Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Melukis dunia dengan kata-kata.

Pendidik anak bangsa pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Gorontalo yang gemar membaca segala macam bacaan dan suka melukis dunia dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahasa dan Politik

10 Agustus 2023   07:25 Diperbarui: 18 Februari 2024   12:18 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini kita membicarakan bahasa politik.  Kita sudah membahas definisi bahasa dan definisi politik. Secara singkat bahasa adalah alat komunikasi menggunakan symbol bunyi. Sedangkan politik berhubungan dengan kekuasaan dalam masyarakat. Di sinilah titik temu bahasa dan politik. Kekuasaan politik adalah kekuasaan atas organisasi dan masyarakat. Kekuasaan ini tidak akan efektif tanpa bahasa. Maka di sinilah terjadi fungsi bahasa seperti yang diungkapkan oleh para pakar linguitik terapan, lebih khsus lagi pata pakar Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis). Mereka menjelaskan bahwa bahasa di samping sebagai sarana kemunikasi, juga berfungsi sebagai alat kekuasaan.

Dalam politik, fungsi bahasa adalah sebagai berikut. Pertama untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini dilakukan oleh para calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, calon kepala desa, dan calon anggota legislatif, baik calon anggota DPR maupun calon anggota DPD. Mereka para calon itu memaksimalkan penggunaa bahasa dalam kampanye.  Misalnya, penyampaian isu kesejhateraan rakyat yang menjadi keprihatinan para calon, dan bahwa rakyat butuh calon pemimpin dan calon anggota legislatif yang mampu memperjuangkan kesejahteraan mereka dan mereka adalah calon yang tepat karena mereka mampu memberikan kesejahteraan yang menjadi kebutuhan rakyat.

Kedua, untuk menjalankan kekuasaan.  Hal ini tampak pada pernyataan-pernyataan para anggota legislatif, presiden, kepala daerah saat merilis suatu aturan. Tampak pada penyusunan narasi tentang keadaan yang dihadapi, seperti keadaan ibu kota negara Jakarta saat ini sehinggan dibutuhkan ibu kota negara baru. Narasi-narasi yang disampaikan disampaikan serasional mungkin sehingga bisa diterima masyarakat.

Ketiga untuk fungsi mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini mereka memaksimalkan penggunaan bahasa untuk meredam gejolak masyarakat saat terjadi kritik terhadap kekuasaan yang berpotensi turunnya kredibilitas kekuasaan mereka. Pada saat itu muncul istilah-istilah yang menyerang para pengkritik mereka, seperti bahaya laten komunis  di era Orde Baru, dan makar di era sekarang yang terjadi di tahun 2016-an untuk meredam aksi ketidakpuasan segolongan masyarakat atas pemerintahan saat itu.

Ketiga untuk menjatuhkan lawan politik. Sudah lumrah dalam politik terjadi persaingan dalam memperoleh kemenangan politik. Politik dapat diumpamakan seperti catur, di mana para pemain menjalankan strategi untuk menang dan menjatuhkan lawan. Bahasa memainkan peran sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan melalui pelabelan terhadap lawan, label yang bisa menjatuhkan kredibilitas lawan. Contoh yang lagi marak sekarang adalah dua kelompok yang saling melabeli dengan tujuan saling menjatuhkan demi meperoleh kemenangan politik di ajang pemilu. Ada pihak yang melabeli lawannya cebong dengan konotasi dungu, dan yang dilabeli cebong balik melabeli lawannya kadrun dengan konotasi Islam radikal dan berbahaya.

Pemaknaan Ungkapan-ungkapan Politik

Bagaimana kita memaknai sebuah ungkapan politik? Apakah sebuah ungkapan politik mewakili makna sebagaiman kita memaknai ungkapan ilmiah, yakni sebagai sebuah kebenaran? Untuk menjawab itu kita harus merujuk pada kebenaran yang dipersyaratkan oleh filsafat ilmu, yaitu rasional dan empirik. Rasional artinya sesuai kadah berpikir dan empirik artinya dapat dibuktikan. Jadi bila ada orang yang berkata bahwa salju itu putih, maka dapat dianggap benar bila ungkapan itu rasional dan terbukti secara nyata bahwa salju itu putih.

Dalam teori De Sausure dikatakan bahwa bahasa dan realita saling berhubungan. Bahasa manjadi tanda dari realita. Dalam istilah linguistik bahasa adalah penanda (signifier). Sedangkan realita yang ditandainya disebut sebagai petanda (signified).

Bagaimana dengan ungkapan politik? Apakah bahasa politik menjadi penanda dari realita? Dengan merujuk pada fungsi bahasa dalam politik, maka kita sukar mengatakan apakah ungkapan politik itu benar atau salah, sebab politisi saat berbicara maka ada kepentingan politik di dalamnya. Ukuran kebenaran dalam politik adalah bila suatu pernyataan sesuai dengan kepentingan politik maka itu akan dianggap benar. Kita ambil ungkapan kesejahteraan. Andaikan ada kandidat anggota DPR, dalam kampanye mengatakan akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka kita harus memahami maknanya.  Untuk itu, silahkan baca puisi yang menjadi pembukaan essay ini.

Puisi ini tentu saja bersifat imajinatif. Namun isinya yang bersifat satire itu tidak menyatakan bahwa pembicara berbohong. Dia hanya memanfaatkan ambiguitas ungkapan untuk menyampaikan maksudnya, sementara masyarakat memahami makna kesejahteraan itu sesuai harapannya. Maka dapat dikatakan bahwa makna ungkapan politik adalah wilayah abu-abu. Dengan demikian nyatalah bahwa politik memanfaatkan sifat ambigu untuk menggiring pikiran masyarakat ke arah yang sesuai dengan kepentingan politik politisi. Bahkan sifat ambigu ternyata bisa dimanfaatkan untuk memerangkap pikiran masyarakat sehingga mereka berpikir dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan politisi.

HARAPAN KITA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun