Mohon tunggu...
Melia Niangka Wardoyo
Melia Niangka Wardoyo Mohon Tunggu... -

Being Happy & reasonable are the keys to the succes of life.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bizarre on Stage

30 Maret 2012   06:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:16 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anna Pozzali, Magdalena Kubala & Alida Szabo (Instalation Art) contohnya, membuat pos ronda yang khas dan biasa kita temui di kampung-kampung di DIY dan daerah lain di pulau Jawa. Sesuatu yang tak mungkin bisa mereka temukan di negara mereka, di Eropa. Bagi Anna dan Magdalena, pos ronda adalah sesuatu yang ganjil dalam kehidupan di negeri asal mereka yang individualistik. Sehingga mereka pun merindukan kekariban khas Jawa ini. Karena itu, Pos Ronda boleh disebut sebuah karya instalasi yang mengapresiasi budaya Jawa secara positif. Meskipun saya ragu, apakah Anna & Magdalena mengetahui jika sebetulnya bagi orang Indonesia yang berasal dari luar Jawa, pos ronda juga merupakan sesuatu yang langka?

Lalu pertanyaannya berikutnya, benarkah budaya siskamling (ronda) di Jawa tak mengandung sisi negatif dari watak kebudayaan suatu masyarakat? Bukankah di balik spirit gotong-royong dan ihwal keintiman antarmanusia, pos ronda sesungguhnya juga mempresentasikan sifat masyarakat Jawa yang suka berbasa-basi dan memboloskan waktu sesuai dengan falsafah ‘mangan ora mangan kumpul’?

Keindonesiaan yang lain dipotret secara satir oleh Ida Lawrence & Darlane Litaay lewat karya perfomance-visual art-nya yang berjudul Bule. Keduanya mencoba mempertanyakan pandangan orang Indonesia tentang orang kulit putih (bule/ londo)—yang mana, secara tak langsung pandangan dan stigma ini tanpa disadari sesungguhnya berpotensi rasis-merendahkan. Di mata masyarakat Indonesia, ‘bule’ adalah the other, atau liyan dalam bahasa Jawa: Ia bukanlah kita, tapi orang asing yang aneh, banyak uang, tak punya tata krama, bahkan dalam lingkungan tertentu: kafir. Kasus ini ‘bisa jadi’ tak berbeda dengan persoalan rasisme di tempat lain: kasus negro (nigger) di Amerika misalnya, atau inlander dalam konteks jaman kolonial Belanda.

Perkara senada juga diungkapkan secara beramai-ramai oleh Teguh Hartono Patriantoro, Iris Schmidt, Nuno Barreira, Anna Pozzali, Magdalena Kubala, Monika Anna Proba, Dorota Proba, cs melalui karya happening art bertajuk Komodo Island—di mana dalam hal ini kehadiran ‘orang bule’ di Indonesia baik dalam kapasitas turis, pekerja, maupun mahasiswa yang seyogianya dapat menikmati obyek-obyek keindahan alam-budaya dan keramah-tamahan masyarakat Indonesia justru diperlakukan sebaliknya (sebagai obyek) oleh kenorakan masyarakat Indonesia. Contohnya, tak jarang terjadi kasus seorang turis diajak berfoto bersama.

Sedangkan happening art lain, Asongan, karya kolaborasi Alejandro Pino Rojas, Mathew Benuska & Ida Lawrence menggugat perlakuan diskriminatif para pedagang di Indonesia (baca: Jogja), terutama di sini para pedagang asongan yang sering menjual rokok dan lain-lain kepada orang asing (bahkan para perantau sesama orang Indonesia) dengan harga lebih mahal. Sesuatu yang seharusnya tak perlu terjadi di Ngayogyakarta yang selalu mengklaim ‘dirinya’ memiliki budaya luhur, elegan dan istimewa. Apakah hal ini bisa dikategorikan sebagai ‘kejahatan ala wong cilik’?; sehingga mall dan supermarket pun menjadi lebih manusiawi bagi kaum pendatang dan orang asing. Atau inilah salah satu bentuk orientalisme terbalik ala orang Indonesia?

Sementara itu, Adel Boros menyuguhkan kepada kita karya fotografinya: sebuah potret Indonesia yang menampilkan warna bendera Indonesia: merah dengan cabe dan putih dengan beras. Tak jelas di sini, apakah Adel hendak mengatakan bahwa ciri khas orang Indonesia adalah makan nasi dan suka lauk yang pedas?

Ada pula Michal Bielecki yang menceritakan sebuah sudut Indonesia lewat Bathup Singer. Dalam karya ini, ia tak lain mengemas ‘ritual’ menyanyi di kamar mandi yang sering dilakukan dengan riang gembira oleh perempuan Indonesia ke atas pentas, menjadi sebuah pementasan yang unik.

Masih dalam rangka membaca (ulang) Indonesia ini: tiga seniman Yogyakarta, Husni Wardhana, Aphit Chaniago & Nurul Hadi Koclok (Clown Serenade) mencoba menghadirkan sebuah dunia antahberantah dengan menuangkan nuansa gelap di atas panggung. Karya ini notabene adalah sebuah drama tragedi, di mana ironisnya kehidupan seorang pesulap amatir seolah-olah melebur dengan alam magis yang tidak riil.

Membangun kesadaran transkultural: upaya menjembatani keganjilan budaya

Namun toh, berbagai persoalan sosial-budaya-politik yang dikritik oleh para seniman di atas, baik yang timbul akibat benturan karakteristik budaya, keangkuhan lokalitas yang rasis dan primordial, maupun romantisasi terhadap Barat yang berlebihan, tentunya merupakan persoalan dunia hari ini yang masih akan terus menghantui kita pada masa-masa mendatang.

Banyak orang menyangka pluralisme dan multikulturisme merupakan penawar yang manjur. Tetapi nyatanya tidak. Tengoklah bagaimana di tengah pesatnya migrasi manusia, benda dan tanda—etnosentrisme, nasionalisme, dan xenofobia justru bangkit secara membabi buta di banyak tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun