Baris kedua menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pada suatu hari nanti. Eyang Sapardi menyatakan Jasadku tak akan ada lagi. Seseorang yang jasadnya sudah tak ada lagi adalah orang yang rohnya sudah dipanggil Sang Maha Pencipta. Dan dia tak bersama dengan kita lagi. Tapi dalamdua baris terakhir dari bait pertama ini, Eyang Sapardi menyatakan bahwa sajak karyanya tak akan meninggalkan kita. Bahwa dia tetap hidup dalam karya-karya yang ditinggalkan jasadnya, karya-karya yang tidak akan meninggalkan kita sendiri. Eyang Sapardi dengan penuh rasa menyatakan bahwa melalui karya-karya monumentalnya dia tak akan meninggalkan kita sendiri.
Bait kedua, tetap dimulai dengan kata-kata yang sama, Pada suatu hari nanti. Pada suatu hari nanti, saat suaranya tak terdengar lagi. Saat Eyang Sapardi tak mampu berkata-kata lagi, saat suaranya tak terdengar lagi, saat dia menjadi bisu abadi, saat Eyang Sapardi tak terdengar lagi suaranya karena sudah menjadi almarhum, dia bisa tetap bersama kita. Dia tetap bisa menyiasati kita melalui karya-karyanya. Dia masih bisa membuat kita berpikir tentang apa yang dipikirkannya, merasakan apa yang dia rasakan, dan karena dia seorang guru besar, dia masih bisa mendidik melalui karya-karyanya. Suaranya memang tak terdengar lagi, karena dia kini jenazah, tapi seolah kita masih bisa dibawanya mengembara bersama alam pikirannya, merasakana perasaannya.
Bait ketiga menyatakan lagi apa yang dimaksud dengan Pada suatu hari nanti itu. Hari di mana dia tak bisa lagi menyatakan impiannya, di mana dia tak lagi bisa memiliki impian. Yah, orang yang sudah almarhum jelas saja tak bisa lagi memiliki impian, cita-cita. Tapi bagi Eyang Sapardi, impian-impiannya, cita-citanya, pikiran-pikirannya, sudah tertulis dalam semua karya-karyanya. Karya-karyanya itu akan tetap hidup. Karya-karya yang tak letih-letihnya mencari kita. Mencari kita untuk mengajak kita untuk memimpikan keindahan dalam kebersamaan.
Bagaimana dengan Kita?
Sapardi kin telah tiada. Dia pergi, kepergian yang abadi. Kepergian yang abadi namun meningalkan banyak karya abadi. Karya yang tetap membersamai kita seperti yang diungkap dalam sajak karyanya. Namanya harum, tetap disebut-sebut para pembacanya yang haus akan ilmu dan keindahan seni,
Lantas bagaimana dengan kita? Sapardi yang kini jasadnya tak ada lagi, yang suaranya tak kita dengar lagi, yang tak lagi bisa membicarakan impian-impiannya, secara tersirat telah berpesan kepada kita untuk terus berkarya. Abadikan kebersamaan kita dengan orang-orang yang memahami kita melalui karya kita. Siasati mereka yang masih berkata-kata dengan kata-kata yang baik. Dan hasilkan karya yang baik dan berkualitas untuk mencari mereka yang masih hidup. Dan bila karya kita bisa menginspirasi mereka dengan kebaikan, maka kita akan menerima kebaikan jariah yang terus menerus mengalir kepada kita di alam baka.
Apakah karya hanya dibatasi dengan karya sajak? Menurut hematku, karya itu luas, sajak hanya sebagian kecil. Karena Eyang Sapardi adalah seorang sastrawan, seorang penyair, maka dia menampilkan karya sastra, karya sajak. Kita bisa berkarya apa saja, karya sastra, karya ilmiah, karya musik, karya inovasi, dll. Seorang pemimpin menciptakan sejarah kepemimpinannya yang adil, yang membawa masyarakat dalam kemakmuran sehingga nama pemimpin selalu disebut-sebut dengan penuh cinta oleh masyarakat dan dibaca oleh anak cucu melalui catatan sejarah dengan tinta emas.
Pendidikan menciptakan generasi yang berkarakter positif dengan ciri  unggul, berilmu, berketrampilan, beriman dan bertakwa, serta memiliki nasionalisme keindonesiaan. Sehingga di masa depannya dia membawa diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Demikian, terjawab sudah pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ada apa dengan Pada suatu hari nanti?Â
Gorontalo, 2 Februari, 2024
Adriansyah Abu Katili