Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Made In Holland" dalam Sejarah Perjuangan Indonesia

9 Agustus 2019   16:10 Diperbarui: 9 Agustus 2019   16:17 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah perjuangan Indonesia dari bangsa yang tertindas menjadi sebuah bangsa merdeka merupakan sebuah perjalanan yang sangat panjang dan kompleks. Panjang karena butuh ratusan tahun untuk sebuah kesadaran kolektiv tentang arti sebuah kemerdekaan, dan kompleks karena kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan terus menerus dalam berbagai aspek, baik perjuangan fisik dengan betempur di lapangan, maupun perjuangan melalui jalur diplomasi. Hal terakhir inilah yang akan dikupas secara ringkas dalam tulisan ini.

Kemerdekaan Indonesia sejatinya tidak akan pernah tercapai tanpa adanya upaya - upaya diplomatik yang dilakukan oleh para tokoh bangsa pada saat itu. Kendati taktik perang gerilya yang dijalankan oleh para pejuang pada masa itu terbukti efektif dan tidak dapat diremehkan, namun diatas kertas, perang dengan mengerahkan kekuatan militer pada saat itu tentulah sangat beresiko menimbulkakn jatuhnya korban yang lebih besar di pihak Indonesia. Oleh karena itu, para tokoh merasa perlu melakukan upaya perlawanan yang lebih efektif untuk menumbuhkan kesadaran bangsa Indonesia terhadap kemerdekaan, yaitu melalui jalur diplomasi, agitasi, dan propaganda.

Pada masa perjuangan melalui jalur diplomasi, agitasi, serta propaganda inilah fenomena Made In Holland semakin menjadi - jadi, dimana beberapa tokoh perjuangan bangsa yang merupakan lulusan Belanda harus menerima tatapan sinis dari tokoh - tokoh bangsa yang bukan lulusan Belanda. Beberapa tokoh bangsa lulusan Belanda itu seperti; Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Soebardjo, Iwa Koesoema Soemantri, dan dr. Tjipto Mangunkusumo. Di jajaran militer terdapat nama - nama seperti; Alex Evert Kawilarang dan Jacoob Warouw yang merupakan pentolan KNIL, serta Sultan Hamid II yang merupakan lulusan Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda. Terdapat pula lulusan - lulusan Institut Pendidikan Perwira Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut Voor De Marine) seperti; Eddy Tumengkol, R. Sunardi Hamid, dan H. E. Kawulusan.

Sesungguhnya, tulisan singkat ini tentu tidak memadai untuk menjelaskan tema tulisan ini secara terperinci. Apalagi dengan disertakannya beberapa nama tokoh bangsa dalam tulisan ini yang tentunya perlu kita pelajari kasus per kasus untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Dalam lapisan pengetahuan mengenai tema tulisan ini, boleh jadi tulisan ini hanya kulitnya saja, dan barangkali hanya kulit ari dalam lapisan kulit itu sendiri. Oleh sebab itu, diharapkan pembaca bisa lebih mendalami tema ini melalui literatur - literatur mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang tersedia di perpustakaan - perpustakaan, di taman -- taman bacaan, di media, dan lain sebagainya.  

Masa pemerintahan Kolonial Belanda (Hindia Belanda) sebelum Indonesia merdeka tidak bisa tidak adalah pemerintahan yang dzalim. Pemerintahan yang melalui sistem pemerintahannya, membodohkan dan menindas rakyat pribumi (Inlander). Segala peraturan dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda semata - mata hanyalah untuk memperpanjang umur imperialisme-kolonialisme di tanah air.

Sistem yang diterapkan adalah sistem yang memenjarakan rakyat pribumi dalam kebodohan, sistem yang tidak memberikan ruang gerak bagi rakyat pribumi untuk mengembangkan diri. Kendati demikian, sebagaimana telah diantarkan di awal tulisan ini, setiap orang adalah individu yang bebas dan tidak selalu mewakili kepentingan negara tempat ia berasal. Dapat dikatakan, hal semacam inilah yang terjadi pada masa - masa pemerintahan Hindia Belanda.

Ada saja orang Belanda yang kemudian merasa bahwa kebijakan - kebijakan yang dibuat oleh Belanda di Hindia Belanda sangat tidak etis dan justru membunuh kemanusiaan. Melihat situasi yang demikian membuat orang - orang Belanda tersebut menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Mereka lantas membelot dan bergabung bersama rakyat pribumi dalam perjuangan nasional.

Tidak dapat dipungkiri, keberadaan orang Belanda asli di pihak Indonesia menjadi salah satu pemicu kesadaran bangsa Belanda terhadap penindasan yang telah dilakukan oleh negaranya. Disamping itu, kendati dalam tulisan ini dikatakan bahwa pemerintahan Hindia Belanda adalah pemerintahan yang dzalim, perlu juga dipahami bahwa biar bagaimanapun pemerintahan Hindia Belanda tetaplah sebuah pemerintahan yang berdaulat. Lebih tepatnya, berdaulat diatas kedaulatan negara lain. Penulis perlu menekankan hal ini karena di era sekarang, pemahaman mengenai masa pemerintahan Hindia Belanda sudah mulai tereduksi menjadi sekadar narasi Penjajahan Belanda atas Indonesia.

Memang benar bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda, namun penjajahan yang dimaksud tidak terjadi seperti penjajahan yang dilakukan oleh sebuah bangsa barbar  yang melancarkan invasi dengan kekuatan senjata dan serta merta memperbudak orang - orang di daerah jajahannya. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Eropa, termasuk Belanda masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Penjajahan yang dilakukan Belanda adalah penjajahan melalui sistem yang kemudian memberikan legitimasi kepada Belanda untuk bertindak sewenang - wenang kepada bangsa Indonesia. Jadi, dua hal ini harus dipahami bersama - sama, yaitu Sistem dan Penindasan. Tidak boleh dipahami hanya sistemnya saja, ataupun hanya penindasannya saja.

Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap sistem, pasti terdapat celah untuk menyimpangi sistem tersebut. Dalam sebuah sistem yang baik, selalu saja ada celah untuk keburukan. Sebaliknya, dalam sebuah sistem yang buruk, pasti selalu saja ada celah untuk kebaikan. Situasi semacam ini pulalah yang terjadi dalam sistem yang diterapkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Secara umum, seperti yang sudah dikatakan di awal, pemerintahan Hindia Belanda adalah pemerintahan dengan sistem yang dzalim. Namun, di tengah kedzaliman itu, terdapat beberapa tokoh bangsa yang tetap berpikiran terbuka dan mampu memanfaatkan celah yang terdapat dalam sistem tersebut.

Singkat cerita, beberapa tokoh bangsa mampu menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. 'Hubungan yang baik' jangan langsung diartikan sebagai bentuk pengkhianatan beberapa tokoh bangsa tersebut kepada Indonesia. 'Hubungan yang baik' yang dimaksudkan disini adalah kondisi dimana tokoh - tokoh bangsa yang dimaksud mampu membuka jalur komunikasi yang baik dengan pihak Belanda, dengan tetap mempertahankan prinsip untuk merdeka. Hubungan baik tersebut jangan diartikan secara prematur bahwa tokoh - tokoh bangsa yang dimaksud menjadi kaki-tangan Belanda. Stigma inilah yang harus kita buang terlebih dahulu sebelum membahas lebih jauh tema tulisan ini.  

Secara garis besar, periode perjuangan nasional, yakni mulai terpicunya kesadaran kolektiv bangsa Indonesia akan kemerdekaan, dapat kita tarik mulai dari tahun 1908 sampai pada puncaknya tahun 1945. Sementara tulisan ini menarik kurun waktu dari tahun 1908 sampai pada tahun 1949. Periode perjuangan nasional tersebut antara lain meliputi; Budi Utomo yang dipelopori oleh Wahidin Sudirohusodo; Sarekat Dagang Islam yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam yang dipelopori oleh Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Samanhudi; Nationaal Indische Partij yang dipelopori oleh Tjipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Dekker (Setiabudi), dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara); Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat yang dipelopori oleh Semaun, Alimin, Muso, dan Darsono; Perhimpunan Indonesia yang mencapai puncak perlawanannya bersama Mohammad Hatta, Sjahrir, Achmad Soebardjo, dan kawan - kawan; P.B.I., Parindra, serta Bank Nasional yang dipelopori oleh Soetomo; serta PNI yang dipelopori oleh Soekarno.

Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, akan diberikan secara ringkas kisah - kisah beberapa tokoh bangsa sebagaimana telah disebutkan pada awal tulisan ini.

Pertama, Mohammad Hatta. Nama yang tak terpisahkan dari nama Bung Karno ini merupakan tokoh bangsa didikan Belanda yang kerap dicap 'kebarat - baratan'. Tudingan ini paling sering kita jumpai dalam literatur yang membahas tentang penyusunan naskah konstitusi awal.

Bung Hatta bersama M. Yamin mengusulkan agar konstitusi memuat tentang hak - hak individu secara spesifik. Usul ini bertentangan dengan pemikiran Bung Karno yang pada saat itu bersama - sama dengan Soepomo mencanangkan Indonesia sebagai negara integralistik yang tidak terlalu menonjolkan hak - hak individu. Atas usul tersebut, Bung Hatta dinilai terlalu 'kebarat - baratan'.

Sebagai seorang kosmopolitan, Bung Hatta memiliki kemampuan yang sangat mumpuni dalam menjalin pergaulan Internasional, termasuk bergaul dan bersahabat dengan bangsa yang menjajah bangsanya sendiri, bangsa Belanda. Ketika ditangkap dan diadili di Belanda akibat aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia, yang membela Bung Hatta adalah pengacara - pengacara berkebangsaan Belanda. Pledoi yang dibacakan Bung Hatta pada saat itu berjudul Indonesia Merdeka, sama menggelegarnya dengan pledoi Bung Karno berjudul Indonesia Menggugat yang ia bacakan di muka pengadilan kolonial di Bandung. Kedua, Sultan Hamid II. Sultan Hamid merupakan perwira KNIL dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.

Kontribusi Sultan Hamid terhadap negara sering dikaburkan oleh stigma negatif yang dilekatkan padanya. Sultan Hamid punya andil besar dalam mempersatukan dan mendorong kesadaran nasional rakyat Kalimantan. Selain itu, Sultan Hamid juga adalah tokoh dibalik lambang negara Indonesia, Burung Garuda. Pada masa pemerintahan Bung Karno, Sultan Hamid menjadi tahanan politik dan selalu diawasi gerak - geriknya. Ketiga, perwira - perwira Angkatan Laut lulusan Belanda yang ruang geraknya terbatas karena cap 'Made In Holland'. Pasca diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, beberapa pemuda Indonesia dikirim secara bertahap ke Belanda untuk dididik menjadi perwira Angkatan Laut yang nantinya akan memperkuat Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sepulangnya ke tanah air, perwira - perwira lulusan Belanda ini justru terkesan dianaktirikan. Mereka seolah tidak diberikan ruang gerak yang cukup luas untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu yang mereka dapat dari Belanda. Padahal, pengetahuan tentang visi miritim yang mereka dapatkan selama pendidikan di Belanda belum dikenal dengan baik dalam pendidikan di tanah air. Demikianlah beberapa peristiwa yang mungkin bisa sedikit memberikan pemahaman mengenai tema tulisan ini.

Tatapan sinis terhadap tokoh bangsa yang dicap 'Made In Holland'  memang tidak bisa hanya dipandang sebagai bentuk paranoia belaka. Artinya, tatapan sinis tersebut muncul bukanlah tanpa alasan. Sejarah perjuangan Indonesia mencatat bahwa pemerintah kolonial Belanda kerap memperalat pribumi yang mau loyal kepada Belanda untuk kepentingan - kepentingan Belanda.

Barangkali pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa nasionalisme tidak bisa dilihat hanya dari tampilan luar saja. Bukan dilihat dari bagaimana sebuah bangsa menutup diri dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Melainkan bagaimana sebuah bangsa mampu mengoptimalkan setiap sumber daya dan kesempatan yang ada untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.

Nasionalisme bukan berarti mengisolasi diri dari dunia luar. Nasionalisme adalah bagaimana menunjukkan identitas dan eksistensi serta mempertahankan prinsip - prinsip nasional dalam pergaulan internasional. Nasionalisme tidak boleh dipersempit menjadi sebuah bentuk kemandirian yang tidak membutuhkan bantuan pihak lain. Nasionalisme justru akan terlihat jelas dalam pergaulan lintas nasional (internasional), bukan dalam pergaulan nasional.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama bangsa tanpa bermaksud mengobatinya. Tulisan sederhana ini kiranya menjadi refleksi bagi kita untuk merenungkan kembali kecenderungan kita yang sering saling mendikotomikan dan memojokkan satu sama lain. Tulisan ini adalah upaya kecil - kecilan agar kita bisa menjadi orang - orang yang lebih kosmopolitan dalam berjuang, dan tidak paranoid terhadap pergaulan internasional. Karena setiap orang adalah individu yang bebas dan merdeka. Tidak serta merta mewakili kepentingan negaranya dan elit pemerintahannya. Hal ini terbukti dengan banyaknya bangsa asing yang berkontribusi dan bahkan ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Melihat sepak terjang beberapa tokoh bangsa 'Made In Holland'  sebagaimana dijabarkan dalam tulisan ini, serta kontribusi mereka terhadap bangsa dan negara, barangkali mempertanyakan nasionalisme dan patriotisme mereka adalah sebuah penghinaan. Mereka adalah kosmopolitan yang sering disalahartikan sebagai orang - orang yang tidak nasionalis. Padahal, mereka hanya tidak mengatakan bahwa mereka nasionalis. Mereka membuktikannya.

Merdeka ! Merdeka ! Merdeka !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun