repost: http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=146 Mengemas Panggung: Hidup, Keganjilan, dan Seni Hari Ini oleh Sunlie Thomas Alexander
: being strikingly out of the ordinary or at variance with some standard real or implied: as a: not suited to the situation; especially: being at variance with good taste or accepted standards (as fashion, design, or color) a bizarre little house, fit home for a troll her bizarre hanging sleeves b: odd, extravagant, or eccentric in style or mode bizarre art forms the early 20th century he became increasingly bizarre in speech c: involving sensational contrasts or marked incongruities: FANTASTIC the bizarre assurance of this mousy little man d: not falling within the bounds of what is recognized as normal: ATYPICAL bizarre bone formation the bizarre test scores indicated a schizophrenic tendency.
(Merriam-Webster’s Unabridged Dictionary, 2000)
DALAM dimensi sosial, hidup memiliki aturan berupa seperangkat nilai yang telah disepakati berdasarkan kepentingan bersama. Entah itu atas nama norma, adat istiadat, etika-moral, agama, maupun hukum positif. Dari sinilah kemudian lahir rambu-rambu yang memberi manusia semacam kerangka sekaligus arahan untuk menentukan: mana yang layak dan tak layak, yang wajar dan tak wajar, normal dan abnormal.
Namun begitu, hidup bukanlah sepotong garis lurus dan manusia tidaklah serta merta dapat menjadi makhluk yang selalu manut. Manusia cenderung memiliki kehendak bebas dan ke-penasaran-an (baca: rasa ingin tahu) yang besar, serta perbedaan persepsi-pemikiran maupun kegemaran dan tendesi psikis-sosial-politik. Dari kecenderungan inilah lantas lahir beragam ‘pelanggaran’ dan ‘penyelewengan’, mulai dari yang rumit hingga kepada hal-hal paling sederhana dan remeh-temeh.
Tentunya tak semua ‘pelanggaran’ dan ‘penyelewengan’ ini sesuatu yang tabu, buruk, dan jahat tatkala berbenturan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama itu. Kerap ia hanya dipandang sebagai hal aneh, tak lazim, dan eksentrik, sampai kepada anggapan ‘tak waras’ pada batas-batas tertentu yang lebih ekstrem—atau katakanlah, sebuah keganjilan yang melenceng dari kebiasaan umum (pakem); keluar dari bingkai kerangka normatif (sebagaimana coba divisualisasikan oleh desain poster Bizarre on Stage karya Gabriela Giegiel dan Ewa Smyk).
Toh, bagaimanapun keganjilan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Bahkan kadangkala alam pun menyuguhkan potensi subur bagi tumbuh-kembangnya hal-hal ganjil ini melalui fenomena-fenomenanya. Selain persoalan setiap person memang pribadi yang unik, seringkali pula sebuah keganjilan tercipta di lingkungan manusia lantaran perkara momen, situasi, kebiasaan, norma dan adat yang tak terlepas dari karakteristik ruang-waktu. Tanpa pemahaman secara komprehensif dan holistik, cara makan orang China dan Jepang menggunakan sumpit contohnya, adalah satu hal yang ganjil untuk orang Inggris. Tanpa pengetahuan dan empati, pengaulan bebas dan cara berbusana di Barat bagi sebagian orang Indonesia akan menjadi sesuatu yang aneh dan tidak senonoh.
Maka dalam hal ini, globalisme terkadang menimbulkan benturan-benturan kebudayaan di antara masyarakat dunia. Jika dulu melalui kolonisasi, Barat mencoba membakukan Timur sebagai sesuatu yang eksotik, terbelakang, dan tak logis; pasca-kolonial yang terjadi adalah sebuah orientalisme terbalik di mana Timur mencoba melakukan pembakuan atas kebudayaan Barat sebagai ihwal yang tak luhur, materialistik, dan banal. Sehingga dengan demikian, menjelmalah menjadi apa yang dilambangkan sastrawan Indonesia Sanusi Pane: Timur sebagai Arjuna dan Barat sebagai Faust.
Untuk itulah, seni (baca: Bizarre on Stage) di sini seyogianya hadir sebagai dialektika. Ia menyediakan ruang bagi manusia untuk berdialog secara terbuka dan terus-menerus melalui pencarian dan pengumulan tanpa batas—di mana kita bebas bermain-main (tapi) serius sembari berupaya membangun jembatan menuju orang lain. Di atas panggung kesenian-lah, sebuah keganjilan semestinya dengan gampang dan aman bisa diterima, diapresiasi, dan dikritik dengan terhormat. Eksplorasi bukanlah hal tabu, dan kejanggalan secara sah menjadi kekayaan berkreasi yang ‘berusaha’ autentik.
Tanpa berhasrat memaksudkan diri sebagai suatu gerakan pembaharuan dalam seni, Bizzare on Stage justru ikut merayakan kecenderungan seni dekade muktahir, di mana—melalui supremasi abstrak-ekspressionis—seni secara umum kian kehilangan bentuk fisik/ bakunya tatkala situasi jaman yang dialami memang dipenuhi ketidakpastian, ambruknya tata nilai, kekosongan, paradoks dan kekonyolan.
Apabila seni pramodern dan modern cenderung melahirkan karya yang bersifat langgeng perenial, seni kontemporer merayakan realitas efemeral, real time, dan totalitas kesesaatan. Tidaklah mengherankan karenanya jika seringkali seni kontemporer berwajah patologis, konyol, tak senonoh, dan mengganggu, jauh dari citra keindahan. Kegilaan kesenian di sini adalah pantulan dari ketidakwarasan, kekonyolan, dan ketidaksenonohan kehidupan nyata itu sendiri. Dengan cara yang tak lazim itulah, seni kontemporer mengartikulasikan kenyataan yang kerap disembunyikan atau tak disadari.
Seni kontemporer juga tak lagi mesti berbentuk karya rupa, gerak, kata ataupun suara. Ia bisa hadir dalam bentuk apa saja; ungkapan bentuk pun menjadi semena-mena, tanpa rambu, tanpa tata cara. Ia tak lagi representasi beku dan baku dari denyut aliran kehidupan, tetapi presentasi denyut dan gerak aliran kehidupan itu sendiri.
“What if in fact it is not the painter who paints an imagined reality but the imagination is shaping, painting the painter...,” tukas Eva Bubla, salah seorang artis dalam event ini.