Cinta di Menara Asmaul Husna
Oleh: Penadebu
Langit Samarinda malam itu tampak cerah, dihiasi bintang-bintang yang malu-malu mengintip dari balik awan tipis. Bayu dan Marta berjalan beriringan di tepian sungai Mahakam, menikmati suasana malam yang tenang. Lampu-lampu kapal pesiar yang melintas perlahan memantulkan cahayanya di permukaan air, menciptakan riak yang berkilauan, seolah membuai hati siapa pun yang memandangnya.
Islamic Center Samarinda berdiri megah di kejauhan, seperti pelita yang tak pernah padam. Tempat itu menyimpan kenangan berharga bagi Bayu dan Marta. Mereka pertama kali bertemu di sana, di tengah keramaian sebuah acara keagamaan. Kini, bertahun-tahun setelah pertemuan itu, mereka kembali, mengenang perjalanan panjang cinta mereka yang penuh liku.
Malam itu, Bayu mengajak Marta menaiki Menara Asmaul Husna, ikon kebanggaan Samarinda. Langkah mereka terasa ringan, meski usia tak lagi muda. Dari puncak menara, kota Samarinda terhampar luas di bawah mereka, dengan ribuan lampu yang berkelip bak permata. Angin malam berembus lembut, membawa aroma sungai yang khas.
"Lihat itu, Marta," kata Bayu sambil menunjuk ke arah sungai. "Mahakam tetap indah, seperti saat kita pertama kali bertemu."
Marta tersenyum, menggenggam tangan Bayu erat. "Dan kamu tetap menjadi pria yang sama. Yang selalu membuatku merasa dicintai."
Di puncak menara itu, mereka mengucap janji. Janji untuk bersatu dalam cinta dan kasih sayang, melupakan masa lalu yang pernah mengguncang pernikahan mereka. Marta memandang Bayu, mata mereka saling berbicara tanpa kata. Cinta yang sempat pudar kini menyala kembali, lebih hangat dari sebelumnya.
"Kita akan membangun bahagia, Bayu," kata Marta. "Kita akan menunaikan ibadah haji bersama. Itu janji kita."
Bayu mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan kita akan mengulang akad, Marta. Membawa sumpah itu kembali ke tempat yang suci."