Aku merasakan kehadiran cinta Rasul pada umatnya, termasuk kepada diriku. Aku larut menghayati lantunan cinta ummatnya yang hadir dalam acara maulid itu. Ummatnya yang tak mampu membalas cinta beliau yang teramat besar. Ummatnya yang hanya mampu mengungkapkan cinta secara verbal, dan berusaha meneladani sikap dan perilaku beliau. Dengan Bahasa Arabku yang pas-pasan aku mencoba menghayati lantunan cinta berbentuk shalawat yang dipandu oleh sang Qadhi Gorontalo, Drs. Rasyid Kamaru yang terdengar syahdu:
ALLAHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD
MUHAMMAD RASULULLAH HABIBULLAH
YA ALLAHU YA ALLAHU
Aku juga melihat mereka, para pelantun cinta itu, lantunan cinta yang dalam bahasa lokal disebut "dikili", larut dalam lantunan cinta. Lantunan cinta verbal, yang diharapkan bisa direalisasikan dalam tindakan nyata, dalam bentuk memperbaiki akhlak, rajin beribadah. Pemimpin atau halipa diharapkan bisa meneladani akhlak Rasul dalam memimpin, yaitu taqwa kepada Allah dan cinta kepada rakyat.
Sebuah Akulturasi
Sebagai akademisi dalam bidang sastra dan budaya, aku melihat adanya akulturasi dalam acara itu.Akulturasi adalah peleburan dua atau lebih budaya sehingga membentuk budaya baru. Dari segi pakaian aku melihat dua model pakaian. Pakaian yang dikenakan oleh halipa, adalah pakaian adat Gorontalo yang dipakai saat upacara adat. Pakaian itu disebut pakaian "Taqowa", pakaian takwa. Didarapkan bahwa halipa memiliki sifat takwa dalam menjalankan pemerintahan.
Pakaian tradisional Gorontalo dikenakan oleh para pemimpin adat (bate) dan jajarannya.
Model pakaian Timur Tengah dipakai oleh Qadhi yang memandu lantunan shalawat dan doa.
Sementara itu ornamen adat tampak pada bangunan bulita, tempat yang biasa dibangun saat ada majelis adat. Di sekeliling bulita itu digantung janur kuning. Warna bambu kuning dan janur kuning mengandung makna adanya karakter positif, akhlaqul karimah.