Indonesia sudah tak asing dengan teror bom yang sudah berkali-kali terjadi di sejumlah daerah. Cara dan motif yang berbeda namun tetap 'mencoreng' bekas yang sama. Ya, lagi-lagi teroris selalu identik dengan sebuah agama. Di tambah kejadian kali ini mengintai gereja di lokasi yang berbeda. Akan semakin 'mencuat' kebencian antar umat beragama.
Meskipun para ulama dan da'i telah berkumpul untuk menyeru dan mengecam tindakan terorisme, tetap saja 'coretan' dan 'simbol' teroris telah terbenam dalam benak masyarakat tak hanya di Indonesia bahkan dunia, bahwa teroris selalu berlambangkan Islam.
Analisis awam yang cukup sederhana saja dari tragedi bom Surabaya 13 Mei lalu yang diduga dilakukan oleh sebuah keluarga.
Sebagai kepala rumah tangga, membina sebuah keluarga merupakan tantangan besar. Apalagi bila dipaksakan dengan pendidikan yang keras terutama bagi anak-anak. Â Selayaknya anak-anak masih memiliki jalur pikir yang dangkal namun nalurinya masih senang akan kebebasan (bermain dan melakukan hal-hal yang disukai).
Pengalaman pribadi saja, anak bila dipaksakan sesuatu yang kurang ia minati akan membutuhkan waktu lama untuk melakukannya. Kecuali bila diancam, siapa pun pasti mau tidak mau harus menjalankan. Apalagi bila ancaman itu membahayakan.
Tapi sifat dan watak anak-anak tentunya tak semua sama. Bisa aja ada yang berontak, menangis, menjerit, atau hanya diam.
Lalu apa hubungannya dengan kasus terorisme? Tentu ada, karena terduga pelaku bom bunuh diri di Surabaya termasuk anak-anak di dalamnya!
Menanamkan nilai-nilai keislaman dengan mencontohkan sunnah Rasul saja para orang tua perlu berpikir keras ditengah terjangan gadget dengan berbagai jenis media maupun aplikasi yang sering 'mencuri' perhatian anak. Karena merupakan hal yang wajar ketika gadget menjadi sesuatu yang menarik bagi mereka.
Lalu, bagaimana orang tua pelaku bisa begitu mudah menanamkan nilai-nilai jihad ala teroris dalam benak anak-anaknya?Â
Pengalaman emak-emak rempong, mengurusi satu anak saja sudah kerepotan apalagi dua, tiga, atau empat. Dalam satu waktu sebuah keluarga ini dengan mudahnya bisa berpencar dengan menenteng bom kemana-mana? Tentu, tidak lah semudah itu! Bagi seorang ibu menyuruh anak untuk membawa bekal masing-masing saja kadang harus mengomel berkali-kali.
Lalu apakah pelaku pengeboman dengan mudah mewanti-wanti anaknya untuk membawa sesuatu yang dapat membunuhnya seketika? Kadang mengangkat piring dari dapur saja susah, konon lagi membawa bom yang bisa merenggut nyawa? Ini di luar logika!Â
Jelas, ada dalang di balik tragedi ini. Keluarga tersebut mungkin hanyalah korban yang 'terpaksa' menjalankan perintah sesuai arahan sang dalang. Mungkin pun mereka tak tau apa yang dititipkan kepada mereka yang ternyata isinya adalah bom peledak. Atau mungkin saja mereka tau tapi harus mengejar waktu karena jiwanya terancam dengan bom waktu yang telah ditentukan.Â
Namun sayang, sang dalang mungkin terlalu cerdik untuk 'menghilangkan' jejak dengan memberantas sebuah keluarga utuh hingga tertutupi jalan bagi sang dalang terbuka kedoknya. Karena lagi-lagi, para santri dan da'i kembali mendapat bully dan dicurigai sebagai teroris.
Ini bukanlah pekerjaan mudah bagi Pemerintah beserta pejabat berwenang. Apalagi bila 'dalang' yang bermain bukanlah orang biasa. Ketika 'teror' menyita perhatian dan media, sang 'dalang' tengah menjalankan 'misi' terselubungnya agar tak tercium aroma 'liciknya'.Â
Mari tetap waspada. Banyak hal yang kadang tak teraba oleh media justru merupakan tindak terorisme yang lebih berbahaya.Â
Media dibuat sibuk untuk mengurusi berita aktual dan up to date mengakabarkan keadaan lapangan. Sementara ada berita lebih besar tengah melanda namun tak terjamah oleh media.Â
Semoga Allah tetap menjaga kaum muslimin dalam hidayah dan lindunganNya. Wallahualambissawab.(AJ)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI