"Tak apa, Pak. Jual saja."
Kambing itupun dijual dan laku satu juta setengah rupiah. Cukup untuk membeli kostum gerak jalan anak-anaknya.
Masalah belum selesai. Pengumuman dari kantor desa menyatakan seluruh warga wajib memasang bendera merah putih di halaman rumah masing-masing. Bagi Pakuni itu juga masalah yang besar. Jangankan membeli bendera, biaya makan saja mereka sering bermasalah. Pakuni pusing tujuh keliling. Dia lalu masuk ke kamarnya. Membongkar lemari, sapa tahu ada bendera lama yang masih bisa dikibarkan. Dia hanya menemukan dua pakaian orang dewasa. Pakaiannya dan pakaian isterinya. Masing-masing berwarna merah dan putih.
Pakuni lalu mendapat idea. Setelah berembuk dengan istrinya, dia lalu mengambil gunting. Diguntingnya bajunya dan baju istrinya menjadi berbentuk empat persegi panjang. Lalu dijahitnya menjadi bendera merah putih. Kemudian dipasangnya pada tiang bambu, dan ditegakkan di halaman rumahnya.
Tibalah hari yang dinantikan. Tanggal 17 Agustus. Jalanan meriah. Ada upacara. Sirene patroli pengawalan meraung-raunmg di jalan. Ada pejabat tinggi yang lewat. Dia akan memimpin upacara. Begitu cepat, tak bisa menyaksikan ada warganya yang harus berjuang untuk kemeriahan acara keramt ini.
Saat kegiatan gerak jalan berlangsung usai upacara, Pakuni Ari puas, melihat anak-anaknya dengan kostum dalam kegiatan gerak jalan yang meriah. Kini cita-citanya hanya satu, dan belum tercapai. Dia ingin anak-anaknya menjadi sukses. Sukses dan Merdeka dari kemiskinan. Dia berjuang keras memerdekakan anak-anaknya dari kemiskinan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H