Bila Skripsi Dihapus
Kini kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menyatakan bahwa skripsi tidak lagi menjadi kewajiban mahasiswa dalam menyelesaikan studi S1. Namun di sisi lain peraturan ini juga menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat skripsi atau tidak diserahkan pada kebijakan masing-masin perguruan tinggi.
Berdasarkan peraturan ini, maka perguruan tinggi tidak wajib menghapus skripsi dari kurikulumnya. Namun, seperi kata peraturan itu, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan tetap memberlakukan kewajiban menyusun skripsi atau menghapus kewajiban skripsi.
Dalam pandangan saya, perguruan tinggi seyogyanya melakukanj kajian untuk memutuskan. Kajian ini harus bersifat komprehensif, meninjau dari segala sisi, apakah skripsi masih dibutuhkan atau tidak. Apakah bila skripsi dihapus tidak menurunkan kualitas kesarjanaan lulusanya. Dan apabila memutuskan untuk menghapus skripsi, harus ada gantinya agar lulusannya memiliki kompetensi sebagai sarjana yang mumpuni di bidang masing-masing. Perlu mempertimbangkan KKNI untuk S1, bahwa menurut KKNI, kompetensi untuk S1 adalah menerapkan ilmu pengtetahuan.
Dan jangan juga dilupakan atau diabaikan bahwa kemampuan berpikir ilmiah jangan sampai hilang dari diri sarjana kita. Kemampuan ini adalah hal yang bersifat mutlak. Mengapa bersifat mutlak? Bukankah, sebagimana saya sampaikan di awal tulisan ini, mahasiswa selama studi dibekali dengan kemampuan berpikir yang rasional dan empiris. Dengan kata lain dia dibekali dengan kemampuan berpikir kritis. Jangan sampai sarjana yang dihasilkan dari kebijakan tanpa skripsi menghasilkan sarjana yang tidak mampu berpikir.
Maka saya mengusulkan, bila suatu perguruan tinggi memutuskan untuk meniadakan skripsi, maka harus ada proyek penggantinya, yang sesuai dengan program studinya. Sebagai misal, mahasiswa di rpogram studi pendidikan Bahasa Inggris. Dia bisa diwajibkan melakukan proyek yang berkaitan dengan program studinya, seperti memcahkan masalah pendidikan Bahasa Inggris di era milenial ini dalam bentuk metode pendidikan berbasis ICT.
Dengan proyek ini, maka kemampuan lulusan tetap terjamin. Dia tidak menulis skripsi, tapi dia menghasilkan suatu produk yang tidak kalah dengan skripsi. Produknya tidak menjadi hiasan rak perpustakaan sebagai mana yang yang sering saya baca di beberapa website.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan tinggi kita. Pada akhirnya kita semua berharap semoga kualitas pendidikan kita semakin baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H