Tak lama kemudian, sebuah kabar datang. Haby akhirnya berhasil mengumpulkan dana untuk umroh dan akan berangkat dalam beberapa minggu. Pesan singkat dari Haby tiba di ponsel Fe di suatu pagi:
"Fe, aku akan segera berangkat ke Tanah Suci. Bersiaplah, karena di sana, aku akan menepati janjiku. Doakan aku, agar kita bisa berikrar di hadapan Ka'bah."
Mata Fe berkaca-kaca. Doa-doa yang ia panjatkan selama ini akhirnya dijawab. Meski jarak dan waktu sempat menjadi penghalang, cinta dan doa mereka tidak pernah goyah. Haby akan datang, dan mereka akan bersatu di tempat paling suci.
Ketika hari keberangkatan Haby tiba, Fe merasakan kehangatan harapan di hatinya. Kali ini, bukan hanya ayahnya yang pergi, tetapi juga cinta sejatinya. Ia tak sabar menunggu momen ketika Haby akan berdiri di hadapan Ka'bah, meminangnya dengan cinta yang tulus dan doa-doa yang suci.
Beberapa minggu kemudian, kabar bahagia datang dari Tanah Suci. Di hadapan Ka'bah, di bawah langit Mekkah yang dipenuhi doa-doa, Haby mengucapkan ijab kabul di dalam hati, memohon kepada Tuhan agar segera bisa mengikat janji suci dengan Fe. Meski mereka belum bersama secara fisik, janji itu sudah mengikat mereka dalam cinta dan iman yang tak tergoyahkan.
Fe menunggu dengan sabar, dan ketika Haby akhirnya kembali, mereka tahu bahwa perjalanan cinta mereka baru saja dimulai. Dalam waktu dekat, Haby akan datang ke rumah, menghadap Pak Burhan dengan mahar dan niat yang suci. Pernikahan mereka tidak akan hanya menjadi ikatan antara dua insan, tetapi juga ikatan yang diberkahi oleh tempat paling suci di muka bumi.
Di depan Ka'bah, cinta pertama Fe --- sang Ayah --- dan cinta sejatinya --- Haby --- kini bersatu dalam satu doa. Doa yang abadi, mengiringi perjalanan cinta mereka hingga ke akhirat nanti.
Setelah Haby kembali dari Tanah Suci, ia langsung menemui Pak Burhan dan Fe. Kedatangannya disambut dengan kehangatan, namun juga haru yang mendalam. Fe yang selama ini menantinya dengan penuh kesabaran, merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Di ruang tamu sederhana itu, Pak Burhan duduk di tengah, menatap Haby yang datang dengan membawa niat mulia.
"Saya datang, Pak Burhan," ujar Haby dengan suara yang tenang namun penuh kesungguhan. "Seperti yang saya janjikan kepada Fe, saya ingin meminang putri Bapak dengan niat baik dan suci. Di depan Ka'bah, saya telah berdoa, dan di sini, saya ingin menunaikan janji itu."
Pak Burhan tersenyum, mata tuanya berkaca-kaca. Ia sudah lama menginginkan hal ini. Melihat pria yang begitu mencintai putrinya berdiri di hadapannya dengan hati yang bersih membuatnya merasa tenang. "Haby, aku tahu sejak awal niatmu baik. Fe beruntung memiliki pria sepertimu yang tak hanya mencintainya dengan sepenuh hati, tapi juga menghargai cita-citanya dan keluarganya. Aku merestui kalian berdua."
Mendengar kata-kata restu itu, air mata Fe jatuh perlahan. Selama ini ia dan Haby telah menempuh perjalanan panjang, penuh dengan pengorbanan, kesabaran, dan doa-doa yang tak henti dipanjatkan. Kini, mereka akhirnya tiba di titik yang mereka impikan --- restu dari sang Ayah.