Dipahami bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu yang bersifat kejahatan disebut Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib yang tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui sifatnnya.
Karena Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib Sang Hyang Taya di dalam Tu atau To. Karenanya para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san, to-pong, to-wok, to-ya. Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berdaya gaib.
Dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang Tunggal. Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni: pertama, melakukan tu-lajeg (berdiri tegak), menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati). Kedua, menurunkan tangan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan diri). Ketiga, Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah). Keempat, Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Kelima, Melakukan to-ndhem (bersujud).
Di dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam yang menggunakan masjid, orang-orang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar..
Seorang penganut Kapitayan yang memuja Sang Hyang Taya akan dianggap shaleh dan dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itu yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Karena itu, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan pi-nakahulun.
Gerak-gerik kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal: berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia disebut pi-tara.
Dengan prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah. Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya.
Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.
Konsep kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan bukunya Republic justrui terisnpirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga yang merupakah ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.
Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan. Sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi raja-raja Jawa penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut para penguasa, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang.