Padahal di dunia nyata, telah terjadi fenomena yang lebih tidak masuk akal. Ada keluarga yang mengunci anak-anak mereka di luar rumah selama berminggu-minggu dan ada lagi yang sibuk cari simpati saat anaknya hilang padahal diperkosa dan dibunuh oleh pembantunya sendiri.
Kepedulian kita terhadap anak-anak yang menjadi korban tersebut, seakan menegaskan kondisi bahwa saat ini tokoh/karakter yang menarik tidaklah cukup untuk membuat sebuah film disukai. Film harus bertanggungjawab atas pengembangan karakter si tokoh, karena penonton peduli. Mereka tidak rela melihat karakter tertentu dibuat garing, cupu, lemah, kaku, atau gak jelas. Sebuah sikap berlebihan seperti yang saya lihat pada orangtua yang peduli kepada anaknya.
Inilah sebabnya beberapa film Hollywood mulai logis dan rasional. Batman di tangan Nolan dibuat punya kelemahan, seperti manusia seutuhnya. Ini bukan Batman sang superhero kota Gotham yang selama ini kita kenal, tapi semua orang suka Batman versi Nolan karena karakternya berkembang.
Mungkin ini sebabnya teman-teman saya suka dengan film Kingsman: The Secret Service. Karena Mereka menerima karakter James Bond di-reboot, menjadi 007 yang galau ketika kekasihnya dibunuh (sama seperti manusia pada umumnya). Tetapi jauh di dalam lubuk hati, mereka kangen dengan kegilaan kisah spy vs megalomaniac yang berambisi menghancurkan bumi/memusnahkan umat manusia; yang tinggal di markas super canggih yang entah bagaimana cara membangun/mencari duitnya. Di sinilah Kingsman hadir, menjadi pemuas dahaga orang-orang yang ingin melihat film seperti James Bond, tapi tokoh utamanya bukan James Bond.
Kembali ke dinosaurus, saya hanya khawatir sikap ngemong tokoh/karakter ini justru malah membiaskan penilaian mereka atas sebuah film. Teman yang bilang Jurassic World jelek kebanyakan adalah teman yang berpendapat bahwa The Avengers 2 mengecewakan. Mereka gak rela superhero yang mereka puja di The Avengers ternyata cuma 'gitu doang aksinya' dan malah sibuk ngurusin batu akik. Kegagalan mereka menangkap esensi dunia Avengers jelas membuat saya khawatir. Sebab jika mereka peduli pada Iron Man dkk tapi bersikap bodo amat pada 5 batu akik yang menjadi benang merah (bahkan inti) dari dunia Avengers, saya curiga ke depannya mereka akan bilang semua film Avengers mengecewakan; bahkan bilang jelek.
Tentu penilaian terhadap film bersifat sangat subjektif. Ada yang mementingkan kualitas adegan laga sebagai poin terpenting dari film action, ada juga yang tetap berpendapat bahwa kualitas cerita, plot, konflik dan pengembangan karakter itu mutlak harus bagus; apapun jenis filmnya. Saya jadi kepingin minta rekomendasi film porno yang bagus menurut mereka.
Anyway, ada celetukan unik dari temen saya yang kesal karena banyak ibu-ibu yang memberi rating jelek untuk teenlit-chicklit. Dia bilang "Novel kayak gini ya target audience-nya ABG. Jadi kalau ada tante-tante sok-sokan bilang 'novel ini tidak dewasa dan kekanakan' ya itu salah lo yang baca novel, Nyet!"
Saat mental kita sudah menjadi 'orangtua' dan bukan lagi 'remaja' apalagi 'anak-anak', mungkin kita harus menyikapi sebuah film dengan dewasa. Bukan menurunkan ekspetasi, tapi lebih ke arah memposisikan diri sesuai dengan genre film tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H