BENDERA MERAH PUTIH PAKUNI ARI
Adriansyah A; Katili
adriansyahkatili@ung.ac.id
Namanya Pakuni Ari. Nama sebenarnya adalah Arifin dan disingkat Ari. Sedangkan Pakuni berarti bapak yang berkulit kuning. Jadi lebih tepatnya Pakuni adalah gelar yang diberikan oleh para kerabat dan tetangganya dan sesuai dengan kondisi tubuhnya saat gelar itu disematkan. Pemberian gelar itu dalam Bahasa Gorontalo disebut toli. Pakuni Ari, orang Gorontalo asli, turun temurun tinggal di Gorontalo. Otomatis warga negara asli. Istilah yang sangat popular adalah pribumi.
Kini gelar Pakuni tidak lagi sesuai dengan kondisi warna kulitnya. Saat gelar Pakuni disematkan, warna kulitnya memang kuning. Menyebabkan dia dipandang sebagai pria terganteng di masa lajang dulu. Kini, sejak menikah dan beranak lima, kulitnya berubah hitam meski tidak sampai hitam pekat legam. Wajah gantengnya menghilang, berganti dengan wajah yang keras. Keras mencerminkan kerasnya kehidupan yang harus dilaluinya. Keras mencerminkan perjuangan keras demi menghidupi diri, seorang istri, dan lima orang anak.
Pakuni Ari bekerja mengolah ladangnya yang luasnya tak seberapa. Dicangkulnya ladangnya itu lalu ditanami apa saja yang bisa menghasilkan tanaman pengisi perut. Untuk kebutuhan lainnya Pakuni Ari bekerja serabutan. Dia menerima kerja orderan membersihkan halaman rumah orang-orang kaya, yang sangat sibuk sehingga tak memiliki waktu untuk membersihkan halaman rumahnya. Â Karena sering bekerja di bawah serangan matahari di daerah Gorontalo, daerah yang memiliki dua musim,yaitu panas dan panas sekali, maka lama kelamaan warna kulit Pakuni Ari berubah menjadi hitam. Namun itu tidak mengubah panggilannya menjadi Paita, alias bapak yang berkulit hitam.
Pakuni Ari hanya lulusan sekolah dasar. Ketidakmampuan ekonomi orang tuanya menyebabkan dia tidak mampu meneruskan sekolah ke jenjang sekolah lanjutan saat dinayatakn lulus sekolah dasar, puluhan tahun yang lalu. Padahal kualitas otaknya tidak kalah dengan mereka yang tergolong pintar. Nilainya malah sering di atas rata-rata nilai kelas. Namun keadaan ekonomi yang menyebabkan Pakuni Ari tidak bisa memperoleh haknya sebagai warga negara yang menurut konstitusi negara dia berhak mendapat mengajaran.
Istrinya juga tidak lebih baik dari dirinya. Ketidak mampuan ekonomi yang menjadi penghalang untuk duduk di bangku sekolah lanjutan. Maka ketika usianya semakin meninggi menurut ukuran kampung saat itu, diapun menikah, dijodohkan dengan Pakuni Ari. Diapun pasrah saja.
Merekapun menikah. Setelah menikah, mereka tinggal di gubuk derita. Tapi mereka, karena masih bulan madu, tak merasa menderita. Meski rumah mereka jauh dari kata layak huni.Saat malam hari rumah itu hanya diterangi lampu minyak. Merekapun produktif sekali, produktif memproduksi anak. Itu karena saking miskinnya, mereka tak punya televisi sebagai hiburan di malam hari. Maka satu-satunya hiburan adalah bersatu dalam cinta lahir batin. Dan merekapun memperoleh hiburan baru dari penyatuan itu, anak-anak yang meramaikan rumah gubuk itu.
Waktupun berjalan cepat sekali. Bayi-bayi yang dulu kecul mungil, beranjak menjadi anak-anak dan masuk sekolah taman kanak-kanak. Selepas taman kanak-kanak, mereka masuk ke sekolah dasar. Lalu kemudian masuk SMP, dan seterusnya masuk SMA. Pakuni Ari tidak mau anak-anaknya bernasib seperti dirinya, hanya tamat sekolah dasar. Pakuni Ari ingin anak-anaknya maju dalam pendidikan, bahkan kalau perlu bisa sampai sarjana.
Untuk cita-citanya itu, Pakuni Ari berkerja keras. Dia membanting tulang, bekerja serabutan apa saja. Kala tidak bekerja di ladangnya, dia bekerja membersihkan halaman rumah orang-orang kaya. Bila orderan membersihkan rumah lagi sepi, dia bekerja menjadi pemulung. Dia berkeliling kampung, bahkan sampai ke kota berjalan kaki untuk mengumpulkan barang-barang bekas, terutama gelas dan botol plastik bekas aqua. Dia akan sangat bersyukur bila saat ada keramaian di lapangan, karena itu berarti akan banyak gelas plastik bekas aqua yang bisa dia kumpulkan untuk kemudian dijual di tempat penampungan. Hasilnya boleh dibilang lumayan.
Namun sore itu, di bulan Agustus, Pakuni Ari duduk bermenung saja. Bulan Agustus, bulan keramat bagi Bangsa Indonesia. Bulan yang di dalamnya ada hari keramat, hari di mana seluruh anak bangsa memperingat dan merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang digaungkan oleh dua proklamator bangsa, Sukarno dan Hatta. Sebenarnya sebagai cucu pejuang, Pakuni Ari sangat bergembira di bulan itu. Dia merasa bangga bahwa kakeknya juga sangat berjasa dalam meperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangs aini.
Kakeknya sering menceritakan bagaimana dia memanggul senjata melawan tentara penjajah. Bagaimana kakeknya dengan gagah berani bertempur habis-habisan demi membela lemerdekaan bangsa ini. Bagaimana kakeknya hampir tewas disambar peluru tentara Belanda, untung peluru itu hanya menyerempet tangannya. Tapi bekas luka itu masih ada. Kakeknya dengan bangga memperlihatkan bekas luka itu padanya. Kakeknya kini telah berpulang ke rahmatullah. Biasanya tiap tanggal 17 Agustus dia akan jiarah ke makam kakeknya itu. Kakeknya tidak dimakamkan di taman pahlawan, tapi di makam kampung. Namun bagi Pakuni Ari itu tidak mengurangi nilai heroisme yang telah diteladankan kakeknya.