Nasionalisme tidak lahir begitu saja, melainkan lahir dari sebuah proses panjang yang kemudian menumbuhkan kesadaran akan nasionalisme itu. Sudah barang tentu bahwa nasionalisme bukanlah monopoli siapa - siapa.Â
Setiap orang berhak untuk memaknai nasionalisme itu seperti apa, dan berhak memanifestasikan nasionalisme itu dalam bentuk apa pun. Kendati demikian, harus kita pahami juga bahwa pemaknaan serta perwujudan dari nasionalisme itu tidak boleh bertentangan dengan konsep dasar nasionalisme yang telah dibangun oleh para pendahulu (founding fathers) kita.Â
Artinya, dengan penuh kesadaran, kita harus mengamini bahwa kita telah sepakat dengan konsep dasar nasionalisme tersebut. Sementara untuk pemaknaan lebih lanjut dan pewujudnyataan dari nasionalisme itu, barulah kita bisa berbeda - beda.
Konsep dasar nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme yang tumbuh dari rasa senasib dan sepenanggungan para pendahulu kita. Seperti kita ketahui, perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awalnya hanya berupa perlawanan kedaerahan, dimana para rakyat pribumi bertempur dengan Belanda hanya dengan semangat kedaerahan, bukan semangat nasionalisme.Â
Setelah perlawanan kedaerahan itu berlangsung di setiap wilayah di Hindia Belanda, tiap - tiap daerah itu lantas merasa memiliki kesamaan, yaitu memiliki musuh yang sama, imperialisme-kolonialisme yang dilakukan Belanda.Â
Pertumbuhan kesadaran nasionalisme tersebut juga tidak lepas dari semakin bertumbuhnya intelektualitas rakyat pribumi yang bisa mengakses pendidikan yang disediakan oleh pemerintah kolonial.Â
Secara umum, dikatakan bahwa kesadaran nasionalisme itu mulai tumbuh sejak tahun 1908, yakni dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo yang dipelopori oleh Wahidin Sudirohusodo. Oleh karena itulah dari perspektif sejarah nasional, tahun 1908 sampai pada tahun 1945 kita kenal sebagai fase perjuangan nasional.Â
Berdasarkan penjabaran singkat diatas, dapat kita pahami bahwa rasa nasionalime bangsa Indonesia muncul untuk pertama kalinya sebagai sesuatu yang tumbuh dari bawah, bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas. Artinya, nasionalisme tersebut terbentuk dari kesadaran penuh rakyat Indonesia bahwa mereka adalah satu bangsa, bangsa yang terjajah.Â
Perkembangan nasionalisme itu tentu tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan terus mengalami penyempurnaan melalui sumbangsih pemikiran para tokoh bangsa. Salah satunya adalah Soekarno.Â
Melalui perenungan serta pengamatan yang mendalam terhadap praktik - praktik nasionalisme yang sedang berkembang di seluruh belahan dunia pada saat itu, Bung Karno menyimpulkan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berbeda dari nasionalisme pada umumnya.Â
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang  memiliki kekhasannya tersendiri, bukan nasionalisme yang semata - mata tiruan dari nasionalisme yang ada pada umumnya yang ada di negara - negara di seluruh dunia. Tak hanya itu,Â
Bung Karno juga menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit yang suatu waktu akan bertransformasi menjadi chauvinisme dan pada akhirnya menjelma menjadi fasisme. Konsep nasionalisme inilah yang dipegang teguh oleh seluruh rakyat Indonesia dalam membentuk serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Politisasi Nasionalisme
Ada satu pernyataan menarik yang diungkapkan oleh CEO Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah dalam acara Indonesia Lawyers Club yang tayang pada tanggal 13 Agustus 2019 di TVOne. Beliau mengatakan bahwa selain politik identitas yang belakangan marak dalam kontes perpolitikan Indonesia, terdapat juga politik patriotisme.Â
Dalam hal ini, patriotisme kompatibel dengan nasionalisme. Lebih jauh beliau mengungkapkan bahwa politik patriotisme atau politik nasionalisme tersebut muncul sebagai oportunis di tengah - tengah praktik politik identitas.Â
Tatkala politik identitas sudah cenderung berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat, politik patriotisme/nasionalisme muncul bak pahlawan, seolah pihak - pihak yang mengusung politik patriotisme tersebut adalah alternatif terbaik.Â
Kenyataannya, nasionalisme dan patriotisme yang diusung oleh pihak -- pihak tersebut hanya dijadikan sebagai topeng untuk merebut suara masyarakat (terutama masyarakat yang paranoid terhadap praktik politik yang berbasis identitas tertentu). Nasionalisme serta patriotisme tersebut dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan - tujuan pihak atau golongan tertentu yang jauh lebih sempit dari nasionalisme dan patriotisme itu sendiri.
Terlepas dari konteks permasalahan diatas, melibatkan dan memanfaatkan semangat nasionalisme dalam kegiatan politik praktis adalah suatu tindakan yang dapat mereduksi esensi dari nasionalisme itu sendiri.Â
Nasionalisme seharusnya menjadi milik semua bangsa dalam suasana kebersamaan, bukan monopoli partai politik tertentu. Nasionalisme sempit yang diterapkan dalam politik nasionalisme sama buruknya dengan politik identitas. Masyarakat dapat menghalau dua hal tersebut hanya dengan mengedepankan rasionalitas.
Kasus Papua "menggoyang" Nasionalisme    Â
Pergolakan yang terjadi di Tanah Papua beberapa waktu belakangan ini dengan sendirinya memunculkan diskursus mengenai nasionalisme. Banyak orang yang beranggapan bahwa nasionalisme Indonesia adalah sesuatu yang ideal.Â
Namun, tidak sedikit pula orang yang mengabaikan konsep dasar nasionalisme Indonesia dengan mengatakan bahwa nasionalisme tidak lain adalah cikal bakal lahirnya chauvinisme dan pada gilirannya fasisme.Â
Anggapan ini tentu berkaitan dengan apa yang sedang terjadi di Papua, dimana sebagian orang berpandangan bahwa sejak awal, tindakan -- tindakan pemerintah Indonesia terhadap Papua adalah salah satu bentuk imperialisme-kolonialisme.Â
Masalah tersebut tidak akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya ingin menyoroti interpretasi atas nasionalisme tersebut yang seolah mengabaikan konsep nasionalisme yang telah ditanamkan oleh para pendahulu bangsa ini.Â
Tentu tidak menjadi masalah apabila penegasannya terletak pada nasionalisme sempitnya. Akan tetapi, menjadi sebuah ironi ketika narasi yang digaungkan adalah nasionalisme sebagai cikal bakal fasisme. Tanpa embel - embel "sempit".Â
Bahkan, pengabaian terhadap konsep dasar nasionalisme ini berujung pada anggapan bahwa Soekarno adalah seorang imperialis karena mengambil tindakan mengintegrasikan Papua kedalam wilayah NKRI.Â
Mengingat telah ada penegasan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia bukanlah nasionalisme sempit, interpretasi semacam itu tentu merupakan sebuah kemunduran.
Nasionalisme Menjadi Sebuah Kata yang Kehilangan Makna
Multi-interpretasi terhadap nasionalisme merupakan sebuah keniscayaan. Sejarah mencatat, tokoh - tokoh besar dunia seperti Soekarno, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, hingga Albert Einstein memiliki ide dan gagasan yang beragam mengenai nasionalisme.Â
Contohnya, Albert Einstein selalu mengkritik habis - habisan bentuk nasionalisme yang dititikberatkan pada militerisme dan juga bentuk nasionalisme yang memberangus tradisi - tradisi intelektual.Â
Hal tersebut menunjukkan bahwa gagasan - gagasan mengenai nasionalisme masih terus tumbuh dan berkembang. Akan tetapi, jangan sampai multi-interpretasi itu muncul sebagai akibat dari pemahaman yang ahistoris terhadap nasionalisme itu sendiri. Penggalian makna nasionalisme sudah selayaknya terus dilakukan.Â
Namun, jangan sampai diskursus mengenai nasionalisme muncul sebagai akibat dari rendahnya kesadaran sejarah suatu bangsa. Karena jika demikian, pembahasan  mengenai nasionalisme hanya akan menjadi pembahasan yang "mengambang" tanpa pernah menyentuh tataran konsep. Dan pada akhirnya, nasionalisme akan menjadi sebuah kata yang kehilangan makna. Seakan nasionalisme kita itu nasionalisme gampangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H