Mohon tunggu...
Vicky Saa
Vicky Saa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Hanya hobi dan minat saja. Bakat? Saya tidak tahu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kaitan Ilmu Sejarah Dengan Politik: Menyikapi Tahun Politik 2024

1 Januari 2024   11:22 Diperbarui: 1 Januari 2024   11:23 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Sejarah dengan buku pedoman dari Kuntowijoyo yang berjudul Metodologi Sejarah, terdapat salah satu bab yakni bab 11 dimana mendefinisikan sejarah politik. Salah satu paragraf yang kerap kali saya gunakan untuk membantah, menyanggah, menambahkan dan lain sebagainya adalah ungkapan dari Sir John Robert Seeley dimana berbunyi: "History is past politics, politics is present history". Meskipun kalimat seperti itu bisa dikatakan basi, namun yang saya rasakan manakala berkuliah hingga saat ini,- hal itu masih erat dalam mata kuliah. Bahkan sejarah kebudayaan juga mengandung unsur perpolitikan pada masa lampau. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ungkapan Seeley itu kurang tepat digunakan pada masa ini. Hal itu dikarenakan pertumbuhan kajian baru dalam kesejarahan.

Mengenai sejarah politik sendiri, rata-rata pembahasan memiliki titik fokusnya masing-masing dimana bisa menyerang birokrat. Untuk sejarah nasional sendiri, kebanyakan juga membicarakan tokoh elit nasional,- entah itu presiden, menteri, politisi dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang kecil memang tidak masuk dalam sejarah nasional.

Belajar politik dari sejarah memang menyenangkan bagi saya pribadi. Hal ini dikarenakan menjadi tolok ukur saya dalam menilai calon presiden 2024 agar sekiranya tidak salah pilih atau minimal mengurangi dampak kerugian untuk nasional. Satu suara rakyat diperebutkan oleh tiga pasangan calon pemimpin 2024. Jadi, kalau salah memilih,- otomatis kerugian itu berdampak pada rakyat yang lain.

Saya memang baru akan mengikuti pemilu pada tahun ini. Usia saya baru cukup pada tahun ini. Namun mengingat bahwa kecanggihan teknologi menjadikan netizen yang awalnya hanya pemikir biasa berubah menjadi pengamat politik, maka tentunya saya sudah mengamati gejolak politik baik pada tahun 2009, 2014 dan 2019. Meskipun begitu, tetap saja saya anak bau kencur di perpolitikan negeri ini yang mungkin bisa dikatakan ikut demam politik.

Dan kesimpulan yang saya ambil adalah: Semua calon tidak dapat dipilih.

Bagaimana bisa? Buzzer-buzzer banyak beterbaran di media sosial, menyerang nurani seseorang. Menjatuhkan nama baik calon lain, mengungkapkan keburukan-keburukan, mengungkit kegagalan serta menyebar janji-janji manis yang tak masuk akal. Sebenarnya tak ada yang salah dengan janji kampanye, karena toh, rakyat yang miskin bakalan tetap miskin. Pejabat yang kaya tetap akan memperkaya diri. Dan itu benar.

Indonesia memiliki tujuh presiden hingga saat ini. Pada zaman Sukarno, rakyat merdeka dari penjajahan namun tetap dilanda kemiskinan. Yang makmur hanyalah pemerintah dan elit politik. Dan kemudian orde baru berkuasa. Rakyat dikatakan lumayan makmur, namun nyatanya korupsi juga menggemuk. Makmurnya rakyat sejalan dengan makmurnya pemerintah besar-besaran. Dan kemudian masa reformasi dimana seharusnya menjadi masa pemulihan, namun nyatanya juga tak membawa perubahan yang berarti. Kemudian beralih ke masa Gus Dur yang dikatakan sebagai presiden yang hobi jalan-jalan menghambur-hamburkan uang negara untuk lawatan. Masa ini juga belum membawa angin segar. Setelah itu ada masa penjualan aset negara dan pulau sehingga terjadi minus dan akhirnya terjadi pemilu pertama.

Pada masa selanjutnya, bencana alam terjadi bertubi-tubi tepat pada dua periode. Apakah kelebihan dari pemerintahan ini dengan pemerintahan yang sebelumnya? Saya sebagai wong cilik belum merasakan tepatnya, namun entahlah dengan yang lainnya. Dan masa Jokowi ini, meskipun saya melihat data-data,- namun nyatanya masih banyak pr yang kemudian bakalan di bebankan kepada presiden selanjutnya.

Bicara tentang perubahan yang bakalan tidak ada habisnya itulah, saya menyimpulkan bahwa tidak ada calon presiden yang dapat menggendongnya. Bagaimana bisa? Apa kriteria saya? Belum tentu semua orang berpikiran sama dengan saya, itu memang benar. Saya berpikir subyektif, itu memang benar. Saya hanya mencari sensasi? Tidak. Saya hanya ingin berpendapat saja, mengeluarkan isi otak saya yang meluap tak karuan ini.

Saya lahir pada masa SBY, jadi untuk mencari tahu masa sebelum itu,- tentunya saya membaca buku. Bersyukur saya memiliki Bapak yang mempunyai buku-buku politik dan biografi sehingga diusia saya yang duduk di bangku kelas 5, pemahaman saya tentang sejarah perpolitikan tumbuh. Kalau bertanya pada generasi kakek, mungkin mereka akan mengatakan bahwa zaman paling enak adalah zaman Soeharto. Karena jujur, zaman itu memang cukup berdampak untuk rakyat apalagi petani. Dan kalau bertanya pada generasi saya, zaman Jokowi enak karena terdapat jaminan sekolah gratis KIP dan KIP-K. Zaman Jokowi adalah zaman pembawa perubahan. Begitulah.

Sesungguhnya, pr utama untuk presiden mendatang adalah korupsi. Dan itu menjadi pilar utama yang harus diberantas lebih dahulu. Persetan janji BBM gratis, makan siang gratis, kenaikan gaji guru ngaji atau apalah itu. Toh, endingnya akan salah sasaran,- minimal berlaku sebulan lantas anggaran diterbang angin karena angin tak punya KTP. Jadi bisa dianggap wajar kalau nyolong anggaran bertriliun-triliun.

Sejatinya, tikus-tikus itu membuat sarang di DPR. Dewan yang seharusnya mewakili keresahan hati rakyat justru menjadi sumber resah umat. Bodohnya, karena sudah mengakar kuat, jadi sulit untuk menumbangkannya. Ada satu cara yang pas, yakni ketika terdapat sidang umum rapat DPR, hendaknya rakyat menyewa meriam dan kemudian meletakkan moncongnya ke arah gedung. Akhirnya, tamat riwayat DPR dan rakyat mendapat dakwaan melanggar HAM.

Indonesia lucu.

Tahun ini, nurani kalah dengan uang. Karena hanya rakyat, bukan pejabat. Mari kita lihat dari elektabilitas para calon. Atau polling-polling dari sebuah lembaga. Banding-bandingkan dengan lembaga yang lain dengan tanggal yang sama. Hal yang seperti itu dapat dibeli dengan uang. Nurani? Itu hanya omong kosong saja.

Masyarakat Indonesia bodoh, tapi yang lebih bodohnya lagi adalah calon-calon yang memberikan janji diluar nalar. Silahkan kemarikan anggaran kampanye kepada saya, kemudian saya akan memberikan rencana yang sangat masuk akal dan jujur tanpa berat sebelah dengan memikirkan kondisi rakyat. Apakah Indonesia kekurangan orang yang bisa menyusun anggaran yang logis?

Itulah gunanya belajar sejarah, karena menjadikan sesuatu dilihat dari hal yang negatif terlebih dahulu untuk menemukan kelebihan. Apalagi kita ini rakyat, bukan pejabat. Masih mending kalau kita malaikat, dan gelarnya malaikat maut. Satu gedung pemerintahan mati-pun kita tak perlu peduli, karena kita malaikat maut. Namun itu khayalan rakyat saja, yang geram dengan korupsi.

Sekarang, kita perlu menyikapi tahun politik ini dengan kepala dingin. Memilih siapa? Memang, manusia adalah tempat salah. Entah itu angin tak punya KTP, asam sulfat, atau bahkan untuk kaisar bapak ramah sekali. Mereka memang pasangan calon presiden yang berbentuk manusia. Jadi wajar saja kalau kalah terhadap kasus pelanggaran HAM. Eh, maksudnya wajar saja kalau melakukan kesalahan. Itu menjadi bukti bahwa mereka adalah murni manusia sedari zaman purba, bukan alien atau jadi-jadian.

Mari berpikir dingin pada tahun ini. Slogan pemilu yang diajarkan ketika SD yaitu LUBER-JURDIL jadi tidak berguna kalau buzzer-buzzer berkelana. Coba kita berpikir dengan logika yang berjalan, memikirkan benarkah janjinya akan terealisasikan atau tidak? Yah, saya akui saya lebih memikirkan diri sendiri daripada rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tapi, karena saya rakyat, bukan pejabat. Tidak ada kewajiban menanggung keluhan masyarakat di pundak saya.

Sayangnya, sebagai generasi muda yang konon katanya menjadi harapan bangsa,- nurasi saya tergerak. Bagaimana bisa rakyat percaya dengan janji omong kosong? Ah, sudahlah. LUBER-JURDIL saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun