Mohon tunggu...
Lendra Bayu
Lendra Bayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

[ Blogger, Reviewer, Reporter. ] \r\n\r\nKadang males buat bales komentar. Pliss.. Jangan marah kalau komentar kamu gak saya bales. Ikhlasin aja, biar Tuhan yang bales :P\r\n\r\nCP: lendra.mail@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

If You Hate Jurassic World, That is Because You are Old

25 Juni 2015   18:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:12 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurassic World baru saja memecahkan rekor pendapatan tertinggi di minggu pertama. Sebagai sebuah film yang marketingnya gak segencar The Avengers, hasil ini cukup di luar dugaan. Berbeda dengan Furious 7 yang diserbu penonton karena faktor "film terakhir Paul Walker", menurut saya Jurassic World punya faktor 'nostalgia' di benak penontonnya. Saya yakin (meski gak ada bukti ilmiahnya), rasa kagum para penonton terhadap film Jurassic Park-lah yang membuat para penonton tidak sabar untuk menyaksikan Jurassic World begitu filmnya tayang di bioskop.

Ternyata, para penonton yang bernostalgia ini terbagi dua: yang makan buburnya diaduk, eh, maksud saya yang bilang Jurassic World film keren dan yang bilang ini film sampah.

"Jurassic Park is gold. Jurassic Park 2 & 3 is crap. And Jurassic World is the worst."

Begitu review temen-temen saya di social media. Agak kaget juga sih melihat hanya ada satu teman Path saya yang bilang film ini bagus.

Keheranan saya sedikit terjawab ketika menyadari bahwa gak ada satu teman pun yang bilang film ini 'biasa saja'. Jika situasinya terbagi jadi LOVE/HATE begini, biasanya hal ini terjadi karena ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap filmnya. Tapi saya rasa ada satu alasan lagi yang membuat banyak orang membenci Jurassic World: usia.

Bukan usia dalam konteks sudah berapa lama seseorang hidup, tapi usia dalam hal mental.

Beberapa hari setelah Jurassic World tayang, di social media bertaburan jokes (kebanyakan meme) tentang betapa kuatnya sepatu (high heels) yang dipakai salah satu tokohnya untuk berlari seharian di hutan. Sebuah ketidaklogisan pertama yang dibahas dari film ini. Kemudian muncul beberapa review 'agak serius' yang membahas lemahnya pengembangan karakter di film ini, plot film yang penuh lubang dan lain-lain. Intinya semua bilang ada banyak hal konyol yang bisa dijadikan sebuah daftar "100 Reasons Why You Should Skip Jurassic World and Watch Minnions Instead."

Tapi daftar ini tidak muncul ketika teman-teman saya menonton Jurassic Park.

Jurassic Park hadir ketika teman-temman saya masih kecil, saat penjelasan bahwa "semua mahluk hidup bisa diciptakan kembali asal ada DNA-nya" sudah cukup logis untuk ditelan. Atau bahkan mungkin mereka tidak peduli dengan penjelasan ilmiah itu karena terlalu sibuk menahan napas melihat dua anak kecil terjebak bersama tiga raptor di sebuah dapur.

Mungkinkah pendewasaan diri merusak kesenangan?

Sebab yang teman-teman saya ingat dari Jurassic World adalah "bagaimana mungkin ada ibu-ibu yang mau cerai malah menitipkan 2 anaknya ke tante-tante sibuk kerja yang gak tahu usia mereka berapa?"

Padahal di dunia nyata, telah terjadi fenomena yang lebih tidak masuk akal. Ada keluarga yang mengunci anak-anak mereka di luar rumah selama berminggu-minggu dan ada lagi yang sibuk cari simpati saat anaknya hilang padahal diperkosa dan dibunuh oleh pembantunya sendiri.

Kepedulian kita terhadap anak-anak yang menjadi korban tersebut, seakan menegaskan kondisi bahwa saat ini tokoh/karakter yang menarik tidaklah cukup untuk membuat sebuah film disukai. Film harus bertanggungjawab atas pengembangan karakter si tokoh, karena penonton peduli. Mereka tidak rela melihat karakter tertentu dibuat garing, cupu, lemah, kaku, atau gak jelas. Sebuah sikap berlebihan seperti yang saya lihat pada orangtua yang peduli kepada anaknya.

Inilah sebabnya beberapa film Hollywood mulai logis dan rasional. Batman di tangan Nolan dibuat punya kelemahan, seperti manusia seutuhnya. Ini bukan Batman sang superhero kota Gotham yang selama ini kita kenal, tapi semua orang suka Batman versi Nolan karena karakternya berkembang.

Mungkin ini sebabnya teman-teman saya suka dengan film Kingsman: The Secret Service. Karena Mereka menerima karakter James Bond di-reboot, menjadi 007 yang galau ketika kekasihnya dibunuh (sama seperti manusia pada umumnya). Tetapi jauh di dalam lubuk hati, mereka kangen dengan kegilaan kisah spy vs megalomaniac yang berambisi menghancurkan bumi/memusnahkan umat manusia; yang tinggal di markas super canggih yang entah bagaimana cara membangun/mencari duitnya. Di sinilah Kingsman hadir, menjadi pemuas dahaga orang-orang yang ingin melihat film seperti James Bond, tapi tokoh utamanya bukan James Bond.

Kembali ke dinosaurus, saya hanya khawatir sikap ngemong tokoh/karakter ini justru malah membiaskan penilaian mereka atas sebuah film. Teman yang bilang Jurassic World jelek kebanyakan adalah teman yang berpendapat bahwa The Avengers 2 mengecewakan. Mereka gak rela superhero yang mereka puja di The Avengers ternyata cuma 'gitu doang aksinya' dan malah sibuk ngurusin batu akik. Kegagalan mereka menangkap esensi dunia Avengers jelas membuat saya khawatir. Sebab jika mereka peduli pada Iron Man dkk tapi bersikap bodo amat pada 5 batu akik yang menjadi benang merah (bahkan inti) dari dunia Avengers, saya curiga ke depannya mereka akan bilang semua film Avengers mengecewakan; bahkan bilang jelek.

Tentu penilaian terhadap film bersifat sangat subjektif. Ada yang mementingkan kualitas adegan laga sebagai poin terpenting dari film action, ada juga yang tetap berpendapat bahwa kualitas cerita, plot, konflik dan pengembangan karakter itu mutlak harus bagus; apapun jenis filmnya. Saya jadi kepingin minta rekomendasi film porno yang bagus menurut mereka.

Anyway, ada celetukan unik dari temen saya yang kesal karena banyak ibu-ibu yang memberi rating jelek untuk teenlit-chicklit. Dia bilang "Novel kayak gini ya target audience-nya ABG. Jadi kalau ada tante-tante sok-sokan bilang 'novel ini tidak dewasa dan kekanakan' ya itu salah lo yang baca novel, Nyet!"

Saat mental kita sudah menjadi 'orangtua' dan bukan lagi 'remaja' apalagi 'anak-anak', mungkin kita harus menyikapi sebuah film dengan dewasa. Bukan menurunkan ekspetasi, tapi lebih ke arah memposisikan diri sesuai dengan genre film tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun