Perhatikan kata-kata yang digunakan. Semuanya mewakili perasaan sastrawan bahwa pada suatu hari nanti, saat diat telah tiada, karyanya akan tetap ada, dibaca oleh manusia. Pada saat itu dia masih mampu membersamai pembacanya meski jasadnya telah tiada.
Nah, bagaimana agar pikiran-pikiran kita, emosi-emosi kita tatap abadi, dan tak ikut hilang saat jasad kita tiada? Jangankan saat jasad kita telah tiada, kata-kata yang terucap lisan akan hilah setelah diucapkan. Maka di sinilah pentingnya menulis. Menulis adalah upaya menuju keabadian, kata HAMKA, seorang ulama dan sastrawan yang dimiliki Indonesia, yang karya-karyanya masih dibaca meski dia telah tiada sejak puluhan tahun lalu, yang salah satu maha karya, "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk" telah dijadikan film dan sukses mencuri hati pata penintonnya. Contoh lainnya adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang kita baca di atas.
Jadi, apa kesimpulannya? Kesimpulannya adalah, berkaryalah dengan kata-kata. Tapi jangan jadikan kata-kata menjadi kosong tak bermakna. Berkaryalah dengan kata-kata untuk menyebarkan inspirasi, baik itu, baik itu karya tulis ilmiah, karya sastra, dll. Menulislah, untuk menyebarkan ilmu, baik itu Anda sebagai guru, dosen, pejabat, filsuf, dokter, wartawan, atau sebagai siswa dan mahasiswa. Menulis adalah upaya pembebasan, kata filsuf Eksistensialisme, Jean Pau Sartre. Ya, menulis adalah upaya pembebasan manusia dari kesempitan berpikir, pembebasan dari kekosongan otak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI