Mohon tunggu...
Anhar Dana Putra
Anhar Dana Putra Mohon Tunggu... -

a diver who only deal with the deepest ocean ever, named heart

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak Pulang

6 Juli 2013   23:10 Diperbarui: 6 Juli 2015   09:24 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Rima dan jika ada yang menanyaiku hadiah apa yang paling aku inginkan saat berulang tahun, tentu aku akan menjawab tanpa ragu, aku ingin bertemu bapak.

Seumur hidup aku belum pernah bertemu bapak. Sejak kecil aku hanya mengenal bapak lewat cerita ibu dan sebuah album foto milik ibu. Hingga lewat cerita dan album itu lah, setidaknya sampai sekarang, aku masih punya alasan untuk percaya bahwa aku juga punya bapak.

Aku selalu suka senyum bapak di album itu. Di album itu bapak tampak riang sekali setiap berdampingan dengan ibu, ibu juga begitu. Membuatku ingin sekali suatu waktu, kami bertiga berfoto bersama, dengan wajah riang yang sama.

Sejak kecil, setiap malam sebelum aku tidur ibu juga selalu berdongeng tentang bapak. Aku yang memintanya melakukan itu, awalnya ibu tak setuju, tapi akhirnya ibu menyerah sebab tak rela melihatku menitikkan air mata.

Ibu selalu berdongeng tentang kebiasaan bapak yang sulit sekali dibangunkan jika terlanjur lelap, tentang bapak yang mendengkur keras sekali, tentang bapak yang buang angin sembarang tempat. Aku tertawa setiap kali mendengar cerita-cerita itu. Ada juga cerita tentang bapak yang gemar menciumku saat masih di dalam perut ibu. Ini cerita favorit ibu, sedangkan bagiku, ini cerita yang membuatku yakin bahwa bapak sangat menyayangi aku.

Tentu perasaan rindu juga bisa datang melanda sewaktu-watu, hingga tak cukup rasanya jika hanya memandangi foto atau mendengar cerita-cerita saja. Jika sudah rindu begitu, aku jadi ingin sekali bertemu bapak, ingin sekali memeluk kakinya, memanjat punggungnya, mengacak-acak rambutnya, hingga terlelap di peluknya, selama-lamanya.

Tapi masalahnya, Ibu tak pernah setuju jika aku meminta untuk dibolehkan menjenguk bapak di penjara, sebab menurut ibu penjara terlalu berbahaya untuk anak kecil sepertiku. Tapi aku harus bagaimana, aku begitu merindukan bapak, rindu sekali. Hanya dengan bertemu bapak rinduku bisa hilang, tak ada pilihan yang lain.

Hingga seringkali tanpa sadar aku merajuk dan memaksa ibu. Namun, bukan ibu namanya jika hanya karena rajukan atau paksaan ia akan goyah dari hal-hal yang ia pegang. Ibu adalah sosok yang sangat kuat.

Tapi betapapun kuatnya ibu, ibu tetap saja perempuan. Aku seringkali mendapati ibu menangis saat sedang sendiri. Entah menangisi apa atau siapa, bisa jadi bapak, bisa jadi aku, atau bisa jadi dirinya sendiri.

Kata ibu, bapak ditangkap polisi sejak aku masih berumur delapan bulan dalam kandungan. Bapak ditangkap karena penduduk desa menuduh bapak membunuh Pak Amir yang merupakan saingan bapak waktu pemilihan kepala desa. Padahal pengakuan bapak menurut ibu (sebelum akhirnya ditangkap polisi) Pak amir meninggal karena bunuh diri, dan bapak yang menemukan mayatnya pertama kali. Aku tak mengerti semua cerita ini dulu, aku hanya mengingat ibu bercerita seperti itu sewaktu aku yang berumur enam tahun menanyakan mengapa bapak bisa masuk penjara. Satu-satunya hal yang bisa aku mengerti adalah, sejak kecil aku harus hidup tanpa bapak, dan bagiku, rasanya sangat menyakitkan.

Tapi sekarang, aku sudah mulai cukup usia untuk bisa mengerti semua itu, mengerti bahwa orang-orang bisa saling mencelakai hanya karena memperebutkan sesuatu. Namun, aku percaya bapak bukan salah satu dari orang-orang itu. Aku percaya bapak adalah orang baik. Mungkin penduduk desa hanya ingin mencari seseorang yang bisa disalahkan atas kematian Pak amir yang mereka banggakan itu. Dan bapak (yang kebetulan bukan siapa-siapa) lah yang harus kena batunya. Kasihan bapak.

********

Tak ada malam sedingin dan sebisu di sini. Bahkan cahaya bulan yang biasanya merambat dengan percaya diri menjadi segan bertandang ke dalam sini. Kotak sempit dan lembab yang berbau pesing menyengat ini memang tidak pernah bersahabat, kecuali dengan gelap dan kepasrahan.

Tak ada satu manusia pun dalam sejarah yang mampu mematahkan jeruji dengan tangannya sendiri. Pengetahuan yang membuatku sadar tak ada gunanya bermimpi di tahun pertama saya dijebloskan ke dalam sini. Padahal aku sama sekali tak membunuh siapa-siapa, Pak Amir meninggal karena bunuh diri, beliau tertekan karena menghabiskan begitu banyak biaya dalam pemilihan kepala desa dan meninggalkan banyak utang. Kadangkala aku merasa lebih baik ia saja yang terpilih bukannya aku. Aku sama sekali tak bisa membela waktu itu, sebab tak ada satupun saksi, dan aku jelas punya motif yang cukup beralasan sebab aku sempat bertengkar hebat dengan beliau di acara debat kandidat. Aku memilih pasrah.

Jadi, satu-satunya hal yang realistis untuk aku lakukan sebagai manusia biasa adalah mengakrabi, hingga akhirnya jeruji itu dengan sukarela membuka diri. Meski aku harus menunggu sebelas tahun lamanya. Waktu yang terbilang lama untuk terdakwa pembunuh sepertiku.

Kurang lebih setahun lagi, jeruji itu akan terbuka sendiri. Sepuluh tahun dari total sebelas tahun masa tahananku sudah aku lewati. Tak terhitung sudah berapa tetes keringat dan air mata yang ku jatuhkan di tempat ini. Dan malam ini, beberapa tetes air mata turun lagi setelah langkah kaki yang kuhapal bunyinya sebagai langkah seorang sipir itu menghampiri bilik jerujiku.

“Besok kamu akan dibebaskan Syamsul, baru saja ada laporan yang masuk bahwa Pak Presiden telah mengeluarkan kebijakan grasi kepada narapidana muslim yang masa hukumannya bersisa setahun, agar Ramadhan kali ini bisa berkumpul kembali dengan keluarga”

Kabar itu datang layaknya angin surga yang mendarat di telinga. Mengalirkan sejuk dari kepala hingga ke dada. Mengusir pesing yang memenuhi udara dan menggantinya dengan wewangian nirwana. Ternyata, prediksiku salah, jeruji itu cuma butuh waktu sepuluh tahun untuk diakrabi hingga akhirnya mau membuka diri.

Aku hanya merespon kabar dari sipir itu dengan tangis, yang kemudian ia baca sebagai isyarat untuk meninggalkanku sendiri, lagi-lagi. Tapi, kesendirian malam ini adalah kesendirian yang patut untuk dirayakan, meski dengan air mata.

Besok untuk pertama kalinya, aku akan bertemu dengan anak perempuanku Rima.

*********

Siang yang cukup teduh. Sepertinya matahari juga percaya bahwa tak ada jodoh yang paling tepat untuk kawin dengan perayaan rindu selain keteduhan. Siang ini akan berlangsung sebuah perayaan rindu bagi sebuah keluarga. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan.

Syamsul mendapati dirinya setengah berlari setelah rumah panggung sederhana yang ia kenali sebagai satu-satunya tempat untuk pulang itu menyeruak di ujung matanya. Meski ia sempat berhenti, sekedar menarik nafas panjang untuk menetralkan getaran yang mulai menggeliat di sendi-sendi tubuhnya.

Setelah sepuluh tahun belajar bersabar di dalam penjara, siang ini pelajaran itu musnah begitu ia membayangkan dua wajah yang sebentar lagi akan ditemuinya. Dua buah senyuman ini --satu yang ia cintai, dan satu lagi yang ia rindui— benar-benar meruntuhkan segala bentuk kesabaran yang ia miliki. Senyuman Sitti istrinya dan Rima anak semata wayangnya.

Ia sengaja tak mengabari Sitti akan kepulangannya siang ini. Syamsul merasa perayaan rindu dan pertemuan menjadi lengkap dengan adanya sebuah kejutan. Sekarang ia sudah berada tepat di hadapan tangga rumahnya. Dari suara langkah kaki yang terdengar dari atas rumah, jelas sekali bahwa istrinya sedang berada di rumah. Syamsul merasa bersyukur semua berjalan sesuai rencana.

Sebuah isyarat dari dalam nurani membuat Syamsul berpikir lebih baik menunggu saja di hadapan tangga hingga Istrinya dan tentu saja Rima keluar dari rumah. Tapi, Syamsul tahu bahwa mereka setidaknya butuh alasan untuk keluar. Seketika sebuah ide menyala dalam kepalanya. Syamsul menahan nafasnya agak lama kemudian menghebuskannya lewat belakang hingga menimbulkan suara yang tidak sampai menggelegar tapi mampu mengusik ketenangan penghuni rumah. Sebab tidak ada yang paling dirindukan dari diri seorang Syamsul selain kebiasaan buang anginnya. Sampai istrinya sendiri sepertinya mustahil jika tidak mampu menghapal iramanya, menghapal bunyinya.

Belum juga habis suara angin yang dibuang Syamsul secara tidak wajar, bunyi langkah kaki yang berlari seketika terdengar dari atas rumah, dan kemudian disusul oleh bunyi lengkingan pintu utama rumah itu yang terbuka.

Sitti mematung, tapisan beras dari bambu yang ia bawa jatuh saking lemasnya. Ia lunglai kehilangan seluruh daya menghadapi serangan debar yang begitu kencang dari dalam dadanya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, mencair, lalu jatuh berupa tetes demi tetes. Syamsul membalasnya dengan tersenyum meski dengan mata yang juga berair.

“Mana anakku?” kata Syamsul memulai upacara perayaan.

“RIMAAAAAAAAAA” teriakan Sitti terdengar seperti teriakan meminta pertolongan

Seorang anak perempuan kecil keluar dari dalam rumah. Tergesa-gesa karena khawatir telah terjadi apa-apa pada ibunya. Sitti cepat-cepat menghapus air matanya. Seolah sudah bersepakat sebelumnya, Rima pun ikut mematung, menjatuhkan boneka yang ia peluk di lengannya. Hanya bedanya Rima merasa belum punya cukup alasan untuk menetitikkan air mata, sebelum pertanyaannya terjawab.

“Bapak?” Tanya Rima berharap dijawab dengan anggukan.

“Iya Nak” Syamsul mengangguk.

Sekarang Rima sudah punya cukup alasan untuk menitikkan air mata. Syamsul bahkan sudah membanjiri pipinya dengan air mata. Ia tak percaya anak perempuannya tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan cantik seperti yang ia saksikan sekarang ini. Membuat Syamsul tiba-tiba saja sadar bahwa Tuhan memang menempatkan surga di dunia lewat apa saja. Dan bagi Syamsul, Rima lah surganya.

Perayaan rindu dan pertemuan pun dimulai. Sitti menggapai Rima, menggendongnya meniti tangga untuk mengantarkan anak perempuannya itu merasai pelukan seorang bapak yang belum pernah ia rasakan.

Tinggal sebiji anak tangga lagi jarak antara Syamsul, Sitti dan Rima menyatu kembali sebagai sebuah keluarga yang utuh, tiba-tiba sebilah badik menembus dada Syamsul dari arah punggung. Mencipratkan darah di wajah dua orang perempuan yang tinggal selangkah lagi memeluk tubuh seseorang yang begitu mereka rindukan. Yang tinggal selangkah lagi memeluk sebuah harapan dan mimpi yang mereka nanti sepuluh tahun lamanya.

Pemilik badik itu adalah Bahri, anak tunggal pak Amir yang menimbun dendam atas kematian Bapaknya. Bahri tahu tentang kepulangan Syamsul dari kenalannya seorang sipir di Lembaga Permasyarakatan tempat Syamsul dipenjarakan, yang memang sudah ia pesan sehari setelah mendiang bapaknya meninggal dunia. Bahri begitu membara dan terbakar hingga waktu sepuluh tahunpun tak sanggup memadamkan kobaran dendamnya.

Dan segera setelah badik kembali masuk ke dalam sarungnya dengan berlumuran darah. Sebuah dendam terbalaskan tanpa belas kasihan, tanpa peduli dengan cinta dan harapan dua orang perempuan yang sedang terpaku di hadapannya. Bagi Bahri kematian Syamsul justru adalah harapan, adalah cinta dalam wujud bakti seorang anak kepada mendiang bapaknya. Sitti dan Rima membelalak kehabisan air mata.

Dan hujan benar-benar turun, menandai usainya perayaan rindu dan pertemuan.

********

Baru kali ini aku tidak mampu menahan diri untuk tidak menitikkan air mata di depan anak perempuanku. Setelah mendengar ia berkata, dengan darah yang masih bergumul di wajahnya.

“Ibu, kumohon jangan kuburkan Bapak. Aku masih ingin memeluknya”

Kotak Sudut, 5 juli 2013 - Makassar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun