Akulah sang pemenang
Aku telah berjanji akan memberikan kesejahteraan bagi kalian
Dan itu telah aku penuhi sebelum hari H, saat fajar
Maka kini giliran aku yang harus sejahtera
Karena aku memiliki prinsip pemerataan dan keadilan.
BAHASA DAN POLITIK
Adriansyah A. Katili
adriansyahkatili@ung.ac.id
Bahasa dan politik memiliki dua makna yang berbeda. Makna pertama adalah politik bahasa. Makna kedua adalah bahasa politik. Politik bahasa adalah politik yang berkenaan dengan kebijakan tentang bahasa. Contohnya adalah peristiwa sumpah pemuda yang poin ketiganya adalah ikrar para pemuda Indonesia untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Contoh lain adalah kebijakan pemerintah kita untuk membuat aturan yang mewajibkan iklan, baliho, nama hotel untuk ditulis dalam bahasa Indonesia. Dalam bidang pendidikan pemerintah memasukkan bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib di sekolah dan mata kuliah wajib di perguruan tinggi.
Bahasa politk adalah bahasa yang digunakan dalam wacana politik. Ini adalah bagaimana bahasa menyampaikan makna dalam politik, misalnya dalam kampanye dan pernyataan politik. Essay ini difokuskan pada bahasa politik yang mencakup pernyataan politik maupun yang bernuansa politik.
Sebelum kita masuk pada diskusi tentang topik, kita bahas dulu definisi bahasa dan definisi politik agar kita bisa melihat benang merahnya. Yang pertama adalah definisi bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa, bahasa adalah system lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri. Dari definisi ini jelaslah bahasa adalah lambang atau symbol yang mengandung makna. Dengan makna symbol ini maka bahasa digunakan oleh penggunanya untuk menjalin kerja sama, berinteraksi, dan menjadi alat ekspresi dalam menyatakan identitas diri.
Dari segi bahasa sebagai alat komunikasi, maka bahasa memiliki memiliki dua fungsi. Menurut Brown dan Yule dalam bukunya Discourse Analysis, bahasa memiliki dua fungsi, interaksi dan transaksi. Fungsi interaksi adalah fungsi dalam membina hubungan sosial. Hal ini nampak pada ucapan selamat pagi, selamat siang, apa kabar, mau ke mana. Sedangkan fungsi transaksi adalah fungsi penyampai pesan seperti memberitahu, meminta, menawarkan, khutbah, dan lain-lain.
Sedangkan arti politik umumnya berhubungan dengan kekuasaan. Kata kekuasaan biasanya dihubungkan dengan negara, eksekutif, legislatif. Politik juga adalah upaya untuk memperoleh, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan. Maka wacana dalam kampanye pemilihan anggota legistatif, pemilihan calon presiden, pemilihan calon kepada daerah adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan. Segala produk negara yang berrhubungan seperti aturan perundang-undangan, peraturan pemerintahan, tata tertib, adalah upaya untuk menjalanakan kekuasaan. Produk peraturan dan perundang-undangan adalah upaya untuk menjalankan kekuasaan. Sedangkan pernyataan-pernyataan politik para politisi bisa diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan.
Fungsi Bahasa Politik
Kini kita membicarakan bahasa politik. Kita sudah membahas definisi bahasa dan definisi politik. Secara singkat bahasa adalah alat komunikasi menggunakan symbol bunyi. Sedangkan politik berhubungan dengan kekuasaan dalam masyarakat. Di sinilah titik temu bahasa dan politik. Kekuasaan politik adalah kekuasaan atas organisasi dan masyarakat. Kekuasaan ini tidak akan efektif tanpa bahasa. Maka di sinilah terjadi fungsi bahasa seperti yang diungkapkan oleh para pakar linguitik terapan, lebih khsus lagi pata pakar Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis). Mereka menjelaskan bahwa bahasa di samping sebagai sarana kemunikasi, juga berfungsi sebagai alat kekuasaan.
Dalam politik, fungsi bahasa adalah sebagai berikut. Pertama untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh para calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, calon kepala desa, dan calon anggota legislatif, baik calon anggota DPR maupun calon anggota DPD. Mereka para calon itu memaksimalkan penggunaa bahasa dalam kampanye. Misalnya, penyampaian isu kesejhateraan rakyat yang menjadi keprihatinan para calon, dan bahwa rakyat butuh calon pemimpin dan calon anggota legislatif yang mampu memperjuangkan kesejahteraan mereka dan mereka adalah calon yang tepat karena mereka mampu memberikan kesejahteraan yang menjadi kebutuhan rakyat.
Kedua, untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini tampak pada pernyataan-pernyataan para anggota legislatif, presiden, kepala daerah saat merilis suatu aturan. Tampak pada penyusunan narasi tentang keadaan yang dihadapi, seperti keadaan ibu kota negara Jakarta saat ini sehinggan dibutuhkan ibu kota negara baru. Narasi-narasi yang disampaikan disampaikan serasional mungkin sehingga bisa diterima masyarakat.
Ketiga untuk fungsi mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini mereka memaksimalkan penggunaan bahasa untuk meredam gejolak masyarakat saat terjadi kritik terhadap kekuasaan yang berpotensi turunnya kredibilitas kekuasaan mereka. Pada saat itu muncul istilah-istilah yang menyerang para pengkritik mereka, seperti bahaya laten komunis di era Orde Baru, dan makar di era sekarang yang terjadi di tahun 2016-an untuk meredam aksi ketidakpuasan segolongan masyarakat atas pemerintahan saat itu.
Ketiga untuk menjatuhkan lawan politik. Sudah lumrah dalam politik terjadi persaingan dalam memperoleh kemenangan politik. Politik dapat diumpamakan seperti catur, di mana para pemain menjalankan strategi untuk menang dan menjatuhkan lawan. Bahasa memainkan peran sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan melalui pelabelan terhadap lawan, label yang bisa menjatuhkan kredibilitas lawan. Contoh yang lagi marak sekarang adalah dua kelompok yang saling melabeli dengan tujuan saling menjatuhkan demi meperoleh kemenangan politik di ajang pemilu. Ada pihak yang melabeli lawannya cebong dengan konotasi dungu, dan yang dilabeli cebong balik melabeli lawannya kadrun dengan konotasi Islam radikal dan berbahaya.
Pemaknaan Ungkapan-ungkapan Politik
Bagaimana kita memaknai sebuah ungkapan politik? Apakah sebuah ungkapan politik mewakili makna sebagaiman kita memaknai ungkapan ilmiah, yakni sebagai sebuah kebenaran? Untuk menjawab itu kita harus merujuk pada kebenaran yang dipersyaratkan oleh filsafat ilmu, yaitu rasional dan empirik. Rasional artinya sesuai kadah berpikir dan empirik artinya dapat dibuktikan. Jadi bila ada orang yang berkata bahwa salju itu putih, maka dapat dianggap benar bila ungkapan itu rasional dan terbukti secara nyata bahwa salju itu putih.
Dalam teori De Sausure dikatakan bahwa bahasa dan realita saling berhubungan. Bahasa manjadi tanda dari realita. Dalam istilah linguistik bahasa adalah penanda (signifier). Sedangkan realita yang ditandainya disebut sebagai petanda (signified).
Bagaimana dengan ungkapan politik? Apakah bahasa politik menjadi penanda dari realita? Dengan merujuk pada fungsi bahasa dalam politik, maka kita sukar mengatakan apakah ungkapan politik itu benar atau salah, sebab politisi saat berbicara maka ada kepentingan politik di dalamnya. Ukuran kebenaran dalam politik adalah bila suatu pernyataan sesuai dengan kepentingan politik maka itu akan dianggap benar. Kita ambil ungkapan kesejahteraan. Andaikan ada kandidat anggota DPR, dalam kampanye mengatakan akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka kita harus memahami maknanya. Untuk itu, silahkan baca puisi yang menjadi pembukaan essay ini.
Puisi ini tentu saja bersifat imajinatif. Namun isinya yang bersifat satire itu tidak menyatakan bahwa pembicara berbohong. Dia hanya memanfaatkan ambiguitas ungkapan untuk menyampaikan maksudnya, sementara masyarakat memahami makna kesejahteraan itu sesuai harapannya. Maka dapat dikatakan bahwa makna ungkapan politik adalah wilayah abu-abu. Dengan demikian nyatalah bahwa politik memanfaatkan sifat ambigu untuk menggiring pikiran masyarakat ke arah yang sesuai dengan kepentingan politik politisi. Bahkan sifat ambigu ternyata bisa dimanfaatkan untuk memerangkap pikiran masyarakat sehingga mereka berpikir dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan politisi.
HARAPAN KITA
Apakah harapan kita berkenaan dengan bahasa politik? Bisa dimaklumi bahwa yang terpenting dalam politik adalah bagaiaman bisa berkuasa. Dalam percaturan politik tujuan akhirnya adalah kemenangan dalam persaingan memperoleh kekuasaan. Namun demikian, penggunaan bahasa yang bersayap, yang memanfaatkan sifat ambigu seyogyanya dihindari. Penggunaan bahasa dalam kampanye politik seyogyanya memicu masyarakat untuk berpikir secara logis meski tetap ada upaya persuasive bahkan provokatif untuk memilih kandidat tertentu. Bahasa dalam kampanye politik adalah bahasa yang mengajak masyarakat untuk berpikir tentang situasi bangsa, masalah bangsa, dan mengajak masyarakat untuk turut memecahkan masalah itu. Untuk itu dia menawarkan diri menjadi solusi dengan meminta legitimasi dari masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Dia menawarkan program-program dengan bahasa yang bisa dipahami masyarakat calon pemilihnya.
Penutup
Sebagai penutup,saya mengatakan bahwa makna bahasa politik tergantung pada kepentinngan politik penuturnya. Untuk mewujudkan kepentingan itu, politisi memanfaatkan sifat ambiguitas bahasa untuk menggiring masyarakat kearah yang diinginkan penutur selaku politisi. Namun demikian politisi diharapkan menggunakan bahasa yang mengajak masyarakat berpikir logis dan sedapat mungkin menghindari bahasa yang abu-abu.
ooOOoo
Catatan:
Artikel ini pernah dimuat dalam koran local Gorontalo, Harian Gorontalo Post, tanggal 1 November 2022 dengan judul “Bahasa Politik Politik”. Kini saya terbitkan kembali di Kompasiana dengan judul “Bahasa dan Politik” disertai perbaikan dan penyesuaian seperlunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H