Sebagai bagian dari produk budaya, kesusastraan terus mengalami perkembangan selaras dengan zaman (nut jaman kelakone). Sejak era Kahuripan, Kadiri dan Janggala, hingga Wilwatikta (Majapahit); kesusastraan yang tumbuh di Jawa berupa kakawin. Masa itu muncul beberapa karya sastra, antara lain: Kakawin Arjuna Wiwaha (Pu Kanwa), Kakawin Smaradahana (Pu Dharmaja), Kakawin Bharatayuddha (Pu Panuluh dan Pu Sedah), Kakawin Nagarakretagama dan Kakawin Nirartha Prakretha (Pu Prapanca), Kakawin Arjunawijaya dan Kakawin Sotasoma (Pu Tantular), Kakawin Lubdhaka dan Kakawin Wrttasancaya (Pu Tanakung), dan Kakawin Kunjarakarna Dhanakathana (Pu Dusun).
Semasa Kesultanan Demak yang semakin menunjukkan taringnya sebagai kerajaan Islam paska surutnya Wilwatikta, kesusastraan cenderung bernapaskan Islami dalam bentuk suluk. Melalui Sunan Bonang, beberapa karya, semisal: Suluk Wragul, Suluk Wujil, dan Suluk Wali dilahirkan. Masa itu, beberapa karya syair yang dilagukan, semisal: Tamba Ati (Sunan Bonang), Padhang Bulan (Sunan Giri), dan Ilir-Ilir (Sunan Kalijaga) turut mewarnai kehidupan sastra di Jawa.
Kehidupan sastra terus mengalami perkembangan secara dinamis. Sejak era Mataram Islam hingga Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Praja Mangkunegaran; karya sastra baik berupa suluk, serat, maupun babad dilahirkan oleh para raja, di antaranya: Sastra Gendhing (Sultan Agung), Serat Wulangreh (Sri Susuhunan Pakubuwana IV), dan Serat Wedhatama (KGPAA Mangkunegara IV).
Selain para raja, terdapat para pujangga keraton dari Kasunanan Surakarta semisal: R. Ng. Yasadipura II, R.Ng. Ranggasutrasno, R.Ng. Sastradipura, Pangeran Jungut Mandureja, Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumengung Tirtawiguna, Carik Braja, dll menggubah beberapa karya sastra. Melalui para pujangga keraton Surakarta tersebut, beberapa karya sastra semisal: Babad Tanah Jawi, Serat Pararaton, Serat Centhini, Babad Palihan Nagari, Babad Dipanegara, dan lain-lain diciptakan.
Surutnya kepujanggaan R.Ng. Yasadipura II dkk bukan berarti surutnya kesusastraan di Surakarta. Terbukti semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana V (1820-1823) hingga Sri Susuhunan Pakubuwana VII (1861-1893), muncul seorang pujangga tangguh yang sangat produktif. Dia adalah R.Ng. Ranggawarsita III, cucu R.Ng. Yasadipura II, yang memiliki nama asli Bagus Boerhan. Melalui gagasan kreatif Ranggawarsita, karya-karya sastra seperti: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Jayengbaya, Serat Cemporet, Serat Sabdatama, Serat Candrarini, Serat Witaradya, Suluk Saloka Jiwa, Wirid Hidayat Jati, Pustakaraja, dan lain-lain dilahirkan.
Paska era kepujanggaan R.Ng. Ranggawarsita III, kehidupan sastra modern mulai memengaruhi para sastrawan. Akibatnya, sastra modern mulai mengalami perkembangan di Jawa. Akibat lainnya, para sastrawan tidak lagi didominasi oleh para pujangga keraton, melainkan pula oleh masyarakat biasa yang mulai melek dengan tradisi tulis dan literasi.
Fakta semakin meningkatnya kuantitas sastrawan yang menggeluti karya sastra modern semakin kentara ketika paska kemerdekaan Republik Indonesia. Banyak karya sastra dilahirkan oleh para sastrawan baik dari Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960, Angkatan 1966-1970, Angkatan 1980-1990, Angkatan Reformasi, maupun Angkatan 2000. Para sastrawan yang berkarya dari dari masa ke masa tersebut bukan sekadar berasal dari Jawa, Jawa Barat, dan Jakarta; melainkan pula dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan lain-lain.
Perkembangan sastra modern di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya bukan lagi sekadar memosisikan karya sastra sebagai media tuntunan (media edukasi), media hiburan, dan pengisahan sejarah yang berpadu mitos sebagaimana sastra Jawa kuna; namun pula sebagai media kritik sosial, gerakan ideologis, aksi atau reaksi politis dari para sastrawan.
Ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintahan Orde Baru (baca: pemerintahan Soeharto), para sastrawan yang tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi cenderung mengarahkan karya-karyanya sebagai media kontemplatif, edukatif, dan pelipur lara (rekreatif).
Pembaca yang disasar oleh para sastrawan bukan sekadar kaum intelelektual, masyarakat akademis yang tengah studi di kampus, orang dewasa, dan kaum remaja; namun pula anak-anak. Mengingat waktu itu, banyak koran, majalah, tabloid, serta penerbit yang membuka peluang bagi para sastrawan untuk mencipta dan memublikasikan karya (baca: cerita anak) sebagai konsumsi anak-anak.
Perkembangan selanjutnya, para redaksi media massa cetak membuka rubrik puisi untuk anak-anak. Sehingga anak-anak bukan sekadar sebagai pengasup cerita anak dari para sastrawan dewasa, namun pula turut mengekspresikan hasil kerja kreatifnya meskipun dengan karya yang masih terkesan sangat ugahari.
Sastra Anak dari Masa ke Masa
Menurut hemat penulis, masyarakat yang hidup pada era kerajaan tidak mengenal karya sastra anak dalam bentuk tekstual. Selanjutnya sastra anak yang berkembang di dalam masyarakat paska kemerdekaan Indonesia hanya berupa tutur tinular atau dongeng. Oleh orang tua, dongeng tersebut dikisahkan secara lisan kepada anak-anaknya. Dongeng yang sarat ajaran kebijaksanaan dan paling tersohor pada masa itu seputar kisah si Kancil, seperti: Kancil dan Buaya, Kancil dan Pak Tani, Kancil dan Siput, dan lain-lain.
Barulah pada era pemerintahan Orde Baru, banyak buku sastra anak mulai didistribusikan ke berbagai Sekolah Dasar (SD). Sehingga anak-anak mulai dapat membaca beberapa buku sastra yang berisikan cerita rakyat atau dongeng yang dikoleksi oleh perpustakaan sekolah mereka.
Beberapa buku dongeng yang dapat dibaca oleh anak-anak tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun pula dari luar negeri. Pada saat itu, beberapa buku dongeng dari dalam negeri, semisal: Lutung Kesarung, Alue Naga, Rawa Pening, Sangkuriang, Rara Jonggrang, Malin Kondang, Danau Toba, Timun Emas, Bawang Merah dan Bawang Putih, Cinde Laras, Ande-Ande Lumut, Putri Junjung Buih, Telaga Bidadari, dan lain-lain mulai dikenal oleh anak-anak.
Sementara buku dongeng dari luar negeri yang sangat popular di kalangan anak-anak dunia, termasuk Jawa dan Indonesia, antara lain: The Tale of Peter Rabbit (Beatrix Potter), Hansel dan Gretel (Brothers Grimm), Winnie The Pooh (A.A. Milne), The Ugly Duckling (Hans Christian Andersen), Three Little Pigs (James Orchard Halliwell-Phillips), Aladdin and The Magic Lamp, dan Little Red Ridding Hood. Beberapa buku dongeng terjemahan yang sangat popular di kalangan anak-anak, antara lain: Cermin Ajaib, Pulau Matahari, Singa dan Jakal yang Cerdik, Si Kura-Kura yang Sombong, Telur Emas, dan masih banyak lagi.
Dalam perkembangannya, anak-anak tidak hanya disarankan oleh guru untuk gemar membaca buku cerita rakyat atau dongeng baik dari dalam dan luar negeri, namun pula dibimbing untuk mengarang sendiri. Sehingga pada masa itu, lomba mengarang karya sastra di tingkat SD menjadi salah satu cabang Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI).
Pada era pemerintahan Ir. Joko Widodo (Jokowi), lomba mencipta karya sastra baik cerpen maupun puisi diselenggarakan di dalam event tahunan yakni Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), dan kemudian berubah menjadi Festival Literasi Sekolah (FLS).
Di dalam mengikuti baik FLS2N dan FLS, anak-anak tidak lagi mendapatkan referensi berupa cerita rakyat atau dongeng dari orang tua. Mengingat tradisi mendongeng sebelum anak-anak pergi tidur tidak lagi mereka dengar. Sebagai gantinya, anak-anak mencari referensi dari berbagai buku yang diterbitkan oleh beberapa penerbit mayor dan naskah-naskah lepas dari koran dan majalah.
Selain melalui FLS2N dan FLS; gerakan literasi sekolah mulai didukung (dilaksanakan) baik oleh sekolah partikelir maupun sekolah negeri, pemerintah, serta lembaga non pemerintah terkait. Melalui gerakan literasi sekolah, anak-anak dihimbau tidak hanya sebagai pembaca karya sastra, namun pula belajar sebagai pencipta puisi maupun prosa semisal cerpen atau dongeng.
Tetapi tidak masalah bila anak-anak terlebih dahulu diarahkan untuk belajar mencipta puisi. Justru tahap ini dipandang sangat tepat. Mengingat melalui puisi, anak-anak kelak dapat belajar mencipta genre sastra lain dengan tetap memertimbangkan ketepatan diksi, kebenaran ejaan, serta efektivitas kalimat. Sehingga, karya mereka niscaya menunjukkan kualitasnya yang bernas, menarik, serta mudah dipahami pembaca.
Melalui belajar mencipta puisi, anak-anak akan dapat memertajam imajinasi, logika, dan rasa. Sehingga anak-anak tidak hanya mampu meningkatan kecerdasan otak, namun pula akan memiliki empati sosial yang tinggi. Tidak egois dan memrioritaskan kepentingan pribadi.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa belajar mencipta puisi akan mengarahkan anak-anak untuk dapat membangun karakter positifnya sendiri. Anak-anak pula akan terhindar dari kenakalan, tawuran siswa antar sekolah, atau kelak tidak menjadi anggota geng atau klithih.
Gerakan Literasi Sekolah
Sebaik-baik sebagai pembaca karya sastra, lebih baik sebagai pencipta karya sastra. Karena sebagai pencipta karya sastra, anak-anak akan membaca karya sastra. Namun kalau hanya sebagai pembaca karya sastra, anak-anak belum tentu gemar mencipta karya sastra.
Agar anak-anak gemar mencipta karya sastra, pihak sekolah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga swasta terkait harus memberikan motivasi kepada anak-anak melalui nara sumber terpercaya. Nara sumber tersebut merupakan para sastrawan yang siap memberikan pendampingan profesional kepada anak-anak di dalam berkarya sastra.
Dalam upaya melakukan gerakan literasi sekolah, pihak sekolah yang semustinya mendapat dukungan pemerintah harus secara intensif melakukan kegiatan pelatihan penciptaan karya sastra. Kegiatan tersebut bukan sekadar berhenti pada pelatihan, namun harus disertai dengan penerbitan antologi sastra yang menghimpun karya-karya dari para siswa peserta.
Gerakan literasi sekolah yang dilakukan oleh sekolah telah dilakukan oleh Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Melalui beberapa nara sumber di antaranya Iman Budhi Santosa, Budi Sardjono, Hidratmoko Andri, dan penulis sendiri; SMPN I Imogiri mengadakan pelatihan penciptaan puisi, cerkak, geguritan, dan cerpen pada Sabtu 30 November 2019. Karya dari para siswa yang merupakan hasil pelatihan tersebut kemudian dibukukan dalam bentuk antologi. Ini karya nyata dari SMPN I Imogiri yang layak diikuti oleh sekolah-sekolah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selain sekolah-sekolah yang semustinya mendukung gerakan literasi sekolah sebagaimana dilakukan secara berkelanjutan oleh Balai Bahasa Yogyakarta; Dinas P & K, Dinas Kebudayaan, dan TBY (Taman Budaya Yogyakarta) dapat melaksanakan gerakan ini secara pro-aktif. Gerakan literasi sekolah tersebut bisa berupa pelatihan penciptaan karya sastra secara intensif dan berkesinambungan dari tahun ke tahun.
Gerakan literasi sekolah dapat berupa lomba cipta karya sastra dan penerbitan buku sastra. Melalui penerbitan buku sastra, anak-anak dapat merasa bangga. Dari rasa bangga inilah, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri dan spirit yang menggelora untuk terus mencipta karya sastra.
Tentu saja, gerakan literasi sekolah melibatkan para sastrawan kredibel yang dapat mendampingi para siswa di dalam proses kreatif mereka. Para sastrawan yang didukung oleh pihak-pihak terkait dapat pula merealisasikan program sastra masuk sekolah sebagaimana dilakukan oleh Majalah Horison pada beberapa tahun silam. Adapun tujuan dari kegiatan tersebut untuk memberikan stimulan kepada para siswa yang tinggal di sekolah-sekolah baik di kota maupun di daerah pinggiran untuk gemar mencipta serta membaca karya sastra.
Apabila jalinan ideal antara pemerintah, lembaga terkait, sekolah, sastrawan, dan para siswa tercipta; gerakan literasi sekolah akan dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, harapan agar anak-anak dapat menjadi seorang kreator dan pembaca karya sastra yang mengarah pada pencerapan nilai-nilai edukatif di dalamnya bukan sekadar mimpi indah di siang bolong.
Dengan mencipta karya sastra, anak-anak pun akan menjadi generasi emas. Hal ini dikarenakan peran hidup mereka sebagai bangsa Indonesia dapat memberikan kontribusi nyata kepada negaranya. Kontribusi yang dapat mengangkat citra Indonesia di mata internasional. (Sri Wintala Achmad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H