Globalisme—proses penunggalan mendunia di bawah kepentingan ekonomi—bukannya tak mengundang resiko. Seringkali kenyataan menunjukkan alih-alih mempersatukan dunia, globalisasi justru meningkatkan fanatisme lokal, dan tidaklah selalu dengan cara yang baik.
Karena itu, tak heran jika dalam pengantar bukunya tentang kekuatan globalisasi dalam sepakbola, “How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization” (2004), sembari mengajukan pertanyaan perihal masa depan dunia, Franklin Foer pun menunjukkan betapa banyak orang memeluk erat tradisionalisme karena takut globalisasi akan menggerus budaya lokal (di Indonesia misalnya, kita kerap mendengar anjuran “marilah kembali ke akar tradisi” atau istilah “kepribadian nasional”).
“Beredar di antara para penggemar edan, penguasa gangster, dan pencetak gol Bulgaria yang sinting, saya terus-terusan memperhatikan bagaimana globalisasi telah gagal melenyapkan kultur, pertumpahan darah, dan bahkan korupsi lokal..,” kata wartawan The New Republic ini.
Karena itu, kesadaran multikultural tidaklah cukup meskipun ia menjanjikan dialog dan usaha ke arah saling memahami. Begitu pula dengan pluralisme; sebab sebuah proses peleburan identitas di padang pasir yang melenyapkan orisinalitas suatu budaya sebagaimana terjadi pada tokoh utama novel “Lawrence of Arabia, The Seven Pillars of Wisdom” bukanlah jawaban yang tepat untuk persoalan-persoalan dunia hari ini yang telah sebegitu kompleks.
Di sini, yang diperlukan adalah suatu kesadaran transkultural: sebuah usaha keluar-masuk dengan bebas dan enjoy berbagai lingkungan kebudayaan. Di mana bukan saja sebuah saling pengertian yang akan terbangun tetapi juga saling menyerap dan menajamkan.
Transkulturalisme adalah sebuah ‘dunia-antar’: secara sederhana, ia bisa jadi adalah seorang Indonesia, makan di restoran Italia, mengenakan kemeja buatan Prancis, jeans made in Amerika, jam tangan produksi Jepang, dan sepatu kulit Jerman, namun tak gagap berbicara bahasa Madura. Kesadaran “transkulturalisme”—meminjam penyair dan kritikus/ kurator seni Indonesia Nirwan Dewanto—lahir dari reaksi seseorang yang menyadari keberagaman lingkungan budaya dan memilih merangkap sekian banyak lingkungan budaya itu untuk menguji lingkungan budaya dari mana ia berasal.
Pada pertunjukan Bizzare on Stage: Flamenpati, tarian flamengo yang dibawakan dengan mengenakan pakaian Bali oleh Angela Lopez Lara adalah salah satu karya seni panggung yang menurut saya mencerminkan kesadaran transkultural ini. Demikian pula lagu False Adress (‘Alamat Palsu’ dalam bahasa Inggris) yang dinyanyikan oleh trio electon Helena Dad’ova, Adam Malik, dan Yohanes Tri Fajar dalam format pengantin Indonesia, ataupun Sonata Javanica yang dibawakan secara keroyokan oleh sejumlah artis (Leinad, Monika Anna Proba, Dorota Proba, Eva Bubla, Magdalena Kubala, Anna Pozzali, Vaida Kia, Suzanne, Ecaterina, Saori Yago, Angela Lopez Lara, dll).
Bahkan, betapa tampak pula bagi saya dalam karya-karya ini, usaha para artis membangun kesadaran transkultural lebih lanjut. Di mana berkesenian adalah sebuah usaha memproduksi sekaligus memparodikan diri. Karena bagaimanapun karya kepengrajinan seorang seniman tidaklah serta merta menjadi karya adiluhung yang lahir sebagai buah kreativitas menakjubkan individual. Melainkan akan selalu (dan pada akhirnya) merupakan: Pertama, buah modernisme artistik di belahan dunia mana pun. Kedua, hasil disiplin keilmuan di ruang studi yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Seperti halnya karya-karya prosa sastrawan Argentina, Jorge Luis Borges yang menulis ulang kisah tokoh-tokoh masyhur sebagai parodi dengan adonan unik antara fakta, fiksi dan sikap yang seolah-olah ilmiah; Angela, Helena, Leinad, dll juga tak segan-segan memperolok proses kerja kreatif seniman: memalsu dan menyelewengkan karya orang lain secara kreatif tanpa hasrat mencari pengakuan. Sehingga di sini penciptaan seni bukanlah hal sakral yang lahir dari rahim inspirasi suci seorang artis yang bebas dari keterpengaruhan. Tetapi seni—seperti juga sastra—seyogianya adalah jalinan intertektualitas mahaluas, yang pada giliran berikutnya merupakan awal dari proses pemaknaan terus-menerus di ruang publik.
Karena itu, seniman seharusnya tidaklah canggung menerima seluruh khazanah dunia sebagai warisannya yang wajar.
Eksperimen-eksperimen rada nekat