalau menghitung berapa pinggang yang mesti diurut hahaha.

Dalam teori ekonomi, selama ini saya boleh dikatakan lebih condong mengarah pada mahzab Free Trade atau perdagangan yang bebas dan terbuka.

Alasan saya mendukung sistem ini karena akan menguntungkan konsumen dengan pilihan barang yang lebih banyak sekaligus menurunkan harga di pasaran. 

Mengapa bisa turun? Karena dipercayai negara-negara di dunia ini memiliki kemampuannya masing-masing dalam memproduksi jenis barang tertentu secara efisien, atau yang biasa disebut Comparative Advantage.

Teori ini mulai diperkenalkan oleh David Richardo, seorang ekonom liberal asal Inggris pada awal abad ke-19. Tentu hal ini akan berakibat turunnya harga di pasaran.

Contohnya, semenjak Big Three Detroit (Ford, General Motors, dan Chrysler) memindahkan pusat produksinya ke Meksiko lantaran memiliki nilai upah yang lebih kecil disbanding Detroit dan juga memiliki hubungan perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.

Hal ini pun berdampak pada bergeraknya harga mobil ke level yang lebih bisa bersaing.

Namun saya juga meyakini bahwa tidak semua industri bisa dimasukan dalam lingkungan perdagangan bebas. Industri-industri strategis seperti alutsista, alat berat, Steel dan semen tidak bisa kita gantungkan terhadap negara asing. Mana bisa kita menjadi negara yang besar, jaya, dan berdikari kalau untuk masalah industri strategis kita masih bergantung pada bangsa lain.

Melihat kondisi tentang si mesin pompa cor tadi, saya mulai berpikir. Saya melihat alat-alat berat itu adalah mutlak sebagai cabang produksi utama sebuah negara. Bahkan negara-negara dapat dikatakan sebagai negara yang kuat apabila punya industri alat beratnya sendiri. 

Kalau Indonesia tidak dapat memproduksinya, tentu pembangunan dalam bentuk apapun terkesan sangat bergantung pada negara lain. Apa kita harus menunggu bantuan asing baru membangun.

Dalam menyelesaikan persoalan ini, pemerintah harusnya bisa berkolaborasi dengan instansi swasta untuk mengembangkan teknologi.

Dengan kolaborasi seperti ini, pemerintah tidak perlu membuang dana besar untuk riset, cukup menggandeng swasta dan hanya bersifat memberi jaminan.

Contoh yang paling bisa kita tiru adalah Korea Selatan. Untuk membangun kemampuan mereka dalam pengembangan teknologi, mereka berkolaborasi dengan kelompok swasta.

Pemerintah Korea berusaha memanggil perusahaan teknologi asing untuk berkolaborasi dengan perusahaan lokal, tentunya dengan memberikan insentif yang menarik.

Tujuannya, adalah, untuk menarik dan memastikan alih teknologi kepada Korea. Pihak Swastalah yang nantinya berkolaborasi untuk membuat alat-alat muktahir.

Demikian juga dengan smartphone, Samsung tidak akan mampu membuat televisi tanpa belajar dari NEC, perusahaan Jepang.

Atau, misalnya, Hyundai tidak akan mampu membuat kereta cepat apabila alih teknologi dari perusahaan Prancis Alstom berjalan dengan mulus.

Dan Daewoo tidak akan mampu merilis kapal-kapal yang sangat besar apabila tidak belajar dari struktur kapal-kapal buatan Jepang, Amerika, dan Norwegia.

Sudah saatnya Indonesia memperkuat posisinya di mata dunia dengan berdikari di bidang teknologi. Penguasaan teknologi yang tinggi dapat membuat kita akan lebih dilirik sebagai kekuatan yang disegani. 

Diseganinya Indonesia di dunia internasional akan berdampak pada mulusnya kita mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yaitu menghilangkan penjajahan di atas dunia dan turut andil secara aktif dalam mencapai perdamaian dunia, bukan hanya jadi figuran atau pelengkap dalam perpolitikan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun