SEBUAH CATATAN KECIL TENTANG MUDIK YANG BESAR
Sebuah catatan kecil tentang mudik besar, demikian judul essay ini. Apakah mudik itu? Mudik adalah pulang. Pulang ke mana? Pulang ke tempat kelahiran. Kapan kita mudik? Biasanya Kaum Muslimin Indonesia melakukan mudik menjelang Puasa Ramadan berakhir atau saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Menjelang puasa berakhir dan saat Hari Raya Idul Fitri kian mendekat, Kaum Muslimin Indonesia disibukkan dengan program mudik. Mudik ke kampung halaman. Mudik ke desa kelahiran. Mudik untuk berhari raya dengan orang-orang tercinta di desa kelahiran.
Saat-saat mudik itu terminal-terminal angkutan darat, Pelabuhan-pelabuhan laut, bandara-bandara akan disesaki para pemudik. Para pemudik rela dan sabar menunggu berjam-jam untuk bisa mendapat tempat di kenderaan. Mereka rela untuk membeli tiket kenderaan meski pada saat itu biasanya harga melambung tinggi.
Mengapa mereka rela melakukan itu? Jawabannya adalah karena panggilan rindu pada keluarga tercinta di kampung halaman. Panggilan ayah bunda bagi yang masih memiliki orang tua di kampung halaman, dan kerinduan untuk ziarah di makam orang tua bagi yang orang tuanya sudah berpulang dan dimakamkan di desa kelahiran.
Adakah makna lain dari mudik? Mudik dapat diartikan sebagai kembali. Setelah berpuasa selama sebulan penuh, kita akan mudik. Kita mudik dalam arti kembali ke hakekat kemanusiaan kita, hakekat kemanusiaan yang penuh fitrah fitra kesucian. Bukankah kita terlahir dalam keadaan suci? Saat kita dilahirkan bnuda, kita dalam keadaan suci. Kita belum kenal dosa.
Sering dengan perkembangan waktu, kita semakin jauh dari fitrah kita. Kita mulai berkenalan dengan dunia yang penuh dinamika. Â Dinamika dunia yang menyebabkan setiap kita harus berjuang untuk supaya bisa memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bukan hanya kebutuhan hidup yang mendasar seperti makan, minum, rumah, pakaian, tapi juga ambisi lain semisal ambisi kekuasaan, ambisi kedudukan, pangkat, jabatan, kekayaan. Berbagai ambisi dan kebutuhan itu berpotensi menyerongkan Langkah kita dari rel fitrah kesucian, membuat langkah kita jauh dari rela kesucian.
Puasa adalah saat-saat kita berkontempalsi, merefleksi diri kita. Sejauh langkah kita di arena dunia ini, apakah kita masih di atas rel fitrah kita? Apakah kita konsisten dengan fitrah kita? Dengan apakah kita kita berkontemplasi? Dengan ibadah puasa. Puasa menyebabkan fisik kita merasa lapar.Â
Pada saat lapar dan haus itulah kita seharusnya menyadari bahwa lapar adalah penderitaan yang lumrah bagi mereka yang tidak berpunya. Sudahkah kita menumbuhkan rasa empati kita pada fakir miskin? Bukankah empati adalah salah satu fitrah kesucian kita? Empati pada mereka yang kurang beruntung adalah salah satu fitrah. Fitrah bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari manusia lainnya.
Bila kita adalah orang kaya, orang berkuasa, apakah kita tidak pernah merampas hak mereka? Merampas hak mereka untuk hidup layak. Kita merancang strategi untuk menguasai kekayaan alam untuk kepentingan kita sendiri, kita jadi serakah. Kita lebih memilih menguntungkan para konglomerat yang menjadi oligarki kekuasaan kita karena merekalah yang membiayai kampanye saat pemilihan umum. Atau bila kita sebagai pemimpin di keluarga kita, sudahkah kita melaksanakan tanggungjawab kita?
Sebagai hasil dari kontemplasi itu, kita mengadakan pengendalian diri. Lapar juga adalah salah satu metode pengendalian diri. Kita mengendalikan diri dari hal-hal yang menjauhkan diri dari fitrah kita sebagai makhluk yang taat pada perintah Ilahi. Bukankah gampang saja kita makan minum saat kita sendiri tak ada yang menhyaksikan kita? Tapi mengapa kita kita tidak makan minum? Kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang bertuhanlah yang mencegah kita dari perbuatan itu.
Dengan pengendalian diri kita akan kembali ke fitrah kemanusiaan kita. Dengan fitrah kita yang suci, maka bila kita sebagai pemimpin, kita akan berbuat untuk rakyat. Bila kita akan menyantuni mereka yang miskin. Kita tidak akan menzalimi mereka yang berada di bawah kita. Kita akan banyak menolong tetangga kita.
Puasa memudikkan kita ke fitrah kita. Fitrah manusia yang suci. Maka mudik dalam arti ini tidak akan sama dengan mudik ke kampung halaman secara fisik. Mudik ke kampung halaman secara fisik tidaklah kekal. Habis liburan Idul Fitri kita kembali lagi ke rutinitas di kota. Rutinitas keduniaan yang bergelut dengan persoalan hidup.Â
Mudik ke kemanusiaan adalah mudik abadi. Mudik yang kekal sampai kita kelak mudik ke pemilik kita, mudik dalam pengertian "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Saat kita mudik ke pemilik kita, Insya Allah kita mudik dalam keadaan suci, suci sesuai fitrah saat kita datang ke dunia melalui bunda. Inilah mudik yang besar, mudik dalam keadaan fitri kepada Yang Maha Besar. Mudik kepada sumber kesucian dan sumber kebahagiaan. Insya Allah kita bisa mencapainya.
Gorontalo, 4 April 2024
Adriansyah A. Katili
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H