Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.

Saya dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Memiliki hobi membaca dan menulis. Saya membaca buku fiksi maupun non fiksi dan puisi. Saya juga suka menulis, baik tulisan ilmiah, ilmiah populer, fiksi, dan puisi.,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Artificial Intelligence, Berubah atau Mati

15 Oktober 2023   13:56 Diperbarui: 6 November 2023   07:25 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumen pribadi

Judul essay ini diinspirasi oleh topik orasi ilmiah pengukuhan Prof. Karmila Mahmud sebagai guru besar bidang Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Gorontalo. 

Professor termuda yang dikukuhkan pada tanggal 12 Oktober tahun 2023 itu membawakan topik tentang Artificial Intelligence dalam pendidikan. Yang menarik bagi penulis yang berkecimpung dalam pendidikan, khususnya pendidikan Bahasa Inggris adalah pertanyaan apakah Artificial Intelligence (selanjutnya disingkat AI) adalah musuh atau teman.

 Pertanyaan yang sangat esensial itu kemudian diikuti dengan ungkapan yang sangat menohok karena tersirat makna yang sangat provokatif secara positif. Penulis katakan sebagai ungkapan yang provokatif secara positif karena memprofokasi para pendidik untuk berubah seiring dengan menggalaknya penggunaan AI dalam pendidik

AI adalah berasal perkembangan ICT yang akhir-akhir ini sangat melaju. Melaju bagai pesawat supersonik. Sangat cepat melanda segala bidang kehidupan kita. Dalam bidang hiburan, misalnya. Bila kita dulunya untuk bisa mendengarkan lagu-lagu terbaru kita harus ke toko kaset untuk membeli kasetnya, kini cukup dengan perangkat seluler kita bisa menikmati lagu terbaru di mana saja kita berada. Tak terkecuali ini mengubah ungkapan dalam sastra. 

Dalam novel" Tenggelamnya Kapal van der Wijck" karya HAMKA, kita menemukan satu bab yang berjudul "Berkirim-kiriman Surat." Dalam bab itu dimuat surat dari kedua tokoh utama, Zainuddin dan Hayati yang panjangnya berhalaman-halaman. Sebaliknya dalam novel "Daun yang Jatuh Tak Akan Membenci Angin" karya Tere Liye yang terbit pada abad ICT ini kita temukan komunikasi yang sangat canggih, melalui fasilitas chatting antara dua tokoh cerita.

Perkembangan ICT sedemikian deras sehingga kita tiba pada fase terbaru dengan ditemukan dan dikembangkannya teknologi AI. Teknologi ini adalah software yang memiliki kecerdasan buatan yang boleh dikatakan setingkat kecerdasan manusia. Perangkat teknologi yang meniru kecerdasan otak manusia. Maka dengan kecerdasan ini AI dapat membantu aneka kebutuhan manusia.

Dengan kemampuan AI ini, maka ditenggarai bakal banyak pekerjaan manusia yang akan diambil alih oleh AI. Menurut www.cnbc.com tahun 2023 ada sepuluh pekerjaan manusia yang akan diambil alih oleh AI. Ini bisa diartikan bahwa akan banyak manusia yang menganggur atau kehilangan pekerjaan. Gejala ini bisa dilihat dengan muncul robot yang bisa berperilaku seperti manusia, yang bertugas melayani manusia. Di hotel-hotel, di bandara-bandara di Jepang, tamu manusia akan disapa oleh mesin dengan sopan, seperti manusia yang menyapa. Dan masih banyak lagi contoh.

Bagaimana dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia? Perkembangan AI dalam pendidikan dimulai dengan munculnya google. Google adalah mesin pencari informasi yang menggantikan fungsi guru sebagai satu-satunya sumber informasi bagi murid. Guru, yang sebelumnya adalah satu-satunya sumber informasi bagi murid kini digantikan oleh google. Melalui google orang bisa mencari hamper semua informasi, kecuali informasi kapan ajal kita dan kapan saatnya kiamat, he he he.

Namun kebutuhan pendidikan bukan hanya informasi. Sering siswa/mahasiswa mendapat tugas  presentasi. Bila sebelumnya mereka harus membuatnya dengan power point, kini dengan software AI, cukup dengan perintah singkat, maka mesin ini akan membuat slide yang sangat bagus dan nyaris sempurna. Perangkat AI juga bisa diminta membuat karangan singkat lengkap dengan novelty.  

AI juga dapat diminta untuk menyelesaikan analisis data yang sangat rumit. Pengguna cukup memasukkan input yang berisi data, dan analisis yang dibutuhkan. Dalam hitungan detik akan keluar hasil analisis dengan simpulan yang sangat tepat.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita sampulkan bahwa penggunaan AI dewasa ini adalah sebuah kebutuhan. Perkembangannya sudah sedemikian pesat, Bagai pesawat supersonic. Mau tidak mau kita harus menaiki pesawat itu dan mneyesuaikan diri dengan berbagai feature yang ada di dalamnya. Siapa saja yang berada dalam pesawat itu akan beradaptasi dengan berbagai penggunaannya.

Siapa saja yang tak mau menyesuaikan diri akan tertinggal. Tadi penulis sudah mengungkapkan bahwa kita harus berubah. Kita harus siap menggunakan AI untuk berbagai kegiatan pendidikan. Bagi pendidika, guru dan dosen, ini adalah tantangan, mau berubah atau tertinggal di landasan saat pesawat itu meluncur ke udara. Dengan ungkapan Prof. Karmila, berubah atau mati, berubah sesuai dengan perkembangan zaman atau kehilangan pekerjaan.

Peran Guru

Tidak dapat diragukan bahwa AI sangat membantu berbagai kegiatan manusia, termasuk pendidikan. Namun, apakah semua peran guru dan dosen akan digantikan oleh AI? Perlu kita pahami AI tetaplah hanya mesin. Dia bersifat non-human atau bukan manusia. Ada berbagai karakter manusia yang tidak bisa dimiliki oleh AI. Yang pertama, manusia adalah makhluk dengan berbagai dimensi. DImensi sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia hidup Bersama dengan sesama manusia.

Manusia sebagai makhluk individu. Sebagai makhluk individu setiap manusia memiliki keunikan sendiri. Setiap individu memiliki keunikan yang tidak dimiliki individu lainnya. Dengan kata lain tidak ada individu yang betul-betul mirip dengan individu lainnya. Demikian juga dengan murid atau mahasiswa.

Manusia adalah makhluk psikologis. Dia bisa mengalami mengalami emosi, baik yang positif maupun negatif. Saat gembira, bahagia, dia mengalami mengalami emosi yang positif. Saat sedih, marah, dia mengalami peristiwa emosi negatif. Ini juga bisa dialami oleh oleh murid dan mahasiswa.

Manusia hidup dengan nilai-nilai moral. Moral adalah nilai-nilai tentang hal yang baik atau yang buruk, hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Nilai-nilai moral itu diperkuat dengan sanksi dan penghargaan. Sanksi bagi pelanggar dan penghargaan bagi petaat.

Manusia mampu memiliki simpati dan empati. Dia mampu menyelami kesedihan dan kegundahan individu lainnya. Dengan kemampuan ini seorang guru mampu memahami dan merasakan masalah yang dihadapi oleh siswa.

Yang menjadi pertanyaan, apakan AI memiliki karakteristik manusia dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia? AI bagaimanapun adalah mesian, kemampuan yang dimiliki AI adalah adalah berdasarkan program yang dimasukkan oleh programmer yang berdasarkan pada logika matematika. Logika matematika jelas tidak bisa secara utuh melayani kebutuhan pendidikan manusia. 

Mesin tidak bisa memberikan sentuhan-sentuhan manusia kepada siswa dan mahasiswa. Dia tidak bisa berempati saat seorang siswa memiliki masalah dengan keluarga. Saat itu dia butuh guru sebagai konselor. Kalaupun AI bisa menunjukkan empati kepada siswa atau mahasiswa, itu sifatnya mekanis, bukan psikologis. Manusia bukanlah sebuah eksistensi yang bersifat mekanis, tapi eksistensi yang bersifat multidimensi: dimensi fisik, psikokogis, sosial, individual, dan berbagai dimensi lainnya.

AI tidak bisa menjadi teladan dalam hal moral yang sangat dibutuhkan saat manusia berinteraksi dengan sebagai makhluk sosial. Moral hanya bisa didekati dengan pendekatan nilai-nilai kemanusiaan, bukan dengan mesin meski itu mesin cerdas.  

Jadi apa fungsi AI? Sesuai dengan namanya, Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan, AI hanya bisa membantu pendidikan dalam hal intelektual. Dalam istilah Taksonomi Bloom, AI hanya bisa bermain dalam tataran kognitif. Sementara dalam afektif atau penanaman nilai-nilai kehidupan, siswa dan mahasiswa tetap butuh manusia sebagai guru yang memberikan teladan, bukan mesin.

Kesimpulannya, seperti yang dikatakan oleh Prof, Karmila dalam orasinya, guru tidak bisa digantikan oleh AI. Jadi guru manusia tetap dibutuhkan. Namun guru juga harus menguasai AI karena itu kebutuhan kini. Maka guru yang tidak menguasai AI akan digantikan oleh guru yang menguasai AI. Dengan menggunakan AI sebagai alat bantu pendidikan, maka guru dan dosen dapat mendidik dengan pendekatan manusia, ya, tetap dengan pendekatan manusia.

Jadi apakah dengan tetap tidak berubah dalam artian mengabaikan penggunaan AI kita bisa mati? Jawabnya ya, kita bisa mati. Mati dalam hal profesionalisme sebagai guru. Namun mendidik hanya dengan mengandalkan AI tanpa pendekatan kemanusiaan juga kita bisa mati. Mati dalam arti kemanusiaan kita yang mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun