Seni tari semisal Tari Bedaya dan Tari Serimpi merupakan karya seni adiluhung yang hanya dapat disaksikan di dalam keraton. Keadiluhungan seni tari sekiranya bukan sekadar bertumpu pada kemolekan wajah penari, riasan, busana, gerak indah, dan dinamika komposisinya; namun pula pada makna filosofi yang sarat ajaran. Selain pada para penonton, ajaran tersebut ditujukan kepada raja (adipati) baik di Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Yogyakarta, Praja Mangkunegara, maupun Kadipaten Pakualaman.
Bagi raja, ajaran kepemimpinan Jawa yang tersirat pada seni tari bukan sekadar terletak pada makna simboliknya, namun pada tiga unsur di dalamnya. Unsur-unsur yang disebutkan oleh Suryobrongto tersebut meliputi: wiraga, wirama, wirasa. Di samping ketiga unsur tersebut terdapat satu unsur lain yakni wirupa yang jarang disebutkan dalam seni tari.
Mengacu pada reinterpretasi yang dalam bahwa Wiraga berkaitan dengan gerak tubuh dan bagian-bagiannya, seperti: leher, tangan, jari, pinggang, pinggul, dan kaki. Wirama berkaitan dengan irama gerak penari dan musik pengiring tarian. Wirasa berkaitan dengan penghayatan penari dan rasa yang ditimbulkan dari tarian. Wirupa berkaitan dengan perwajahan (visualisasi) utuh dari tarian tersebut.
Bagi raja, keempat unsur dalam seni tari yang kemudian sering disebut dengan Catur Wa (4-W) tersebut mengandung ajaran filsafat kepemimpinan Jawa. Bagi pemimpin yang ingin mengetahui perihal ajaran filosofis dari wiraga, wirama, wirasa, dan wirupa yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya dapat memperhatikan penjelasannya, sebagai berikut:
Wiraga
Secara harfiah, wiraga adalah keterampilan dasar gerak tubuh atau fisik penari. Dalam konteks filsafat kepemimpinan Jawa; wiraga mengacu pada kegesitan, kelincahan, dan keluwesan ragawi seorang pemimpin di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut, raga harus sehat. Terbebas dari segala jenis penyakit baik ringan, sedang, maupun berat.
Mencapai kesehatan raga yang seoptimal mungkin, seorang pemimpin harus mengupayakan. Melakukan istirahat teratur, mengonsumi asupan empat sehat lima sempurna, berolah raga, atau melakukan yoga seharusnya ia prioritaskan. Bisa pula ia mengikuti resep Presiden Joko Wiudodo yakni meminum jamu Jawa yang steril dari bahan kimia.
Menjaga kesehatan raga dapat dicapai oleh pemimpin dengan menetralkan pikiran dari stressing. Mengingat stressing yang dapat menghambat peredaran napas dan darah tersebut merupakan biang keladi dari penyakit raga. Karenanya, ia perlu menyempatkan waktu untuk berwisata atau menikmati musik yang dapat menimbulkan rasa bahagia. Kebahagiaan merupakan kunci kesehatan.
Sesudah kesehatan raga terjaga selalu, seorang pemimpin harus dapat mengelola raga dan seluruh bagiannya untuk selalu ringan dan lentur. Sehingga, ia mudah bergerak dari tempat satu ke tempat lainnya serta cekatan di dalam menyelesaikan pekerjaan tanpa menimbulkan risiko pada bagian-bagian raga. Semisal, kaki atau tangan terkilir.
Mengelola raga juga dapat dimaknai mendidik raga untuk menerapkan etika Jawa, seperti: makan atau memberi sesuatu pada orang lain dengan tangan kanan, membungkuk pada orang yang semustinya dihormati, mengangguk sambil tersenyum pada bawahan, dan sebagainya. Bagian-bagian raga juga harus dimanfaatkan untuk laku kebajikan, semisal mata untuk memandang kebenaran, mulut untuk berkata yang sopan dan ramah, tangan untuk menolong, dan sebagainya.
Terdapat mutiara Jawa yang menyebutkan ajining raga saka busana. Agar raga dihargai, seorang pemimpin harus mengenakan busana hingga semua aurat tertutupi dari setiap mata memandang. Karenanya fungsinya hanya untuk menutupi aurat, ia tidak perlu mengenakan pakaian mahal dan bermerk. Sederhana bukan masalah. Asal bersih, rapi, sopan, dan serasi dengan raganya.
Bila arif di dalam menghargai raganya dengan busana, pemimpin akan dihargi oleh bawahan dan rakyatnya. Citra yang ditimbulkan dari busana yang sederhana, rapi, sopan, dan serasi dengan raganya bahwa pemimpin memiliki sifat rendah hati, percaya diri, sopan, dan dapat menyesuaikan diri. Itulah pemimpin cerdas yang dapat menarik simpatik rakyat tanpa seribu kata dan segepok uang.
Wirama
Wirama adalah irama musik pengiring seni tari yang mengandung unsur tempo dan dinamik. Tempo adalah lambat dan cepatnya irama. Dinamik adalah keras dan lembutnya irama. Kedua unsur tersebut mengkristal dengan gerak penari ketika membawakan tarian dari purwaka, madya, hingga wusana. Dari kemanunggalan gerak dan irama tersebut terciptalah keindahan.
Dalam seni tari, wirama bukan sekadar dimaknai secara harfiah namun secara subtansial. Lebih dalam lagi, wirama dapat ditangkap sebagai ajaran simbolik bagi para pemimpin. Melalui petuah yang disampaikan oleh wirama, pemimpin yang diibaratkan penari harus mengikuti perubahan zaman (nut jaman kelakone).
Menjabat sebagai pemimpin pada era modern, digital, atau milenial harus tanggap dan mengikuti perubahan zaman. Bagi pemimpin yang tidak pernah belajar untuk meningkatkan ilmu pengetahuan akan ketinggalan zaman. Ia akan serupa katak di dalam tempurung. Merasa tahu namun hanya di lingkungan yang sempit, terbatas, dan tertutup. Ia serupa burung di dalam sangkar yang kemerduan kicauannya hanya didengar oleh orang-orang di sekitar.
Bagi pemimpin yang bijak harus mampu menyelaraskan antara gerak dengaa irama kepemimpinannya. Kelambatan, kecepatan, kekerasan, dan kelembutannya dalam bersikap harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi. Dengan sikap seperti itu, ia akan selamat selama melaksanakan tugas kepemimpinannya. Ia pun akan dikatakan sebagai pemimpin yang berhasil pada masanya.
Hanya bersikap bijak dengan situasi dan kondisi, pemimpin berpotensi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mengembangkan negaranya. Mengingat rakyat yang meneladani pemimpinnya senantiasa survive seirama perkembangan zaman. Mengingat mereka sudah mampu mengantisipasi perkembangan zaman yang lebih kejam ketimbang gelombang tsunami paling ganas.
Wirasa
Seorang penari akan dikatakan berhasil bila gerak tariannya bukan sekadar menggunakan teknik dan bermodal pengalaman. Selain teknik yang diperoleh melalui pendidikan formal atau informal serta pengalamannya semala berprofesi sebagai penari, terdapat unsur lain yang menyempurnakan keberhasilannya. Unsur yang tidak bisa disepelekan oleh penari adalah rasa (penghayatan) selama menari.
Demikian pula seorang pemimpin. Ia akan dikatakan berhasil bila bukan sekadar mampu menerapkan teknik dan pengalamannya, namun pula menggunakan rasa selama memimpin. Melalui totalitas rasa (penghayatan)-nya selama memimpin, ia dapat menikmati pekerjaannya tanpa beban. Hingga ia pun dapat menyadari bahwa tugas dan kewajiban kepemimpinannya bukan untuk diri sendiri; melainkan sebagai darma yang harus dibaktikan kepada Tuhan, bangsa, dan negaranya.
Ketika menggunakan rasa selama mengemban tugas dan kewajibannya, pemimpin akan mencintai semua rakyatnya. Tanpa rasa cinta, ia tidak akan berhasil menjadi pemimpin. Selain rasa cinta, ia selalu memposisikan rakyat sebagai tuan yang harus dilayani dengan spirit pengabdian. Spirit yang sama sekali tidak memiliki harapan balas budi, pujian, dan tepuk tangan.
Seorang pemimpin yang bijak akan menyadari bahwa kepuasan rakyat menjadi tolok ukur keberhasilan pengabdiannya. Bila tidak ada kritik, cacian, bully, dan hoax dari rakyat atas kepemimpinannya, artinya ia berhasil selama menjabat sebagai pemimpin. Kalau toh ada pihak yang tidak menyukai kepemimpinanannya bisa disebabkan rasa iri. Bisa pula pihak tersebut berobsesi besar untuk menjadi pemimpin, namun tidak pernah mendapatkan dukungan rakyat.
Dari uraian di muka memberi pemahaman bahwa rasa merupakan unsur utama dalam kepemimpinan Jawa. Melalui rasa, pemimpin tersebut akan memanusiakan seliuruh rakyat. Bukan sebaliknya, ia akan serupa harimau yang senantiasa menerapkan hukum rimba. Di mana semua binatang yang menjadi rakyat di negeri hutan harus tunduk kepadanya. Bila tidak, mereka bisa tewas di ujung taring atau kuku-kukunya.
Wirupa
Wirupa merupakan wujud nyata dari keseluruhan tarian. Berdasarkan wirupa yang dapat disaksikan niscaya memunculkan penilaian dari audience. Apakah tarian tersebut dapat dibilang bagus, biasa-biasa saja, atau buruk. Bila penilaiannya bagus, maka penari di dalam membawakan tarian tersebut berhasil. Bila penilaian buruk, maka tarian tersebut telah gagal dibawakan oleh penari. Dengan penilian tersebut, penari yang mau berintrospeksi akan membenahi penampilannya di kemudian. Tetapi penari yang tidak mau instrospeksi akan tersinggung dan bahkan marah bila mendapatkan penilaian buruk.
Dalam konteks kepemimpinan, wirupa merupakan wujud kerja nyata seorang pemimpin, misal pembangunan infrastruktur, kemajuan ekonomi rakyat dan negara, keaaman di dalam negeri, pengembangan seni dan budaya, dsb. Bila sektor-sektor tersebut tidak mengalami kemajuan, maka pemimpin dianggap gagal selama melaksanakan tugas dan kewajibannya. Bila seluruh sektor tersebut mengalami kemajuan pesat, maka pemimpin akan dinilai berhasil.
Agar tidak menimbulkan penilaian buruk dari rakyat, pemimpin harus bekerja seoptimal mungkin. Ia harus bekerja tanpa mengenal lelah seperti diibaratkan sirah dingo sikil, sikil dinggo sirah. Di samping, ia harus melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan proses yang benar. Mengingat baik buruknya wirupa sangat tergantung pada benar dan tidaknya suatu proses. Dari proses tersebut juga sangat menentukan berkualitas dan tidaknya hasil akhir suatu pekerjaan. Menentukan pula baik buruknya penilaian dari rakyat.
Agar proses di dalam mewujudkan kerja yang sempurna, seorang pemimpin harus menguasai teknik dan kaya pengalaman. Di samping itu, ia harus melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya untuk menjadi pembimbing selama menjalani proses tersebut. Hanya dengan langkah demikian, ia akan dapat melahirkan sejumlah karya monumental yang akan dikenang rakyat sesudah turun dari tahta kepemimpinannya. (Sri Wintala Achmad, penulis buku Filsafat Kepemimpinan Jawa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H