Kemudian tibalah saatnya pelaksanaan tubilotohe. Kampungku mandi cahaya terang benderang. Lampu-lampu menyala di sepanjang jalan, membentuk lorong-lorong cahaya. Di lorong-lorong cahaya itulah para petugas pengumpul zakat fitrah hilir mudik mengumpulkan zakat fitrah. Mereka terbantukan dengan jumlah lampu yang tergantung di arkus yang berdiri di depan pintu pagar setiap rumah.
Di lorong-lorong cahaya itulah kami, anak-anak melakukan semacam karnaval sambil menyanyikan syair-syair jenaka. Rima dan ritme syair itu begitu jenaka sekaligus sangat merdu di telinga kami:
Tumbilotohe
Ti Kaita Bubohe
Tumbili padamala
Ti Kaita Pandala
Ta mohile jakati
Bubohe lo popati
Syair yang bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia akan kehilangan kejenakaannya bahkan mungkin kedengaran sadis karena menyebut-nyebut si Kaita yang dipukul karena sangat kikir, yang pada kenyataannya itulah hanyalah tokoh fiktif dan tidak ada orang yang dipukuli karena kikir.
Kini aku bersama teman-temanku berada di lorong-lorong cahaya itu, menikmati cahaya lampu, menysuri kampung-kampung. Kami berjalan kaki tanpa lelah menyusuri lorong cahaya sambil membawa cahaya obor di tangan kami yang teracung ke atas, semacam simbolisme cahaya di atas kita. Hiruk-pikuk anak-anak yang menggambarkan keriangan alami, semacam rapsodi di tengah lautan cahaya.
Sesekali kami berhenti di suatu tempat, meletakkan obor-obor kami, lalu bermain bersama. Ketika puas bermain, kami berjalan lagi. Pada saat mengambil kembali obor-obor itu, sering terjadi pertengkaran, karena ada yang merasa temanya menukar obornya yang lebih baik dengan obor yang jelek.
"Hey, kita punya itu." *
"Bukan, bukan ini ngana punya, ngana punya yang sana" **
"Ha ha ha ha," kamipun tertawa keras bersama-sama. Yang kami tertawa bersama karena sebenarnya kebersamaan dan keriangan bagi kami lebih penting daripada kepemilikan obor itu.
Sesekali kami melintas jalan desa kami yang membelah persawahan. Jalan ini juga dipenuhi dengan lampu-lampu. Kami terus berjalan. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak melata di depan kami, berjalan meliuk-liuk. Kamipun lari terpencar, lintang ukang sambil berteriak, "Ular."" Ular sawah itu rupanya permisi mau lewat. Seakan tidak mau mengganggu kebahagiaan kami, dia berlalu cepat. Kami lalu meneruskan kegembiraan kami, berjalan sambil menanyikan syair itu.
Aku semakin larut dalam kegembiraan. Menyanyi dengan suara nyaring. Tertawa bersama-sama.