Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Blok Masela di Maluku Jangan Sampai seperti Freeport di Papua

11 Maret 2016   16:05 Diperbarui: 18 Maret 2016   14:53 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="aktual.com"][/caption]Sudah sangat sering sekali menurut saya kalimat tentang Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan Alam yang sangat melimpah. Hal tersebut kemudian menjadi syarat yang sangat mungkin untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun ternyata dengan kekayaan alam yang dimiliki, Indonesia masih belum mampu untuk melakukan seperti apa yang sudah banyak orang katakan. Hal tersebut diakibatkan oleh kebijakan akan pemanfaatn sumber daya alam (SDA) yang tidak berorientasi untuk kepentingan Nasional. Beberapa contoh yang sampai bosan untuk dibahas adalah soal PT. Freeport Indonesia yang berada di Papua.

Namun ada pembahasan Baru yang muncul soal pengelolaan sumber daya alam dalam bentuk Gas yang terletak di Maluku yang terkenal dengan nama Blok Masela. Bahkan soal blok masela ini mengakibatkan panasnya kabinet kerja (menteri) Jokowi-jk. Pertarungan itu antara 2 orang Menteri yang sebetulnya ada dalam satu Kementrian. Kita sebut saja nama beliau itu RR dan SS. Perdebatan yang muncul menurut saya sangat menarik, karena memperdebatkan soal mana yang lebih baik antara pembangunan kilang di darat (Onshore) dan kilang mengapung (offshore). 

Secara umum tentu kita sebagai rakyat Indonesia menginginkan pembangunan kilang Blok Masela tersebut harus benar benar dapat menguntungkan rakyat sekitar secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum. Jangan sampai pemanfaatan terkait SDA yang ada di Maluku (blok masela) itu tidak berimbas pada pembangunan ekonomi baik secara daerah maupun nasional.

Sudah sama sama kita ketahui bahwa, Indonesia bagian Timur merupakan daerah tertinggal, karena dari dulu pembangunan selalu terpusat hanya di pulau jawa. Pembangunan tersebut bisa dalam bentuk infrastruktur maupun lapangan pekerjaan yang kemudian mengkondisikan soal kesejahteraan.

Seperti yang dikatakan oleh ketua Perhimpunan Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso, setiap ada pembangunan Sumberdaya Gas, harus bisa menumbuhkan perekonomian daerah dimana gas itu berada. Menurut dia, pembangunan di darat yang paling memungkinkan untuk itu karena dapat menumbuhkan industri-industri  yang berbasiskan pada gas alam. lagi pula menurutnya Indonesia sudah memiliki pengalaman jika membangun kilang minyak di darat, sehingga dalam hal pembangunannya pemerintah dapat memanfaatkan produk Nasional. (sumber: sindowsnews).

Nah, argumentasi di atas menurut saya sangat logis, karena jika kita berbicara soal kesejahteraan, pemerintah hari ini harus mampu menciptakan lebih banyak lagi lapangan pekerjaan yang tidak hanya terpusat di pulau jawa, melainkan harus tersebar luas diseluruh penjuru nusantara yang mungkin bisa disebut dengan istilah Demokrasi Ekonomi. Demokrasi Ekonomi Artinya Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan harus benar-benar dapat memastikan bahwa rakyat Indonesia dapat mengakses Pekerjaan dengan mudah, terkhusus di Maluku yang kemudian dapat meningkatkan kwalitas hidup masyarakat setempat.

Hal tersebut termanahkan dalam konstitusi kita Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Jangan lupa pula, setiap menciptakan lapangan pekerjaan, hal yang harus diutamakan adalah, bahan bahan yang digunakan harus memperioritaskan produk nasional atau memanfaatkan bahan yang ada di alam indonesia.

Hal yang tidak kalah penting adalah soal keamanan atau potensi kerugian ketika terjadi kecelakaan, jangan sampai karena kesalahan membuat keputusan, Negara lagi yang harus menanggung dan Rakyat secara tidak langsung.

Seperti yang dikatakan oleh salah satu pengamat Ekonomi dari Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo, pengelolaan blok gas lepas pantai baru pertama kali dilakukan oleh Australia, namun sekarang masih dalam tahap pengerjaan dan diperkirakan beroprasi pada tahun 2017, sehingga ini belum teruji. Ditambah lagi belum ada asuransi yang mau mengcover karena terlalu beresiko. (Sumber: Tribunnews.com).

 logika yang paling sederhana menurut saya adalah, sudah jelas-jelas secara pengalaman (historis) Indonesia menggunakan Kilang darat, yang secara teknologi juga sudah teruji dan tersedia di Indonesia, bahkan banyak sumber yang mengatakan lebih murah, kok malah ambil yang lebih berisiko itu loh.

Dalam tulisan Gede Sandra “Blok Masela, Pelajaran dari Timor Leste” Staf Pengajar di Universitas Bung Karno (UBK), saya menemukan pertanyaan sebagai berikut “Seandainya nanti ditahun 2018 atau setelahnya, ternyata kapal FLNG Prelude mengalami kendala teknis yang cukup beresiko seperti pergeseran, kebocoran atau bahkan ledakan, sedangkan pemerintah sudah melakukan tahapan-tahapan dari rancangan hingga kontruksi untuk membangun kilang terapung, apa yang akan pemerintah lakukan? Cukup menggelitik, pernah ada pejabat dari SKK Migas yang menjawab pertanyaan tersebut dengan: ya, kita tinggal ganti lagi aja, kita kembalikan ke onshore. Jika demikian, betapa mubazirnya energy dan anggaran kita kelak. (sumber: obsessionnews.com).

Dari hal di atas, seolah-olah para pendukung offshore ini ingin menjadikan blok masela sebagai kelinci percobaan. Selanjutnya, Pembangunan secara merata sangat penting untuk kemajuan bangsa dimasa yang akan datang. Jangan lagi memperdulikan orang-orang atau bahkan para pejabat yang secara historis juga tidak pernah berpihak kepada rakyat, yang kemudian harus menjadi prioritas untuk di revolusi mentalnya. Pembangunan tentunya ditujukan untuk kepentingan khalayak, terutama di daerah daerah tertinggal.

Banyak sekali masyarakat yang datang ke pulau jawa untuk mencari pekerjaan, hal itu menggambarkan begitu minimnya lapangan pekerjaan ditempatnya berasal. Jadi jika presiden hari ini diklaim berasal dari Rahim rakyat, dalam memutuskan soal ini ‘blok masela’ presiden juga harus berdasarkan kepentingan rakyat, terkhusus di maluku.

Semua elemen masyarakat di Maluku mulai dari pemuda, akademisi, birokrat, dan tokoh Maluku mendukung pembangunan kilang di darat. Sangat mengherankan, ketika semua orang mendukung pembangunan di darat, tetapi Menteri ESDM seolah memiliki agenda sendiri. Sebagai pembantu presiden, menteri harusnya menjadi suporting. Jangan berlaku seolah menjadi presidenkata Dr. sujud Sirajuddin dalam diskusi terbatas tentang Blok Masela dan Kolonialisasi Abad 21 (26/02/16) di Jakarta. (sumber: Beritasatu.com).

Sampai tulisan ini terbit, saya belum lagi mendapatkan argumentasi yang menyangkal bahwa pembangunan kilang offshore lebih baik dari onshore. Bahkan terakhir berita yang saya dapat, Menteri SS sebagai Menteri yang menginginkan pembangunan kilang dilaut ditantang oleh DPR-RI untuk berdebat didepan publik dengan Menteri RR sebagai Menteri yang menginginkan pembangunan kilang didarat, namun menteri SS berkata, saya tidak akan berbicara lagi mengenai blok masela. Tulisan ini saya buat karena rasa penasaran saya soal Blok Masela, jangan sampai ketika kekayaan Alam Negeri ini di Eksploitasi, hanya segelintir orang atau bahkan warga asing yang menikmatinya seperti halnya Freeport di Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun