"Waaah ... Ayah bawa kelinci!" teriak anak laki-laki berusia lima tahun yang cukup mengagetkanku.
"Mana-mana?" Terlihat anak berusia lebih tua darinya, berlari menuju kami bersama beberapa teman yang lain.
Kami bertiga pun diletakkan di halaman belakang rumah. Lalu, hendak dipindah ke kandang baru yang lebih luas.
"Aku yang mindah, ya, Yah?" pinta anak perempuan yang ternyata anak sulung tuanku, usianya delapan tahun.
"Iya, hati-hati, ya. Pegang yang lembut!" perintah tuanku.
Kami bertiga pun menempati rumah baru dengan suasana baru. Melihat nyamannya suasana, aku berusaha menyelinap dari dinding rumah yang memang berupa besi-besi kecil yang berjejeran tidak terlalu rapat. Memang tidak lebar, tetapi ternyata cukup untukku menyelinap. Aku langsung berlarian di halaman samping  rumah tuanku.
"Ayah ... yang cokelat kabur!" seru Della si anak perempuan. Dia dengan lincahnya mengejarku.
Setelah tertangkap, aku pun dielusnya dengan lembut. "Namamu "Welu", ya!" serunya dengan sepasang mata yang berbinar.
"Trus, yang satu Kici, ya, Kak!" seru Alan, adiknya menunjuk temanku yang berwarna putih abu-abu.
"Oke, satu lagi Bani, ya, Anak-anak!" sahut tuanku. Kedua anaknya pun mengangguk setuju lalu kembali bermain-main bersama kami.
Aku sungguh bersyukur memiliki tuan baru yang sangat ramah dan penyayang. Mereka tak terlalu perhitungan  saat memberi makan kami bertiga. Bahkan istri tuanku, setiap hari, selalu memberi kami wortel dan kangkung yang dibelinya dari mlijo keliling langganannya. Padahal sebenarnya kami bisa makan rumput biasa yang tak perlu dibeli. Aku tahu, mereka memang tak ada waktu untuk mencari rumput-rumput itu, tetapi juga tak mau menyia-nyiakan kami.