Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguak Ajaran Filsafat Kepemimpinan Jawa 4-W dalam Seni Tari

25 Juni 2024   18:08 Diperbarui: 25 Juni 2024   18:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah

Seni tari semisal Tari Bedaya dan Tari Serimpi merupakan karya seni adiluhung yang hanya dapat disaksikan di dalam keraton. Keadiluhungan seni tari sekiranya bukan sekadar bertumpu pada kemolekan wajah penari, riasan, busana, gerak indah, dan dinamika komposisinya; namun pula pada makna filosofi yang sarat ajaran. Selain pada para penonton, ajaran tersebut ditujukan kepada raja (adipati) baik di Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Yogyakarta, Praja Mangkunegara, maupun Kadipaten Pakualaman.

Bagi raja, ajaran kepemimpinan Jawa yang tersirat pada seni tari bukan sekadar terletak pada makna simboliknya, namun pada tiga unsur di dalamnya. Unsur-unsur yang disebutkan oleh Suryobrongto tersebut meliputi: wiraga, wirama, wirasa. Di samping ketiga unsur tersebut  terdapat satu unsur lain yakni wirupa yang jarang disebutkan dalam seni tari.

Mengacu pada reinterpretasi yang dalam bahwa Wiraga berkaitan dengan gerak tubuh dan bagian-bagiannya, seperti: leher, tangan, jari, pinggang, pinggul, dan kaki. Wirama berkaitan dengan irama gerak penari dan musik pengiring tarian. Wirasa berkaitan dengan penghayatan penari dan rasa yang ditimbulkan dari tarian. Wirupa berkaitan dengan perwajahan (visualisasi) utuh dari tarian tersebut.

Bagi raja, keempat unsur dalam seni tari yang kemudian sering disebut dengan Catur Wa (4-W) tersebut mengandung ajaran filsafat kepemimpinan Jawa. Bagi pemimpin yang ingin mengetahui perihal ajaran filosofis dari wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya dapat memperhatikan penjelasannya, sebagai berikut:

Wiraga

Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri
Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri

Secara harfiah, wiraga adalah keterampilan dasar gerak tubuh atau fisik penari. Dalam konteks filsafat kepemimpinan Jawa; wiraga mengacu pada kegesitan, kelincahan, dan keluwesan ragawi seorang pemimpin di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut, raga harus sehat. Terbebas dari segala jenis penyakit baik ringan, sedang, maupun berat. 

Mencapai kesehatan raga yang seoptimal mungkin, seorang pemimpin harus mengupayakan. Melakukan istirahat teratur, mengonsumi asupan empat sehat lima sempurna, berolah raga, atau melakukan yoga seharusnya ia prioritaskan. Bisa pula ia mengikuti resep Presiden Joko Wiudodo yakni meminum jamu Jawa yang steril dari bahan kimia.

Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri
Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri

Menjaga kesehatan raga dapat dicapai oleh pemimpin dengan menetralkan pikiran dari stressing. Mengingat stressing yang dapat menghambat peredaran napas dan darah tersebut merupakan biang keladi dari penyakit raga. Karenanya, ia perlu menyempatkan waktu untuk berwisata atau menikmati musik yang dapat menimbulkan rasa bahagia. Kebahagiaan merupakan kunci kesehatan.

Sesudah kesehatan raga terjaga selalu, seorang pemimpin harus dapat mengelola raga dan seluruh bagiannya untuk selalu ringan dan lentur. Sehingga, ia mudah bergerak dari tempat satu ke tempat lainnya serta cekatan di dalam menyelesaikan pekerjaan tanpa menimbulkan risiko pada bagian-bagian raga. Semisal, kaki atau tangan terkilir.

Mengelola raga juga dapat dimaknai mendidik raga untuk menerapkan etika Jawa, seperti: makan atau memberi sesuatu pada orang lain dengan tangan kanan, membungkuk pada orang yang semustinya dihormati, mengangguk sambil tersenyum pada bawahan, dan sebagainya. Bagian-bagian raga juga harus dimanfaatkan untuk laku kebajikan, semisal mata untuk memandang kebenaran, mulut untuk berkata yang sopan dan ramah, tangan untuk menolong, dan sebagainya.

Terdapat mutiara Jawa yang menyebutkan ajining raga saka busana. Agar raga dihargai, seorang pemimpin harus mengenakan busana hingga semua aurat tertutupi dari setiap mata memandang. Karenanya fungsinya hanya untuk menutupi aurat, ia tidak perlu mengenakan pakaian mahal dan bermerk. Sederhana bukan masalah. Asal bersih, rapi, sopan, dan serasi dengan raganya.

Bila arif di dalam menghargai raganya dengan busana, pemimpin akan dihargi oleh bawahan dan rakyatnya. Citra yang ditimbulkan dari busana yang sederhana, rapi, sopan, dan serasi dengan raganya bahwa pemimpin memiliki sifat rendah hati, percaya diri, sopan, dan dapat menyesuaikan diri. Itulah pemimpin cerdas yang dapat menarik simpatik rakyat tanpa seribu kata dan segepok uang.

Wirama

Dok. Pementasan Sendratari Jarang Kepang Aswa Muswanda Kusuma, Temanggung/Dok. pri
Dok. Pementasan Sendratari Jarang Kepang Aswa Muswanda Kusuma, Temanggung/Dok. pri

Wirama adalah irama musik pengiring seni tari yang mengandung unsur tempo dan dinamik. Tempo adalah lambat dan cepatnya irama. Dinamik adalah keras dan lembutnya irama. Kedua unsur tersebut mengkristal dengan gerak penari ketika membawakan tarian dari purwaka, madya, hingga wusana. Dari kemanunggalan gerak dan irama tersebut terciptalah keindahan.

Dalam seni tari, wirama bukan sekadar dimaknai secara harfiah namun secara subtansial. Lebih dalam lagi, wirama dapat ditangkap sebagai ajaran simbolik bagi para pemimpin. Melalui petuah yang disampaikan oleh wirama, pemimpin yang diibaratkan penari harus mengikuti perubahan zaman (nut jaman kelakone).

Menjabat sebagai pemimpin pada era modern, digital, atau milenial harus tanggap dan mengikuti perubahan zaman. Bagi pemimpin yang tidak pernah belajar untuk meningkatkan ilmu pengetahuan akan ketinggalan zaman. Ia akan serupa katak di dalam tempurung. Merasa tahu namun hanya di lingkungan yang sempit, terbatas, dan tertutup. Ia serupa burung di dalam sangkar yang kemerduan kicauannya hanya didengar oleh orang-orang di sekitar.

Bagi pemimpin yang bijak harus mampu menyelaraskan antara gerak dengaa irama kepemimpinannya. Kelambatan, kecepatan, kekerasan, dan kelembutannya dalam bersikap harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi. Dengan sikap seperti itu, ia akan selamat selama melaksanakan tugas kepemimpinannya. Ia pun akan dikatakan sebagai pemimpin yang berhasil pada masanya.

Hanya bersikap bijak dengan situasi dan kondisi, pemimpin berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mengembangkan negaranya. Mengingat rakyat yang meneladani pemimpinnya senantiasa survive seirama perkembangan zaman. Mengingat mereka sudah mampu mengantisipasi perkembangan zaman yang lebih kejam ketimbang gelombang tsunami paling ganas.

Wirasa

Dok. Pementasan Sendratari Jarang Kepang Aswa Muswanda Kusuma, Temanggung/Dok. pri
Dok. Pementasan Sendratari Jarang Kepang Aswa Muswanda Kusuma, Temanggung/Dok. pri

Seorang penari akan dikatakan berhasil bila gerak tariannya bukan sekadar menggunakan teknik dan bermodal pengalaman. Selain teknik yang diperoleh melalui pendidikan formal atau informal serta pengalamannya semala berprofesi sebagai penari, terdapat unsur lain yang menyempurnakan keberhasilannya. Unsur yang tidak bisa disepelekan oleh penari adalah rasa (penghayatan) selama menari.

Demikian pula seorang pemimpin. Ia akan dikatakan berhasil bila bukan sekadar mampu menerapkan teknik dan pengalamannya, namun pula menggunakan rasa selama memimpin. Melalui totalitas rasa (penghayatan)-nya selama memimpin, ia dapat menikmati pekerjaannya tanpa beban. Hingga ia pun dapat menyadari bahwa tugas dan kewajiban kepemimpinannya bukan untuk diri sendiri; melainkan sebagai darma yang harus dibaktikan kepada Tuhan, bangsa, dan negaranya. 

Ketika menggunakan rasa selama mengemban tugas dan kewajibannya, pemimpin akan mencintai semua rakyatnya. Tanpa rasa cinta, ia tidak akan berhasil menjadi pemimpin. Selain rasa cinta, ia selalu memposisikan rakyat sebagai tuan yang harus dilayani dengan spirit pengabdian. Spirit yang sama sekali tidak memiliki harapan balas budi, pujian, dan tepuk tangan.

Seorang pemimpin yang bijak akan menyadari bahwa kepuasan rakyat menjadi tolok ukur keberhasilan pengabdiannya. Bila tidak ada kritik, cacian, bully, dan hoax dari rakyat atas kepemimpinannya, artinya ia berhasil selama menjabat sebagai pemimpin. Kalau toh ada pihak yang tidak menyukai kepemimpinanannya bisa disebabkan rasa iri. Bisa pula pihak tersebut berobsesi besar untuk menjadi pemimpin, namun tidak pernah mendapatkan dukungan rakyat.

Dari uraian di muka memberi pemahaman bahwa rasa merupakan unsur utama dalam kepemimpinan Jawa. Melalui rasa, pemimpin tersebut akan memanusiakan seliuruh rakyat. Bukan sebaliknya, ia akan serupa harimau yang senantiasa menerapkan hukum rimba. Di mana semua binatang yang menjadi rakyat di negeri hutan harus tunduk kepadanya. Bila tidak, mereka bisa tewas di ujung taring atau kuku-kukunya.

Wirupa

Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri
Dok. Pementasan Sendratari Jaran Kepang Aswa Bregada Mataram, Temanggung Jawa Tengah/Dok. pri

Wirupa merupakan wujud nyata dari keseluruhan tarian. Berdasarkan wirupa yang dapat disaksikan niscaya memunculkan penilaian dari audience. Apakah tarian tersebut dapat dibilang bagus, biasa-biasa saja, atau buruk. Bila penilaiannya bagus, maka penari di dalam membawakan tarian tersebut berhasil. Bila penilaian buruk, maka tarian tersebut telah gagal dibawakan oleh penari. Dengan penilian tersebut, penari yang mau berintrospeksi akan membenahi penampilannya di kemudian. Tetapi penari yang tidak mau instrospeksi akan tersinggung dan bahkan marah bila mendapatkan penilaian buruk.

Dalam konteks kepemimpinan, wirupa merupakan wujud kerja nyata seorang pemimpin, misal pembangunan infrastruktur, kemajuan ekonomi rakyat dan negara, keaaman di dalam negeri, pengembangan seni dan budaya, dsb. Bila sektor-sektor tersebut tidak mengalami kemajuan, maka pemimpin dianggap gagal selama melaksanakan tugas dan kewajibannya. Bila seluruh sektor tersebut mengalami kemajuan pesat, maka pemimpin akan dinilai berhasil.

Agar tidak menimbulkan penilaian buruk dari rakyat, pemimpin harus bekerja seoptimal mungkin. Ia harus bekerja tanpa mengenal lelah seperti diibaratkan sirah dingo sikil, sikil dinggo sirah. Di samping, ia harus melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan proses yang benar. Mengingat baik buruknya wirupa sangat tergantung pada benar dan tidaknya suatu proses. Dari proses tersebut juga sangat menentukan berkualitas dan tidaknya hasil akhir suatu pekerjaan. Menentukan pula baik buruknya penilaian dari rakyat.

Agar proses di dalam mewujudkan kerja yang sempurna, seorang pemimpin harus menguasai teknik dan kaya pengalaman. Di samping itu, ia harus melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya untuk menjadi pembimbing selama menjalani proses tersebut.  Hanya dengan langkah demikian, ia akan dapat melahirkan sejumlah karya monumental yang akan dikenang rakyat sesudah turun dari tahta kepemimpinannya. (Sri Wintala Achmad, penulis buku Filsafat Kepemimpinan Jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun