Â
MENYUSURI LORONG CAHAYA
Tumbilotohe
Ti Kaita Bubohe
Tumbili padamala
Ti Kaita Pandala
Ta mohile jakati
Bubohe lo popati
Barisan anak-anak itu menyanyikan syair jenaka itu sambil membawa obor, menyusuri jalanan di kampung kecil itu. Syair jenaka yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak setiap malam tumbilotohe. Tumbilotohe adalah suatu tradisi masyarakat Gorontalo tiga hari menjelang hari raya idulfitri, atau setiap malam ke 27 Ramadhan. Tiga hari menjelang hari Raya Idul Fitri, masyarakat Gorontalo menyelenggarakan tradisi memasang lampu di jalanan dan halaman rumah.
Syair yang kami nyanyikan itu berisi tentang pasang lampu dan sekaligus sindiran bagi yang kikir, yang tidak mau mengeluarkan zakat yang dipersonalisasikan sebagai ti Kaita. Namun kejenakaan syair itu berada pada rima yang berpola aa bb cc.
Aku berada di antara barisan anak-anak itu, berjalan sambil tertawa-tawa membawa obor, menikmati syair itu. Aku menikmati lampu-lampu yang dipasang warga kaum Muslimin sepanjang jalan. Arkus yang terbuat dari bambu di setiap pintu pagar warga, di mana tergantung puluhan lampu minyak yang menyala berkedap-kedip. Di samping arkus, terdapat juga bambu-bambu yang dipatok dengan aneka bentuk, dan di setiap bambu itu juga terdapat lampu yang menyala.Lampu-lampu itu menimbulkan perasaan tersendiri, semacam sensasi berenang di lautan cahaya.
Yah, kampungku mandi cahaya, cahaya lampu tradisional sebagi simbolisasi dari suatu pengharapan agar kiranya Allah SWT menurunkan cahaya yang terang benderang di setiap kehidupan mereka yang berpuasa, taat menjalankan perintah Allah SWT untuk berpuasa selama sebulan, menahan lapar dan dahaga dan mengendalikan nafsu mulai terbit fajar sampai terbenamnya sang surya.
Tumbilotohe juga merupakan upaya masyarakat Gorontalo yang mayoritas beragama Islam untuk membantu mereka yang menuju masjid, menunaikan sholat tarwih dan yang beri'tikaf di malam-malam terakhir Ramadhan. Dengan menerangi jalan mereka yang menuju masjid akan terbantu dan mudah berjalan. Maklum jaman dahulu belum ada penerangan listrik.
Aku sangat senang berjalan bersama-sama teman-temanku, menyanyikan syair-syair jenaka. Dan di sela-sela syair itu, kami menyelingi dengan teriakan Tumbilotohe setelah salah seorang anak di antara kami berteriak Hepi-hepiaya. Suatu eporia atau rapsodi di masa kanak-kanak,
Sehari sebelum tumbilotohe, masyarakat di kampungku sibuk mempersiapkan segala keperluan hajatan tahunan ini. Para bapak mempersiapkan arkus, semacam tempat menggantungkan lampu, terbuat dari bambu yang dibuat dengan mode jalinan bambu yang berbentuk segiempat yang ditopang dengan tiang setinggi kira-kira satu setengah meter. Pada jalinan segiempat itu disilangkan lima buah bambu mengarah ke atas sebagai perlambang lima rukun Islam. Arkus itu kemudian dihiasi dengan janur kuning. Biasanya jumlah lampu yang digantung disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga sehingga memudahkan petugas pengumpul zakat fitrah.
Anak-anak membersihkan rumah, menyapu halaman, sebagian lainnya mengecat pagar dengan cat putih. Suatu kesibukan yang menjadi rutinitas tahunan, menyambut malam tumbilotohe.