Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Melukis dunia dengan kata-kata.

Pendidik anak bangsa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Gorontalo yang gemar membaca segala macam bacaan dan suka melukis dunia dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Apa dengan Pada Suatu Hari Nanti, Eyang Sapardi?

2 Februari 2024   13:01 Diperbarui: 5 September 2024   10:34 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi

Ada apa denganmu, Eyang Sapardi? Ada apa dengan Pada Suatu Hari Nanti? Pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik hati dan pikiranku, pada suatu hari saat iseng membuka  https://jateng.tribunnews.com dan terbacalah tiga bait sajak karya Professor Sapardi Djoko Damono yang akrab dipanggil dengan Eyang Sapardi, seorang guru besar Sastra Indonesia sekaligus sastrawan penyair kondang dengan karya-karya yang tak terhitung lagi.

Karya sajak, yang sangat indah, membuat aku terbawa rasa yang tersirat dalam sajak itu. Sajak yang memuat kata-kata bernas, penuh pesan kreatifitas. Aku kutip sajak itu sebagai berikut:

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.

(1991)


Aku mencoba memasuki bagian terdalam sajak ini. Kutelusuri labirin-demi labirin dalam sajak. Mengamati, menelaah bait demi bait, larik demi larik, huruf demi huruf. Kucari hakekat makna terdalam. Kucari pesan-pesan tersirat. Dan sebelum aku menemukan makna pesan, aku semakin terpukau. Bait-bait, larik-larik, huruf-huruf seakan mawar indah yang memukau. Labirin-labirin itu menjelma taman yang sangat indah. Dan aku mencoba menelusuri lagi. Tiba-tiba sajak itu menjelma lautan teduh yang menyimpan mutiara-mutiara makna yang tak bisa dinilai dengan trilyunan rupiah. Baris demi baris, bait demi bait, kata demi kata adalah pesan berharga, teramat berharga.  

Ketika membaca baris pertama, Pada suatu hari nanti, terbersit pertanyaan dalam hatiku, ada dengan pada suatu hari nanti? Kapan suatu hari nanti itu? Frasa itu menyiratkan suatu hari yang entah kapan, entah besok, entah lusa, dan berbagai entah yang berkenaan dengan waktu.

Baris kedua menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pada suatu hari nanti. Eyang Sapardi menyatakan Jasadku tak akan ada lagi. Seseorang yang jasadnya sudah tak ada lagi adalah orang yang rohnya sudah dipanggil Sang Maha Pencipta. Dan dia tak bersama dengan kita lagi. Tapi dalamdua baris terakhir dari bait pertama ini, Eyang Sapardi menyatakan bahwa sajak karyanya tak akan meninggalkan kita. Bahwa dia tetap hidup dalam karya-karya yang ditinggalkan jasadnya, karya-karya yang tidak akan meninggalkan kita sendiri. Eyang Sapardi dengan penuh rasa menyatakan bahwa melalui karya-karya monumentalnya dia tak akan meninggalkan kita sendiri.

Bait kedua, tetap dimulai dengan kata-kata yang sama, Pada suatu hari nanti. Pada suatu hari nanti, saat suaranya tak terdengar lagi. Saat Eyang Sapardi tak mampu berkata-kata lagi, saat suaranya tak terdengar lagi, saat dia menjadi bisu abadi, saat Eyang Sapardi tak terdengar lagi suaranya karena sudah menjadi almarhum, dia bisa tetap bersama kita. Dia tetap bisa menyiasati kita melalui karya-karyanya. Dia masih bisa membuat kita berpikir tentang apa yang dipikirkannya, merasakan apa yang dia rasakan, dan karena dia seorang guru besar, dia masih bisa mendidik melalui karya-karyanya. Suaranya memang tak terdengar lagi, karena dia kini jenazah, tapi seolah kita masih bisa dibawanya mengembara bersama alam pikirannya, merasakana perasaannya.

Bait ketiga menyatakan lagi apa yang dimaksud dengan Pada suatu hari nanti itu. Hari di mana dia tak bisa lagi menyatakan impiannya, di mana dia tak lagi bisa memiliki impian. Yah, orang yang sudah almarhum jelas saja tak bisa lagi memiliki impian, cita-cita. Tapi bagi Eyang Sapardi, impian-impiannya, cita-citanya, pikiran-pikirannya, sudah tertulis dalam semua karya-karyanya. Karya-karyanya itu akan tetap hidup. Karya-karya yang tak letih-letihnya mencari kita. Mencari kita untuk mengajak kita untuk memimpikan keindahan dalam kebersamaan.

Bagaimana dengan Kita?

Sapardi kin telah tiada. Dia pergi, kepergian yang abadi. Kepergian yang abadi namun meningalkan banyak karya abadi. Karya yang tetap membersamai kita seperti yang diungkap dalam sajak karyanya. Namanya harum, tetap disebut-sebut para pembacanya yang haus akan ilmu dan keindahan seni,

Lantas bagaimana dengan kita? Sapardi yang kini jasadnya tak ada lagi, yang suaranya tak kita dengar lagi, yang tak lagi bisa membicarakan impian-impiannya, secara tersirat telah berpesan kepada kita untuk terus berkarya. Abadikan kebersamaan kita dengan orang-orang yang memahami kita melalui karya kita. Siasati mereka yang masih berkata-kata dengan kata-kata yang baik. Dan hasilkan karya yang baik dan berkualitas untuk mencari mereka yang masih hidup. Dan bila karya kita bisa menginspirasi mereka dengan kebaikan, maka kita akan menerima kebaikan jariah yang terus menerus mengalir kepada kita di alam baka.

Apakah karya hanya dibatasi dengan karya sajak? Menurut hematku, karya itu luas, sajak hanya sebagian kecil. Karena Eyang Sapardi adalah seorang sastrawan, seorang penyair, maka dia menampilkan karya sastra, karya sajak. Kita bisa berkarya apa saja, karya sastra, karya ilmiah, karya musik, karya inovasi, dll. Seorang pemimpin menciptakan sejarah kepemimpinannya yang adil, yang membawa masyarakat dalam kemakmuran sehingga nama pemimpin selalu disebut-sebut dengan penuh cinta oleh masyarakat dan dibaca oleh anak cucu melalui catatan sejarah dengan tinta emas.

Pendidikan menciptakan generasi yang berkarakter positif dengan ciri  unggul, berilmu, berketrampilan, beriman dan bertakwa, serta memiliki nasionalisme keindonesiaan. Sehingga di masa depannya dia membawa diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Demikian, terjawab sudah pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ada apa dengan Pada suatu hari nanti? 

Gorontalo, 2 Februari, 2024

Adriansyah Abu Katili

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun