Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Made In Holland" dalam Sejarah Perjuangan Indonesia

9 Agustus 2019   16:10 Diperbarui: 9 Agustus 2019   16:17 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singkat cerita, beberapa tokoh bangsa mampu menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. 'Hubungan yang baik' jangan langsung diartikan sebagai bentuk pengkhianatan beberapa tokoh bangsa tersebut kepada Indonesia. 'Hubungan yang baik' yang dimaksudkan disini adalah kondisi dimana tokoh - tokoh bangsa yang dimaksud mampu membuka jalur komunikasi yang baik dengan pihak Belanda, dengan tetap mempertahankan prinsip untuk merdeka. Hubungan baik tersebut jangan diartikan secara prematur bahwa tokoh - tokoh bangsa yang dimaksud menjadi kaki-tangan Belanda. Stigma inilah yang harus kita buang terlebih dahulu sebelum membahas lebih jauh tema tulisan ini.  

Secara garis besar, periode perjuangan nasional, yakni mulai terpicunya kesadaran kolektiv bangsa Indonesia akan kemerdekaan, dapat kita tarik mulai dari tahun 1908 sampai pada puncaknya tahun 1945. Sementara tulisan ini menarik kurun waktu dari tahun 1908 sampai pada tahun 1949. Periode perjuangan nasional tersebut antara lain meliputi; Budi Utomo yang dipelopori oleh Wahidin Sudirohusodo; Sarekat Dagang Islam yang kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam yang dipelopori oleh Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Samanhudi; Nationaal Indische Partij yang dipelopori oleh Tjipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Dekker (Setiabudi), dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara); Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat yang dipelopori oleh Semaun, Alimin, Muso, dan Darsono; Perhimpunan Indonesia yang mencapai puncak perlawanannya bersama Mohammad Hatta, Sjahrir, Achmad Soebardjo, dan kawan - kawan; P.B.I., Parindra, serta Bank Nasional yang dipelopori oleh Soetomo; serta PNI yang dipelopori oleh Soekarno.

Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, akan diberikan secara ringkas kisah - kisah beberapa tokoh bangsa sebagaimana telah disebutkan pada awal tulisan ini.

Pertama, Mohammad Hatta. Nama yang tak terpisahkan dari nama Bung Karno ini merupakan tokoh bangsa didikan Belanda yang kerap dicap 'kebarat - baratan'. Tudingan ini paling sering kita jumpai dalam literatur yang membahas tentang penyusunan naskah konstitusi awal.

Bung Hatta bersama M. Yamin mengusulkan agar konstitusi memuat tentang hak - hak individu secara spesifik. Usul ini bertentangan dengan pemikiran Bung Karno yang pada saat itu bersama - sama dengan Soepomo mencanangkan Indonesia sebagai negara integralistik yang tidak terlalu menonjolkan hak - hak individu. Atas usul tersebut, Bung Hatta dinilai terlalu 'kebarat - baratan'.

Sebagai seorang kosmopolitan, Bung Hatta memiliki kemampuan yang sangat mumpuni dalam menjalin pergaulan Internasional, termasuk bergaul dan bersahabat dengan bangsa yang menjajah bangsanya sendiri, bangsa Belanda. Ketika ditangkap dan diadili di Belanda akibat aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia, yang membela Bung Hatta adalah pengacara - pengacara berkebangsaan Belanda. Pledoi yang dibacakan Bung Hatta pada saat itu berjudul Indonesia Merdeka, sama menggelegarnya dengan pledoi Bung Karno berjudul Indonesia Menggugat yang ia bacakan di muka pengadilan kolonial di Bandung. Kedua, Sultan Hamid II. Sultan Hamid merupakan perwira KNIL dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.

Kontribusi Sultan Hamid terhadap negara sering dikaburkan oleh stigma negatif yang dilekatkan padanya. Sultan Hamid punya andil besar dalam mempersatukan dan mendorong kesadaran nasional rakyat Kalimantan. Selain itu, Sultan Hamid juga adalah tokoh dibalik lambang negara Indonesia, Burung Garuda. Pada masa pemerintahan Bung Karno, Sultan Hamid menjadi tahanan politik dan selalu diawasi gerak - geriknya. Ketiga, perwira - perwira Angkatan Laut lulusan Belanda yang ruang geraknya terbatas karena cap 'Made In Holland'. Pasca diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949, beberapa pemuda Indonesia dikirim secara bertahap ke Belanda untuk dididik menjadi perwira Angkatan Laut yang nantinya akan memperkuat Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sepulangnya ke tanah air, perwira - perwira lulusan Belanda ini justru terkesan dianaktirikan. Mereka seolah tidak diberikan ruang gerak yang cukup luas untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu yang mereka dapat dari Belanda. Padahal, pengetahuan tentang visi miritim yang mereka dapatkan selama pendidikan di Belanda belum dikenal dengan baik dalam pendidikan di tanah air. Demikianlah beberapa peristiwa yang mungkin bisa sedikit memberikan pemahaman mengenai tema tulisan ini.

Tatapan sinis terhadap tokoh bangsa yang dicap 'Made In Holland'  memang tidak bisa hanya dipandang sebagai bentuk paranoia belaka. Artinya, tatapan sinis tersebut muncul bukanlah tanpa alasan. Sejarah perjuangan Indonesia mencatat bahwa pemerintah kolonial Belanda kerap memperalat pribumi yang mau loyal kepada Belanda untuk kepentingan - kepentingan Belanda.

Barangkali pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa nasionalisme tidak bisa dilihat hanya dari tampilan luar saja. Bukan dilihat dari bagaimana sebuah bangsa menutup diri dan merasa mampu melakukan segala sesuatunya sendiri. Melainkan bagaimana sebuah bangsa mampu mengoptimalkan setiap sumber daya dan kesempatan yang ada untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.

Nasionalisme bukan berarti mengisolasi diri dari dunia luar. Nasionalisme adalah bagaimana menunjukkan identitas dan eksistensi serta mempertahankan prinsip - prinsip nasional dalam pergaulan internasional. Nasionalisme tidak boleh dipersempit menjadi sebuah bentuk kemandirian yang tidak membutuhkan bantuan pihak lain. Nasionalisme justru akan terlihat jelas dalam pergaulan lintas nasional (internasional), bukan dalam pergaulan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun