Fe tersenyum, membayangkan momen itu. "Aku percaya, Haby. Aku yakin, kita akan sampai di sana bersama, dan ikrar kita akan diiringi dengan doa-doa terbaik di depan Ka'bah."
Dengan keyakinan itu, Fe melanjutkan hari-harinya, menanti saat di mana cinta sejati dan cinta pertama dalam hidupnya bertemu di Tanah Suci. Pak Burhan, yang sekarang sedang melaksanakan ibadah umroh, menjadi lambang cinta yang tak tergantikan. Dan Haby, yang terus berusaha untuk segera menyusul, menjadi simbol cinta yang akan abadi di dunia dan akhirat.
Perjalanan cinta Fe bukanlah tentang kemewahan, tapi tentang ketulusan, pengorbanan, dan doa-doa yang tak pernah terputus. Sebuah cinta yang dirangkai oleh takdir, untuk bersatu di tempat paling suci, Ka'bah, di mana cinta mereka akan diikrarkan selamanya.
Hari-hari setelah kepergian Pak Burhan, Fe merasa rumahnya sedikit sepi. Meski demikian, hatinya tetap hangat dengan kebahagiaan dan rasa syukur. Ia kerap menerima kabar dari ayahnya melalui pesan singkat yang penuh haru. Setiap kali menerima foto ayahnya mengenakan pakaian ihram di Masjidil Haram atau berdiri di hadapan Ka'bah, Fe tak kuasa menahan air matanya. Impian itu kini menjadi nyata, dan ia merasa segala lelah dan pengorbanannya telah terbayar.
Namun di sisi lain, hatinya terus tertaut pada Haby. Pria itu masih bekerja keras, menyusun rencana untuk bisa pergi ke Tanah Suci sekaligus mempersiapkan mahar untuk meminang Fe. Bagi Haby, cinta mereka bukan hanya tentang perasaan, tapi tentang tujuan hidup yang lebih tinggi, dan ia ingin membuktikan kesungguhannya di hadapan Tuhan dan di hadapan Ka'bah.
Suatu malam, Fe teringat percakapan terakhir mereka.
"Fe, nanti saat kita di Tanah Suci, aku ingin memberikan mahar yang tidak biasa. Aku ingin memberi sesuatu yang bukan hanya berharga di dunia, tapi juga di akhirat. Itu sebabnya aku ingin mengucapkan ijab kabul di depan Ka'bah, tempat yang paling suci, dengan segala ketulusan yang kupunya."
Kata-kata itu terus terngiang di benak Fe. Ia tahu Haby pria yang gigih dan tulus. Ia tak pernah ragu bahwa Haby akan datang dengan seluruh cinta dan pengorbanannya. Namun, ada satu hal yang membuatnya semakin gelisah---waktu. Setiap hari, Fe berdoa agar takdir berpihak pada mereka, agar tak ada rintangan yang terlalu besar yang bisa memisahkan mereka.
Beberapa bulan berlalu, Pak Burhan telah kembali dari Tanah Suci dengan hati yang bersih dan penuh damai. Ia tak henti-hentinya bercerita tentang betapa agungnya ibadah umroh yang ia jalani. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah doa dan rasa syukur, terutama untuk Fe, putrinya yang luar biasa.
"Fe, saat Ayah berada di depan Ka'bah, Ayah memohonkan doa khusus untukmu dan Haby," ucap Pak Burhan suatu malam sambil memandang putrinya dengan penuh haru. "Ayah berdoa agar kalian bisa segera dipersatukan, dan agar ikatan kalian abadi. Ayah percaya, Tuhan akan mendengar doa-doa kita."
Mendengar itu, Fe tersenyum, namun hatinya masih dipenuhi harapan yang belum terwujud. Meski ia percaya akan takdir, ia tetap merindukan Haby. Mereka telah lama berjuang, dan kini Fe merasa saatnya hampir tiba.