SEBELUM awal perhitungan Masehi, telan ada satu keyakinan Keesaan Tuhan di Jawa. Para leluhur orang Jawa sudah menyadari bahwa keyakinan untuk dipercaya dan dijalankan ajarannya, bukan menjadi bahan perdebatan atau sebagai sumber pertikaian dan perang. Karenanya mereka sudah membekali diri dengan pengetahuan tentang Dzat Tertinggi dan bagaimana menemukan-Nya.
Orang Jawa telah percaya keberadaan entitas tidak kasat mata namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan manusia. Mereka tidak pernah menyembah selain Tuhan. Karenanya mereka tidak menyembah Dewa atau Bhatara yang diyaikini sebagai makhluk Tuhan. Mereka hanya menyembah Tuhan yang disebut Sang Hyang Taya.
Pada masa itu orang Jawa belum memiliki kitab suci, tetapi telah memiliki bahasa sandi yang disiratkan dalam semua sendi kehidupan dan memercayai ajaran tanpa mengalami perubahan karena memiliki aturan baku. Kesemuanya merupakan ajaran untuk membentuk laku utama yaitu tata krama (aturan hidup yang luhur) serta menjadikan orang Jawa sebagai sosok anjawani (berkepribadian orang Jawa).
Orang Jawa yang memahami etika senantiasa menerima ajaran agama dari kaum migran selama tidak menyimpang dengan monoteisme. Karenanya, banyak agama yang dibawa kaum migran memilih basis dakwahnya dari Jawa.
Leluhur orang Jawa selalu melihat bahwa agama sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang disertai sejumlah laku. Ajaran mereka yang tidak terpaku pada aturan ketat menekankan konsep keseimbangan. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol laku berupa perangkat adat asli Jawa mengekspresikan wibawa magis, dan bukan inti ajarannya. Memang tidak dipungkiri telah banyak penghayat Kejawen dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur melalui praktik klenik dan perdukunan, padahal tindakan itu tidak ada dalam ajaran.
Dasar Pemahaman Ajaran Kapitayan
Sebelum masuknya agama yang dibawa kaum mirgran, sudah ada agama kuna di tanah Jawa yakni Kapitayan -- yang menurut sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama tersebut merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan kepada Sang Hyang Taya.
Sang Hyang Taya yang menjadi pujaan para penganut Kapitayan bermakna hampa atau kosong. Orang Jawa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat, "Tan kena kinaya ngapa" (Tidak bisa diapa-apakan keberadaannya). Karenanya agar bisa disembah, Sang Hyang Taya memribadi dalam nama dan sifat "Tu" atau "To" yang bermakna daya gaib serta bersifat adikodrati.
Dalam bahasa Jawa kuna, kata taya yang diartikan kosong atau hampa namun bukan berarti tidak ada. Istilah "taya" digunakan untuk mendefinisikan kalimat tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diangan-angan. Sesuatu yang ada namun tidak ada.
Perlu diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu Yang Mutlak yang tidak bisa dibayangkan (niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera.
Dipahami bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan. Tu yang bersifat kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu yang bersifat kejahatan disebut Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib yang tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui sifatnnya.
Karena Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib Sang Hyang Taya di dalam Tu atau To. Karenanya para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san, to-pong, to-wok, to-ya. Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berdaya gaib.
Dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang Tunggal. Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni: pertama, melakukan tu-lajeg (berdiri tegak), menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati). Kedua, menurunkan tangan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan diri). Ketiga, Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah). Keempat, Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki). Kelima, Melakukan to-ndhem (bersujud).
Di dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam yang menggunakan masjid, orang-orang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar..
Seorang penganut Kapitayan yang memuja Sang Hyang Taya akan dianggap shaleh dan dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itu yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Karena itu, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan pi-nakahulun.
Gerak-gerik kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal: berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia disebut pi-tara.
Dengan prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah. Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya.
Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.
Konsep kekuasaan ra-tu dan da-tu mirip dengan konsep: "King Philosopoher"-nya Plato dari Yunani (abad 3 SM) atau mungkin Plato dengan bukunya Republic justrui terisnpirasi oleh ajaran Kapitayan. Konsep ini juga yang merupakah ruh dari konsep falsafah dan ideologi politik Pancasila yakni sila ke-4: "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan." Serta Sila 1: "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-tu dan dha-tu mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut para pemuja Vishnu masuk ke tanah Jawa.
Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan. Sistem kepewarisan tahta kekuasaan raja yang bersifat kewangsaan telah memberi motivasi bagi raja-raja Jawa penganut Vaishnava. Sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut para penguasa, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak hilang.
Keberadaan seorang raja selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-tu atau dha-tu. Sehingga seorang raja dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut keraton atau kedhaton di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-tu, tu-nggul, tu-mbak, tu-lang, to-san, to-pong, to-parem, to-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Jawa mensyaratkan keberadaan ra-tu atau dha-tu dengan benda-benda ber-tu-ah.
Prinsip Ajaran Kapitayan
Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Buddha. Pada era Walisanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslih syai'un, berdasarkan dalil al-Quran dan Hadist yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa.
Walisanga juga menggunakan istilah 'sembahyang' dan tidak memakai istilah salat. Sembahyang adalah menyembah 'Hyang'. Di mana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan diubah menjadi seperti langgar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, inipun merupakan adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan 'shaum' karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah 'upawasa' kemudian menjadi puasa.
Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhan-nya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Jawa akan menolak.
Hindu pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.
Pokok Ajaran Kapitayan
Sebagai agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya. Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah "Hamemayu hayuning bawana". Menjaga atau menata keindahan jagat baik jagat cilik (mikrokosmos) maupun jagat gedhe (makrokosmos).
Dalam pemahaman orang Jawa, jagat cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagat gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagat cilik adalah raga manusia. Sedangkan jagat gedhe adalah metafisika atau spiritual manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Orang Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.
Agar hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsa dengan Sang Hyang Taya. Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka, alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.
Bila hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagat akan tampak indah. Jagat akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya. (Sri Wintala Achmad, penulis).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H