Pesawat tempur generasi keempat yang digunakan oleh TNI AU, seperti F-16 dan Sukhoi Su-27/30, masih memiliki kemampuan yang signifikan. Terutama jika dilengkapi dengan teknologi avionik terbaru, radar AESA, dan sistem persenjataan canggih. Dengan pembaruan ini, pesawat tempur generasi keempat dapat menangani sebagian besar ancaman di kawasan, termasuk patroli udara, intersepsi, dan pertempuran udara (Richardson, 2019).
Namun, meskipun pesawat tempur generasi keempat yang ditingkatkan tetap relevan, mereka masih memiliki keterbatasan dalam menghadapi ancaman dari pesawat tempur generasi kelima seperti F-35 dan J-20. Pesawat tempur generasi kelima menawarkan keunggulan dalam hal kemampuan siluman, manuver yang lebih unggul, fusi sensor yang lebih baik, serta kemampuan perang jaringan, yang semuanya memberikan keuntungan dalam skenario pertempuran modern (Smith, 2006).
Apabila TNI AU memutuskan untuk tetap mengandalkan jet tempur generasi keempat, Indonesia akan memiliki kekuatan udara yang cukup untuk saat ini. Namun, dalam jangka panjang, ketergantungan pada jet tempur generasi keempat dapat menimbulkan beberapa kelemahan.
Keterbatasan Teknologi Siluman: Jet tempur generasi keempat tidak memiliki kemampuan siluman yang memadai, sehingga rentan terhadap deteksi radar canggih yang digunakan oleh negara-negara besar di kawasan (Smith, 2006).
Fusi Sensor yang Terbatas: Meskipun telah ditingkatkan, jet tempur generasi keempat masih tertinggal dalam hal integrasi data dari berbagai sumber sensor dibandingkan dengan jet tempur generasi kelima yang dapat menggabungkan data dari radar, infra merah, satelit, dan sistem lainnya secara mulus (Kostis et al., 2013).
Daya Tahan Terhadap Teknologi Modern: Sistem peperangan elektronik pada jet tempur generasi kelima jauh lebih canggih dan mampu mengganggu serta melumpuhkan radar dan komunikasi dari jet tempur generasi keempat (Bakita, 2010).
Dengan demikian, mempertahankan fokus pada jet tempur generasi keempat tanpa beralih ke generasi kelima akan membatasi fleksibilitas dan kapabilitas TNI AU dalam menghadapi ancaman dari negara-negara dengan kekuatan udara yang lebih maju.
Pengadaan peralatan militer, termasuk jet tempur generasi kelima, harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Susdarwono, 2019). Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa pengadaan peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri hanya diperbolehkan jika industri pertahanan dalam negeri belum mampu memproduksinya. Berikut adalah bunyi pasalnya: "Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari luar negeri hanya dapat dilakukan apabila Industri Pertahanan dalam negeri belum mampu memproduksinya sesuai dengan kebutuhan pengguna yang bersangkutan."
Dalam hal ini, karena Indonesia belum memiliki kemampuan untuk memproduksi jet tempur generasi kelima secara mandiri, TNI AU secara hukum diperbolehkan untuk mengakuisisi peralatan ini dari luar negeri, asalkan sesuai dengan strategi pertahanan yang telah disetujui.
Mengingat kekurangan yang ada pada jet tempur generasi keempat, TNI AU sebaiknya mempertimbangkan kombinasi antara memperkuat jet tempur generasi keempat dan secara bertahap mengakuisisi jet tempur generasi kelima. Pendekatan ini memungkinkan TNI AU menjaga relevansi dan kapabilitas tempur, sembari tetap mengoptimalkan anggaran pertahanan. Penambahan jet tempur generasi kelima, seperti F-35, bisa melengkapi armada generasi keempat yang ditingkatkan, sehingga menciptakan postur pertahanan udara yang lebih fleksibel dan siap menghadapi ancaman masa depan. Ini sesuai dengan paradigma modern bahwa kekuatan udara harus memiliki kemampuan untuk melawan berbagai spektrum ancaman, mulai dari konflik konvensional hingga peperangan asimetris.
Meskipun mempertahankan dan memperkuat jet tempur generasi keempat tetap penting, TNI AU juga harus mengejar kemampuan generasi kelima untuk memastikan kesiapan dalam menghadapi ancaman yang semakin kompleks.
Referensi
`Bakita, T. S. (2010). The USAF Fighter Force Structure in the 2020-2040 Timeframe. February 2010.
Kostis, T. G., Goudosis, A. K., Bezanov, G. I., & Sarkar, D. A. (2013). Stealth Aircraft Tactical Assessment using Stealth Entropy and Digital Steganography. Journal of Applied Mathematics & Bioinformatics, 3(1), 1792--6939.
Richardson, W. (2019). Strategic and fifth-generation NATO fighter aircraft. Journal of Military and Strategic Studies, 19(4). https://jmss.org/article/view/68871
Smith, E. a. (2006). Applying Network Centric Warfare in Peace, Crisis, and War. CCRP Publication Series, 602.
Susdarwono, E. T. (2019). Political Economy of the Procurement of the Changbogo Submarine Alutsista in the Framework of Towards an Independent Process for the Indonesian Defense Industry. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 4(2), 70--84. https://doi.org/10.20473/jiet.v4i2.15316
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H