Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Melukis dunia dengan kata-kata.

Pendidik anak bangsa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Gorontalo yang gemar membaca segala macam bacaan dan suka melukis dunia dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bila Skripsi Tidak Diwajibkan

31 Agustus 2023   11:55 Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:37 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

BILA SKRIPSI DIHAPUS

Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

Tulisan ini adalah pemikiran saya sebagai seorang akademisi, seorang yang sehari-hari bergelut dengan persoalan akademik. Tepatnya seorang pendidik mahasiswa yang oleh masyarakat disebut dosen. Bila skripsi dihapus dari kewajiban bagi mahasiswa untuk menyandang gelar sarjana, lantas apakah pengganti skripsi? Apakah fungsi sebuah skripsi? Apakah dia hanya merupakan sebuah tulisan yang menjadi sekedar simbol bahwa seorang mahasiswa sudah layak disebut sarjana?

Marilah kita bahas hakekat skripsi dari sudut pandang filsafat. Seorang mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pada hakekatnya sedang belajar berpikir secara ilmiah. Jadi dia bukan hanya datang, duduk, diam mendengar, mencatat, lalu pulang. Kata "maha" yang disandangnya menyiratkan tingkatan belajar tertinggi dalam hirarki pendidikan. Dia bukan hanya sekedar belajar untuk memahami, juga bukan sekedar belajar demi sebuah selembar kertas yang disebut ijazah yang kemudian akan dipergunakan untuk mencari pekerjaan pasca wisuda. Tapi dia belajar berpikir secara ilmiah.

Apakah makna berpikir ilmiah? Berpikir ilmiah adalah tingkatan berpikir tertinggi. Dalam berpikir ilmiah seorang mahasiswa akan mengamati fenomena yang ada. Dia belajar meneliti fenomena kehidupan sekelilingnya sesuai dengan program studinya. Kemudia dia berpikir secara rasional untuk memperoleh makna di balik fenomena yang menjadi obyek pengamatannya.

Untuk sampai pada tingkatan itu, dia digodok di perguruan tinggi di mana dia belajar. Dia akan belajar sejumlah mata kuliah yang disusun dalam kurikulum program studinya. Sebagai misal, mahasiswa di program studi pendidikan Bahasa Inggris. Dia belajar sejumlah mata kuliah di program studi tersebut, seperti" English Phonology, English Syntax, Teaching English as Foreign Language, dll. Di samping itu dia belajar metodologi penelitian yang kelak akan digunakan saat melakukan penelitian sebagai tugas akhir yang tertuang dalam skripsi.

Untuk bisa sampai pada meneliti dan menulis skripsi, dia harus melalui seminar proposal skripsi. Di seminar ini dia memaparkan proposal penelitian skripsinya. Saat itu dia akan menerima serangkaian saran perbaikan dari dosen-dosen pembimbing dan penguji. Saran-saran itu berhubungan dengan formulasi judul landasan teori, dan metodologi penelitian.

Setelah proposalnya dinyatakan diterima, dia lalu mulai melakukan penelitian sesuai dengan topik skripsi yang telah disetujui dalam seminar proposal. Dia mengumpulkan data. Lalu menganalisis data. Setelah itu dia menulis hasil analisisnya dalam skripsi. Kemudian diajukan kepada dosen pembimbing. Dosen kemudian membimbingnya memberikan saran-saran perbaikan.

Setelah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi, kemudian diajukan dalam seminar hasil penelitian. Dalam seminar itu, dia harus mampu menjawab pertanyaan dosen penguji berkenaan dengan hasil penelitiannya yang tertuang dalam skripsi. Biasanya dosen meminta dia mengemukakan jalan pikirannya. Dosen penguji dan pembimbng kemudia memberikan saran-saran perbaikan.

Setaleh menjalani seminar hasil dan dinyatakan lulus, dia kemudian merevisi skripsinya berdasarkan hasil seminar hasil penelitian. Setelah disetujui dan dinayatakan bisa dilanjutkan dalam ujian terakhir, mahasiswa yang bersangkutan lalu akan menlajani ujian terakhir yang disebut ujian komprehensif. Dalam ujian itu dia akan diuji pemahamannya tentang skripsinya. Dan bila dinyatakan lulus, maka dia akan dinyatakn lulus dan layak menyandang gelar sarjana dalam acara yudisium, dan berhal diwisuda dengan mengenakan toga sarjana.

Singkat kata, skripsi adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa seorang mahasiswa sudah layak untuk menjadi seorang sarjana. Sarjana yang sudah memiliki kemampuan intelektual mendasar, yaitu mampu berpikir ilmiah dalam arti berpikir secara rasional dan empiris. Sehingga bila dia memasuki dunia kerja, dia mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

Namun di satu sisi, tidak semua mahasiswa mampu menulis skripsi. Pengalaman saya sebagai dosen, banyak juga mahasiswa yang tidak mampu menulis skripsi. Kompetensi mereka di bidang penulisan boleh dikatakan minim. Ini menjadi kendala mereka dalam penyelesaian studi.

Bila Skripsi Dihapus

Kini kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menyatakan bahwa skripsi tidak lagi menjadi kewajiban mahasiswa dalam menyelesaikan studi S1. Namun di sisi lain peraturan ini juga menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat skripsi atau tidak diserahkan pada kebijakan masing-masin perguruan tinggi.

Berdasarkan peraturan ini, maka perguruan tinggi tidak wajib menghapus skripsi dari kurikulumnya. Namun, seperi kata peraturan itu, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan tetap memberlakukan kewajiban menyusun skripsi atau menghapus kewajiban skripsi.

Dalam pandangan saya, perguruan tinggi seyogyanya melakukanj kajian untuk memutuskan. Kajian ini harus bersifat komprehensif, meninjau dari segala sisi, apakah skripsi masih dibutuhkan atau tidak. Apakah bila skripsi dihapus tidak menurunkan kualitas kesarjanaan lulusanya. Dan apabila memutuskan untuk menghapus skripsi, harus ada gantinya agar lulusannya memiliki kompetensi sebagai sarjana yang mumpuni di bidang masing-masing. Perlu mempertimbangkan KKNI untuk S1, bahwa menurut KKNI, kompetensi untuk S1 adalah menerapkan ilmu pengtetahuan.

Dan jangan juga dilupakan atau diabaikan bahwa kemampuan berpikir ilmiah jangan sampai hilang dari diri sarjana kita. Kemampuan ini adalah hal yang bersifat mutlak. Mengapa bersifat mutlak? Bukankah, sebagimana saya sampaikan di awal tulisan ini, mahasiswa selama studi dibekali dengan kemampuan berpikir yang rasional dan empiris. Dengan kata lain dia dibekali dengan kemampuan berpikir kritis. Jangan sampai sarjana yang dihasilkan dari kebijakan tanpa skripsi menghasilkan sarjana yang tidak mampu berpikir.

Maka saya mengusulkan, bila suatu perguruan tinggi memutuskan untuk meniadakan skripsi, maka harus ada proyek penggantinya, yang sesuai dengan program studinya. Sebagai misal, mahasiswa di rpogram studi pendidikan Bahasa Inggris. Dia bisa diwajibkan melakukan proyek yang berkaitan dengan program studinya, seperti memcahkan masalah pendidikan Bahasa Inggris di era milenial ini dalam bentuk metode pendidikan berbasis ICT.

Dengan proyek ini, maka kemampuan lulusan tetap terjamin. Dia tidak menulis skripsi, tapi dia menghasilkan suatu produk yang tidak kalah dengan skripsi. Produknya tidak menjadi hiasan rak perpustakaan sebagai mana yang yang sering saya baca di beberapa website.

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan tinggi kita. Pada akhirnya kita semua berharap semoga kualitas pendidikan kita semakin baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun