Mohon tunggu...
Pemerhati VSI
Pemerhati VSI Mohon Tunggu... -

VSI Observer

Selanjutnya

Tutup

Money

Apa Betul Bisnis VSI tidak Sesuai Syariah?

15 April 2014   03:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Apa Betul Bisnis VSI tidak Sesuai Syariah?

By: pemerhativsi@gmail.com

Judul tersebut sengaja saya angkat karena bisnis VSI saat ini tengah menjadi salah satu topik terhangat di dunia maya, khususnya social media. Ini tidak lain karena melibatkan salah seorang ustadz yang cukup ternama di negeri ini, yaitu Ustadz Yusuf Mansur. Dari hasil observasi yang saya lakukan, kelihatannya opini yang berseliweran di dunia maya ini agak kurang berimbang, terutama antara yang pro dengan yang kontra. Salah satu isu yang menonjol dan mengundang perdebatan yang sangat intensif adalah : apakah bisnis VSI ini sesuai syariah atau tidak?

Untuk itu, saya mencoba menganalisis secara obyektif tentang bisnis VSI dari perspektif ekonomi syariah. Tentu tanpa bermaksud mendahului proses di DSN MUI, yang memiliki otoritas mengeluarkan sertifikasi halal bisnis. Ustadz Yusuf Mansur pernah mengatakan bahwa proses pengajuan ke DSN MUI sudah dilakukan, tinggal sekarang menunggu proses berikutnya. Sambil menunggu proses di DSN, saya mencoba mengidentifikasi beberapa hal pokok yang menjadi sumber perdebatan selama ini.

Isu 1: Core business VSI

Isu ini perlu diangkat karena saya melihat adanya bias terhadap bisnis utama VSI ini, dan secara syariah, core business ini menentukan apakah bisnis VSI ini melanggar syariah atau tidak. Kalau kita lihat secara mendalam, bisnis utama VSI adalah payment technology. Adapun habbatus sauda dan buku, menurut saya itu hanyalah pelengkap dari paket penjualan. Intinya, bisnis aplikasi software untuk pembayaran. Secara syariah, tentu bisnis ini tidak ada masalah. Peruntukannya jelas, yaitu untuk membantu kita melakukan sejumlah transaksi yang biasa kita lakukan sehari-hari, seperti bayar pulsa, listrik, dan lain-lain.

Yang dipermasalahkan adalah, kenapa harga aplikasi ini sampai mencapai angka Rp 275 ribu? Sementara banyak aplikasi lain yang gratis. Ini dianggap mengundang “kecurigaan” bahwa uangnya akan dipakai dalam skema yang mengarah kepada money game. Dan kita sama-sama tahu kalau money game itu tidak sesuai syariah.

Terhadap isu ini, jawaban saya sederhana. Pertama, adalah tidak fair kalau kita membandingkan aplikasi VPay ini dengan aplikasi gratisan yang tersedia di internet. Mestinya kalau mau membandingkan, bandingkan dengan aplikasi lain yang sejenis agar apple to apple, seperti mobile banking suatu bank atau teknologi paypal. Tidak mungkin seseorang bisa menggunakan aplikasi mobile banking kalau ia tidak menjadi nasabah di bank tersebut, dimana ia harus membuka akun dengan nominal tertentu. Intinya, jadi nasabah dulu, baru bisa memanfaatkan layanannya. Demikian pula dengan teknologi paypal yang tidak gratis.

Kedua, sah-sah saja secara syariah, sebuah perusahaan menjual produk pada tingkat harga tertentu. Adalah hak VSI untuk menjual teknologi Vpay pada level harga berapapun, baik Rp 275 ribu, lebih kecil dari Rp 275 ribu, maupun lebih besar dari angka tersebut. Sama seperti orang jualan bakso, kenapa harga bisa berbeda antara warung bakso satu dengan warung bakso lainnya. Itu kan terserah penjual masing-masing, setelah mereka mempertimbangkan berbagai faktor. Dan bukan hak kita untuk mengotak-atik harga jual bakso di warung tersebut. Kalau tidak mau beli, ya tidak masalah. Kalau mau beli, ya harganya sebesar itu. Simpel.

Hasil penjualan warung bakso itu menjadi hak penuh warung tersebut. Sama seperti saat kita bekerja dan mendapat gaji. Adalah hak kita untuk memanfaatkan gaji tersebut untuk apa saja. Tentu kita berharap bahwa pemanfaatan dana tersebut sesuai dengan syariah, misalnya dengan mengeluarkan zakat, infak dan shadaqahnya terlebih dahulu sebelum dibelanjakan untuk hal lain.

Saya juga mendengar bahwa manajemen VSI sudah banyak melakukan pembenahan dan bersiap-siap menjadi perusahaan sangat besar. Transaksi per awal April sudah sangat lancar. Sedangkan transaksi itu adalah core-business dari VSI.

Isu 2 : Masalah dua akad dalam satu transaksi, makelar atas makelar, dan cash back

Dalam Islam, Rasul dengan tegas melarang dua akad dalam satu kontrak. Demikian pula dengan persoalan makelar atau samsarah, dimana “samsarah ‘alaa samsarah” itu tidak boleh. Buat yang masih bingung tentang “samsarah ‘alaa samsarah”, silakan di-googling sendiri.

Sekarang mari kita lihat praktek VSI hari ini. Yang saya amati, VSI yang sekarang telah memisahkan antara akad untuk pengguna atau user dengan akad untuk mitra bisnisnya. Akad untuk user adalah akad jual beli biasa, dimana seseorang membeli VPay untuk ia gunakan sendiri. Dalam jual beli atau al-bai’, terjadi pertukaran antara uang dengan barang. Barangnya, dalam hal ini aplikasi VPay, menjadi milik user, sedangkan uangnya, menjadi milik perusahaan. Saya rasa ini clear.

Kemudian, buat mereka yang tertarik menjadi mitra bisnis VSI, harus mengisi form lagi. Dengan kata lain, harus melakukan akad terpisah sebagai agennya VSI, dan akan mendapatkan hak dan kewajiban sesuai kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Jadi buat saya, bisnis VSI ini jelas. Tidak ada dua akad dalam satu transaksi.

Bagaimana dengan bisnis para mitra dan kaitannya dengan “samsarah ‘alaa samsarah” dan skema ponzi? Sebelum masuk kedalam isu itu, ada baiknya kita sepakati esensi dari suatu bisnis. Esensi bisnis adalah menjual produk sebanyak-banyaknya kepada sebanyak-banyaknya konsumen. Jadi dua hal yang penting, yaitu : jumlah produk yang terjual dan jumlah pengguna yang memakai produk kita. Nah, para mitra ini harus memenuhi dua target ini: pasarkan VSI kepada masyarakat seluas-luasnya, dan ajak masyarakat untuk menggunakan aplikasi teknologi ini sesering-seringnya. Ada target omset yang harus dipenuhi. Besarnya omset ini akan mempengaruhi besarnya pendapatan yang akan dinikmati oleh para mitra. Makin besar omset, ya pendapatannya makin besar. Masuk akal bukan?

Bagaimana cara mengajak masyarakat sebanyak-banyaknya? Ya ajak mereka untuk menjadi pengguna (user) atau menjadi mitra bisnis. Kalau masyarakat memilih jadi pengguna saja, maka ajak mereka untuk memakai aplikasi VPay ini sesering-seringnya. Kalau mereka tertarik untuk ikutan berbisnis, maka menjadi mitra bisnis adalah pilihan yang tepat. Jadi, masalah “member get member” adalah dalam kerangka ini, yaitu mencari pengguna atau mitra bisnis sebanyak-banyaknya. Ini sesuatu yang tidak masalah dalam Islam.

Bagaimana dengan “samsarah ‘alaa samsarah”? Menurut saya, skema bisnis VSI tidak mengarah pada “samsarah ‘alaa samsarah” (kita singkat SAS biar mudah). SAS yang mengarah pada pendzoliman terjadi ketika A merekrut B, B merekrut C, dan C merekrut D, sementara A menerima bonus/komisi dari kerja B merekrut C dan C merekrut D, B menerima bonus/komisi dari kerja C merekrut D, dan D tidak dapat apa-apa kecuali ia merekrut E dan seterusnya. Tentu yang dizalimi adalah D dalam hal ini. Dalam skema money game, selalu downline terbawah yang dizalimi. Apakah VSI seperti itu?

Sekarang kita lihat, apa yang dilakukan VSI. Pertama, soal angka penjualan software yang mencapai Rp 275 ribu, itu sah-sah saja sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas. Bahwa kemudian perusahaan memberikan bonus kepada mitra yang berhasil menggaet seorang user atau mitra bisnis baru, itu juga sah-sah saja secara syariah. Ini karena status uang tersebut adalah milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menggunakannya. Mau memberi bonus kepada si A, B C, dan D, atau tidak memberi bonus sama sekali, itu hak perusahaan. Kalau anda punya uang, maka anda bebas memanfaatkannya bukan?

Kedua, terkait dengan cash back. Dalam suatu transaksi, misal isi pulsa, cash back-nya Rp 1800, dimana Rp 800 masuk ke perusahaan, dan sisanya Rp 1000 diberikan kepada mereka yang menggunakan aplikasi ini. Dalam contoh di atas, baik si A, B, C maupun D sama-sama menggunakan jasa VPay. Dalam konsep ini, apakah downline yang paling bawah, yaitu si D, dirugikan karena dari Rp 800 tersebut, perusahaan membagikannya dalam bentuk bonus kepada si A, B, dan C? Jawabannya, tentu tidak. Mengapa? Karena si D telah mendapatkan haknya, yaitu Rp 1000 sebagai cash back dari transaksi yang dilakukannya. Adapun yang Rp 800, sekali lagi itu adalah uang milik perusahaan, yang bebas digunakan oleh perusahaan. Dalam hal ini, VSI memberikan “bagian” keuntungannya sebagai stimulus kepada para mitra bisnisnya, dengan kriteria dan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh mitra tersebut. Diantara kriterianya adalah besarnya omset yang dihasilkan. Ingat ya, besarnya omset yang dihasilkan.

Kezaliman baru muncul ketika hak si D yang Rp 1000 tersebut dikurangi secara sengaja, atau diambil untuk membayar C, B dan A. Ketentuan cash back Rp 1000 berlaku secara adil kepada A, B, C dan D. Kalau D lebih sering memakai layanan VPay, maka boleh jadi ia mendapatkan cash back yang lebih besar dari A, B dan C.

Jadi, skema “samsarah ‘alaa samsarah” tidak berlaku disini. Disinilah pentingnya kejelasan akad yang dilakukan. Dan VSI telah secara jelas menerapkan akad yang terpisah, baik dengan pengguna (user) maupun mitra bisnisnya.

Kesimpulannya, secara syariah, menurut saya tidak ada pihak yang dizalimi, sehingga tidak bertentangan dengan syariah. Skema bisnis VS juga jelas-jelas bukan skema money game. Tidak ada pihak yang dirugikan. Saya menduga, munculnya tudingan money game ini ketika melihat marketing plan-nya VSI di awal-awal berdirinya VSI. Tapi kalau lihat kondisi VSI hari ini, terlihat hal yang sangat jauh berbeda. Ini bisa dilihat dari website resmi VSI, yaituwww.klikvsi.co.id, bukan dari website-website lain yang mengatasnamakan VSI.

Gagasan aplikasi teknologi pembayaran ini menurut saya juga sangat cemerlang. Apalagi saya mendengar informasi bahwa VSI juga akan mengembangkan e-book dan e-training Ust Yusuf Mansur, serta berbagai aplikasi lain ke depannya. Ini tentu misi besar yang harus kita dukung, sehingga niat membeli kembali Indonesia yang selama ini digembar gemborkan Ust Yusuf Mansur, bisa direalisasikan dengan baik.

Saya juga berharap semoga proses di DSN MUI bisa berjalan dengan lebih cepat, supaya pihak-pihak yang menaruh perhatian pada VSI, tidak menduga-duga lagi soal kesyariahan bisnis ini. Dan untuk VSI, memang harus ada penyamaan SOP (standard of operating procedure) terkait dengan pemasaran produk VPay ini, agar masyarakat bisa memahami hakekat bisnis VSI ini dengan lebih baik, sehingga persepsi bahwa seolah-olah bisnis ini mengandung unsur money game, bisa dikikis dan dihilangkan. Juga kepada para mitra bisnis VSI, agar memahami konsep akad dan bisnis yang dikembangkan VSI. Tujuannya, supaya tidak salah dalam menjelaskan keunggulan produk VSI ini. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun