Pada kira-kira tahun 1867, setelah tersiar kabar di Toba, Humbang dan sekitarnya bahwa Pasukan Belanda telah menduduki Silindung dan juga sudah mulai berusaha menjalankan politik pemerintahannya (menjajah), maka pada waktu itu, Raja Sisingamangaraja XII mulai sibuk mengunjungi raja-raja yang ada di Toba untuk merundingkan bagaimana sikap bila Pasukan Belanda mau memasuki Toba serta daerah-daerah lain yang belum pernah dikunjungi/diserbu. Maka, segenap lapisan rakyat mencapai mufakat dan bertekad untuk tetap melawan Pasukan Belanda yang tidak tahu adat itu.
   Sewaktu Raja Sisingamangaraja XII beserta rombongannya melintas dari Tampahan/Tangga Batu menuju Sihatandohan (Humbang), pejuang-pejuang dari Tampahan/Tangga Batu, antara lain yang terkenal; Ompu Badiaporhas Tampubolon dari Tangga Batu, menerima anjuran atau penegasan supaya pertahanan yang sekuat-kuatnya dibentuk di sekitar Tangga Batu karena letaknya yang strategis untuk dijadikan sebagai benteng pertahanan dan mudah membendung serangan yang datang dari arah Silindung.
   Maka dengan serentak, bergiatlah seluruh rakyat mendirikan satu benteng (markas) di Tangga Batu berupa satu los yang dikelilingi parit dan diperlengkapi dengan tempat-tempat penembakan, dan masing-masing anggota (pengawal) mempunyai lubang perlindungan. Benteng tersebut (sampai sekarang) bernama "Benteng Tanjing". Jalan untuk memasuki benteng itu hanya satu dan itu pun sangat sempit serta dikelilingi oleh lembah-lembah.
   Pada kira-kira bulan Februari tahun 1867, Pasukan Belanda sangat berniat untuk mendekati "Tao Toba"dan tanah "Toba-Holbung", yaitu guna melebarkan tanah jajahannya, dan telah mengambil keputusan untuk melakukan penyerbuan dengan dibantu oleh para "Penunjuk Jalan". Salah seorang yang terkenal di antara para penunjuk jalan ini adalah Raja Pontas.
   Rencana penyerbuan ini telah sampai ke telinga rakyat Toba-Holbung, dan atas pimpinan Raja Sisingamangaraja XII sendiri, rakyat Toba dan Humbang bersatu padu membendung serangan Pasukan Belanda tersebut, dan terjadilah pertempuran di Simomok-Bahalbatu. Saking hebatnya peluru-peluru dari Pasukan Belanda yang dianggap serba modern pada waktu itu, pasukan Raja Sisingamangaraja pun mundur dengan teratur. Tetapi, Pasukan Belanda pun langsung kembali ke pangkalannya di Silindung karena telah jelas baginya bahwa rakyat masih tetap bersatu dan tidak ada gunanya menyerbu Toba mengingat banyaknya rakyat yang melawan mereka.
   Pada tahun 1878, yaitu kira-kira dua tahun kemudian, setelah Pasukan Belanda menganggap bahwa infiltrasi kaki-tangannya telah mulai berhasil, berangkatlah Pasukan Belanda kembali ke Toba dengan kekuatan yang lebih besar.
   Penduduk Toba-Holbung dan sekitarnya pun, tatkala mendengar rencana penyerbuan itu, berkumpul di Tangga Batu untuk mengadakan perlawanan.
   Atas bantuan "Penunjuk Jalan" yang baru, yaitu O. Onggung Rajagukguk dari Hutaginjang, dengan ditemani oleh Raja Pontas, setelah diketahui bahwa jalan dari Tangga Batu sudah dihempang, Pasukan Belanda pun mengambil jalan lain, yaitu turun dari Hutaginjang menuju Meat.
   Ketika Pasukan Rakyat mengetahui bahwa Pasukan Belanda sudah berada di Meat, terjadilah pertempuran di sepanjang Gurgur-Tampahan (barisan rakyat dari sebelah atas dan Pasukan Belanda dari bawah). Tembak menembak memuncak sangat serunya sampai Pasukan Rakyat Toba kehabisan peluru. Karena Belanda sudah mulai naik dari lembah Meat menuju ke atas (Tampahan), Pasukan Rakyat mengumpulkan batu-batu besar serta tiang-tiang (basiha) yang tadinya akan dipakai untuk mendirikan Sopo dan Rumah. Pasukan Rakyat pun kemudian menggulingkan batu-batu besar tersebut ke arah Pasukan Belanda yang sedang berusaha mendaki ke atas. Perlawanan dengan cara menggulingkan batu ini membunuh kurang lebih 20 orang Pasukan Belanda.
   Sesampainya Pasukan Belanda di Gurgur, mengganaslah mereka. Mereka secara membabi buta membakar hangus banyak kampung, harta benda rakyat dirampas, dan ternak-ternak pun dihabiskan.