PARA PELANTUN CINTA
Ini adalah tulisan tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo. Tulisan dari sudut pandang budaya keagamaan, dari seorang pemerhati budaya, seorang yang senang menafsirkan budaya sebagai suatu keunikan.
Hari Ahad, tanggal 22 September 2024, pukul 07.30 WITA. Berangkat ke desa itu, Desa Bongo yang kini bernama Desa Bubohu. Tapi aku, sebagaimana masyarakat Gorontalo pada umumnya, lebih suka menyebutnya Desa Bongo. Perjalanan selama kurang lebih 30 menit dari rumahku di Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, dan akupun tiba di desa itu.
Aku turun dari mobil di depan masjid itu. Sebuah masjid bernama Masjid Attaqwa, sebuah masjid  kecil tapi sangat terkenal di seluruh Provinsi Gorontalo, bahkan sampai ke Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Sebelum aku memasuki masjid itu, aku diundang seorang alumniku, Siti  Hartini Bolongkod. Aku dijamu dengan nuansa yang khas desa itu saat peringatan Maulid Nabi. Akupun pamit, mau ke masjid.
Di masjid aku melihat ribuan manusia berkumpul. Terpajang di sana sajian maulid tradisional Gorontalo yang oleh masyarakat disebut "Walimah". Walimah berasal dari Bahasa Arab yang bermakna sajian atau jamuan makan.
Namun di Gorontalo kata ini mengalami perubahan makna menjadi sajian kue tradisional yang disajikan saat peringatan Maulid Nabi. Sajian atau penganan ini terdiri dari kue tradisional Gorontalo, kolombengi, yang ditata dalam wadah yang disebut tolangga.
Tolangga itu terbuat dari wadah kayu. Dasarnya terbuat dari bilah papan membentuk semacam wadah kotak ukuran besar. Di atasnya dibuat semacam tiang tinggi yang mencapai dua ratus centimeter.
Di tiang itu digantungkan kue-kue tradisional, pada umumnya kue tradisional kolombengi yang menjadi sajian khas kue maulid. Pada wadah yang terbuat terdapat berbagai penganan seperti nasi kuning, ila bilinthi (semacam nasi yang terbuat dari beras ketan yang dimasak dengan berbagai bumbu), bajoe (nasi terbuat dari beras ketan dicampur gula merah), dan ayam panggang.
Walima ini sebelum masuk ke areal masjid, diarak dengan kebesaran adat Gorontalo.
Aku memasuki area masjid. Di beranda masjid terdapa "Bulita", yaitu semacam tempat yang terbuat dari bambu emas atau bambu kuning yang dalam Bahasa Gorontalo disebut "talilo hulawa". Di dalamnya duduk para pembesar negeri. Para pembesar negeri Bupati Gorontalo sebagai halipa (khalifah) negeri.
Saat ini bupati adalah Prof. Dr. Nelson Pomalingo, mantan rektor Universitas Negeri Gorontalo, mantan rektor Universitas Negeri Gorontalo, Deklarator pendirian Provinsi Gorontalo.
Di sebelah kanannya duduk para pemuka agama, mulai dari qadhi, imam, sampai sara'a da;a (pembantu imam). Di sebelah duduk para pemimpin instansi pemerintahan, seperti sekda, camat, para kepala SKPD.
Akupun duduk berbaur dengan masyarakat. Tentu saja di luar bulita karena aku bukan pembesar negeri. Aku termasuk "tawu data" atau rakyat biasa, meski di kampus aku sangat dihormati sebagai dosen, he he he.
Di sebelah kananku duduk kolegaku di Fakultas Sastra dan Budaya, Yunus Dama, S.Pd., M.Pd.
Di sebelah kiriku, berjarak beberapa sentimeter duduk kolegaku lain, Dr. Abd. Hamid Isa, yang kini menjabat Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Gorontalo dan aktif sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Aku larut dalam lantunan syair-syair yang mengandung sholawat kepada Rasulullah Muhammad SAW, Â riwayat kelahiran, perjuangan, sifat-sifat terpuji Rasulullah sebagai pelajaran suri teladan. Juga terkandung doa-doa untuk seluruh kaum Muslimin seluruh dunia.
Dengan pengetahuan Bahasa Arab yang pas-pasan sebagai hasil belajar otodidak, ditambah dengan ilmu yang pernah aku dapat dari teman, mantan dosen agama di UNG, qadhi Bone Bolango, almarhum Dr. Lukman Katili, aku mencoba memahami isi lantunan cinta kepada Rasul itu.
Tiba-tiba ada semacam perasaan yang ganjil yang aku rasakan. Perasaan yang susah diungkapkan dengan bahasa. Aku merasa merinding teringat ceramah para ustaz tentang besarnya cinta Nabi kepada umatnya. Betapa beliau tidak ingin masuk surga sebelum mendapat kepastian dari Allah SWT bahwa umat beliau juga akan masuk syurga betapapun besarnya dosa umatnya.
Betapa beliau meminta agar kesakitan saat meregang nyawa oleh umatnya ditimpakan kepada dirinya sehingga seluruh umatnya merasakan keringanan sakaratul maut.
Aku merasakan kehadiran cinta Rasul pada umatnya, termasuk kepada diriku. Aku larut menghayati lantunan cinta ummatnya yang hadir dalam acara maulid itu. Ummatnya yang tak mampu membalas cinta beliau yang teramat besar. Ummatnya yang hanya mampu mengungkapkan cinta secara verbal, dan berusaha meneladani sikap dan perilaku beliau. Dengan Bahasa Arabku yang pas-pasan aku mencoba menghayati lantunan cinta berbentuk shalawat yang dipandu oleh sang Qadhi Gorontalo, Drs. Rasyid Kamaru yang terdengar syahdu:
ALLAHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD
MUHAMMAD RASULULLAH HABIBULLAH
YA ALLAHU YA ALLAHU
Aku juga melihat mereka, para pelantun cinta itu, lantunan cinta yang dalam bahasa lokal disebut "dikili", larut dalam lantunan cinta. Lantunan cinta verbal, yang diharapkan bisa direalisasikan dalam tindakan nyata, dalam bentuk memperbaiki akhlak, rajin beribadah. Pemimpin atau halipa diharapkan bisa meneladani akhlak Rasul dalam memimpin, yaitu taqwa kepada Allah dan cinta kepada rakyat.
Sebuah Akulturasi
Sebagai akademisi dalam bidang sastra dan budaya, aku melihat adanya akulturasi dalam acara itu.Akulturasi adalah peleburan dua atau lebih budaya sehingga membentuk budaya baru. Dari segi pakaian aku melihat dua model pakaian. Pakaian yang dikenakan oleh halipa, adalah pakaian adat Gorontalo yang dipakai saat upacara adat. Pakaian itu disebut pakaian "Taqowa", pakaian takwa. Didarapkan bahwa halipa memiliki sifat takwa dalam menjalankan pemerintahan.
Pakaian tradisional Gorontalo dikenakan oleh para pemimpin adat (bate) dan jajarannya.
Model pakaian Timur Tengah dipakai oleh Qadhi yang memandu lantunan shalawat dan doa.
Sementara itu ornamen adat tampak pada bangunan bulita, tempat yang biasa dibangun saat ada majelis adat. Di sekeliling bulita itu digantung janur kuning. Warna bambu kuning dan janur kuning mengandung makna adanya karakter positif, akhlaqul karimah.
Tolangga yang menjadi tempat penganan tradisional mencapai tinggi 200 cm. Tolangga dihiasi dengan ornamen yang sangat indah. Melambangkan keindahan ajaran Islam. Menurut ketua panitia, momen Maulid kali ini terkumpul sejumlah 1.400 walima tolangga.
Aku mengambil memaknai ini sebagai bersatunya ajaran-ajaran Rasulullah dengan kearifan lokal. Para pelantun dikili mengenakan pakaian lokal, dipandu oleh Qadhi dan Imam yang berpakaian Timur Tengah, melambangkan ajaran Islam yang universal, yang berasal dari Timur Tengah, menyatu dalam konteks kearifan lokal Gorontalo. Ajaran agama yang universai dikontekskan dengan kearifan lokal Gorontalo.
PARA PEMBURU KOLOMBENGI
Setelah acara di masjid selesai, akupun melangkah keluar. Suasana di luar masjid sangat ramai. Ramai dengan para pengunjung yang berasal dari Desa Bongo. Mereka datang khusus untuk merasakan suasana acara Maulid ini. Maulid yang diadakan di Hari Ahad seminggu setelah acara Maulid yang sesuai dengan tanggal di almanak.
Mereka adalah pemburu kue kolombengi. Sesuai dengan informasi dari seorang narasumber yang aku wawancarai pada peringatan Maulid Nabi di desa ini tahun ini, sebagian besar kolombengi berada di rumah-rumah warga. Kolombengi ini sengaja disiapkaan buat tamu yang datang. Sebuah semangat berbagi yang diteladani dari ajaran Rasul, yaitu memuliakan tamu dan berbagi kebahagiaan.
Keramaian itu juga disebabkan oleh warga Desa Bongo yang berada di perantauan. Mereka menggunakan momen ini untuk pulang kampung. Sangat berbeda dengan tradisi pulang kampung daerah lain yang dilakukan pada momen Idul Fitri.
Aku bertemu dengan seorang teman sekolah di SMP dulu, Marzuki Pakaya. Aku bertanya motivasinya datang. Katanya berburu kolombengi. Aku, secara kelakar, berkata aku tak perlu berburu kolombengi, kolombengi yang mendatangi tempat aku menginap di desa ini. Bagaimana caranya? Dengan bergurau pula aku katakan bahwa inilah keistimewaan seorang dosen. Seluruh mahasiswa dan alumni akan datang membawakan kolombengi untuk aku. Diapun tertawa.
PENUTUP
Yah, inilah sekedar tulisan berbagi pengalaman, berbagi refleksi maulid. Maulid sangat kaya dengan spiritualitas, nilai-nilai dakwah. Sebuah akulturasi, antara pengajaran nilai-nilai keagamaan dalam bentuk budaya lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H