********
Tak ada malam sedingin dan sebisu di sini. Bahkan cahaya bulan yang biasanya merambat dengan percaya diri menjadi segan bertandang ke dalam sini. Kotak sempit dan lembab yang berbau pesing menyengat ini memang tidak pernah bersahabat, kecuali dengan gelap dan kepasrahan.
Tak ada satu manusia pun dalam sejarah yang mampu mematahkan jeruji dengan tangannya sendiri. Pengetahuan yang membuatku sadar tak ada gunanya bermimpi di tahun pertama saya dijebloskan ke dalam sini. Padahal aku sama sekali tak membunuh siapa-siapa, Pak Amir meninggal karena bunuh diri, beliau tertekan karena menghabiskan begitu banyak biaya dalam pemilihan kepala desa dan meninggalkan banyak utang. Kadangkala aku merasa lebih baik ia saja yang terpilih bukannya aku. Aku sama sekali tak bisa membela waktu itu, sebab tak ada satupun saksi, dan aku jelas punya motif yang cukup beralasan sebab aku sempat bertengkar hebat dengan beliau di acara debat kandidat. Aku memilih pasrah.
Jadi, satu-satunya hal yang realistis untuk aku lakukan sebagai manusia biasa adalah mengakrabi, hingga akhirnya jeruji itu dengan sukarela membuka diri. Meski aku harus menunggu sebelas tahun lamanya. Waktu yang terbilang lama untuk terdakwa pembunuh sepertiku.
Kurang lebih setahun lagi, jeruji itu akan terbuka sendiri. Sepuluh tahun dari total sebelas tahun masa tahananku sudah aku lewati. Tak terhitung sudah berapa tetes keringat dan air mata yang ku jatuhkan di tempat ini. Dan malam ini, beberapa tetes air mata turun lagi setelah langkah kaki yang kuhapal bunyinya sebagai langkah seorang sipir itu menghampiri bilik jerujiku.
“Besok kamu akan dibebaskan Syamsul, baru saja ada laporan yang masuk bahwa Pak Presiden telah mengeluarkan kebijakan grasi kepada narapidana muslim yang masa hukumannya bersisa setahun, agar Ramadhan kali ini bisa berkumpul kembali dengan keluarga”
Kabar itu datang layaknya angin surga yang mendarat di telinga. Mengalirkan sejuk dari kepala hingga ke dada. Mengusir pesing yang memenuhi udara dan menggantinya dengan wewangian nirwana. Ternyata, prediksiku salah, jeruji itu cuma butuh waktu sepuluh tahun untuk diakrabi hingga akhirnya mau membuka diri.
Aku hanya merespon kabar dari sipir itu dengan tangis, yang kemudian ia baca sebagai isyarat untuk meninggalkanku sendiri, lagi-lagi. Tapi, kesendirian malam ini adalah kesendirian yang patut untuk dirayakan, meski dengan air mata.
Besok untuk pertama kalinya, aku akan bertemu dengan anak perempuanku Rima.
*********
Siang yang cukup teduh. Sepertinya matahari juga percaya bahwa tak ada jodoh yang paling tepat untuk kawin dengan perayaan rindu selain keteduhan. Siang ini akan berlangsung sebuah perayaan rindu bagi sebuah keluarga. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan.