Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialog Interaktif Sandiaga Uno di Pilgub Jakarta 2017

18 April 2017   20:42 Diperbarui: 20 April 2017   06:58 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeremy: bagaimana Bapak sendiri mendefinisikan konsep “kalangan atas” di Indonesia, khususnya karena bapak sendiri calon pemimpin regional, jadi apakah misalnya ada unsur baru yang timbul dalam definisi kalangan atas di Indonesia sekarang ini?

Sandiaga: kalangan atas lebih ke arah sosio-ekonomiknya Pak Je dan saya melihat bahwa dari perjalanan saya 18 bulan berkampanye, bisa dilihat foto-fotonya ini, ini koleksi selama 18 bulan saya berjalan, ada rekor MURI (Musium Rekor Indonesia), di mana kita sudah jalankan kunjungan 1200 visit, di situ mayoritas daripada warga Jakarta dan pasti mayoritas warga Indonesia juga adalah kelas menegah ke bawah, kalangan atas atau itu terbagi dua:

Yang pertama ekonomisnya, mereka yang menurut pandangan saya sudah memiliki penghasilan di atas ambang batas tertentu, rata-rata punya mobil, rata-rata mereka sangat aktif di sosial media dan sangat ekspresif. Kalangan atas itu juga tidak bisa didefinisikan dari uang yang banyak, tetapi mereka yang terdidik, mereka yang tercerahkan, mereka yang bisa mendapatkan bangku sekolah sampai S1 maupun S2. Mereka adalah kalangan atas mereka yang selama ini sangat berpengaruh dalam peta politik maupun kemajuan bangsa kita.

Jeremy: Bagaimana dengan proses pendemokrasian di Indonesia? Apakah Bapak melihat ada kelebihan dan kekurangan dalam proses pendemokrasian itu?

Sandiaga: Sekali lagi saya baru di politik jadi saya melihat demokrasi dari kacamata di Jakarta dan saya juga sempat melihat tiga bulan mengikuti kampanye Pilpres 2014 sebagai Jubir (Juru Bicara) saya bangga dengan demokrasi di Indonesia. Demokrasi kita ini sangat berbeda, demorkasi kita untuk usianya yang relatif muda, sangat-sangat matang di mana kita bisa menyikapi perbedaan dengan hati yang lapang, ada keberagaman, ada semangat untuk saling mengerti dan toleransi. Memang kalau dilihat, Pak Je, yang berisik atau yang “very noisy” itu adalah yang “at the end of the spectrum”, titik-titk paling ujung dalam spektrum kiri dan kanan  di mana jumlahnya hanya 10% di kiri dan 10% di kanan, total 20% mereka sibuk sekali ribut baik itu di media dan sosial media maupun percakapan WhatsApp dan lain sebagainya. Tetapi mayoritas warga Indonesia rakyat Indonesia 80% sangat rasional, sangat dewasa menyikapi demokrasi.

Kelebihannya tentunya kita punya Pancasila. Pancasila itu mengajarkan kita lima pilar-pilar utama. Kita juga punya Bhineka Tunggal Ika. Itu kelebihan kita dan yang menarik sekali Bapak bangsa kita memilih bahasa Indonesia dari bahasa Melayu bukan bahasa Jawa, bukan bahasa yang kedua terbesar saat itu selain suku Jawa yaitu di Jakarta atau suku Betawi, atau Suku Sunda, tapi yang dipilih bahasa dari sebuah tempat yang sebetulnya secara relatif jumlah penduduknya sedikit yaitu bahasa Melayu. Saya kebetulan lahir di Riau. Itu dipilih sehingga kita punya “common denomination” satu pemersatu kita yaitu bahasa dari Sabang sampai Merauke secara bahasa jadi itu kelebihan dari demokrasi kita.

Kekurangannya masih banyaklah, tapi menurut saya saya mau fokus di kelebihan-kelebihan kita, sifat positif bangsa ini. Waktu 2014, Pak Je, banyak yang khawatir kita akan terpecah-belah setelah Pemilu yang very masif, menurut saya cukup melelahkan dan dikhawatirkan akan menyisakan luka yang sangat dalam, ternyata tidak juga setelah 2014 keputusan MK sudah final cepat sekali warga bersatu padu dan mendukung pemerintahan dan buat saya itu luar biasa menyejukan dan membanggakan sebagai warga negara Indonesia.

Jeremy: semenjak Bapak mulai berkampanye dalam proses Pilgub di Jakarta, saya mengamati secara mendalam bahwa ada tiga pembesar politik yang turun dari tingkat nasional ke regional khususnya di Jakarta, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo. Perkembangan ini pasti menyebabkan meningkatnya intensitas persaingan politik di sini di Jakarta, jadi bagaimana Bapak sendiri bisa menghadapi peningkatan persaingan politik seperti ini?

Sandiaga: Ini merupakan sebuah realita dan konsekuensi dari posisi masing-masing Bapak-bapak dan petinggi partai ini.  Di partai yang sangat aktif dalam kontestasi politik di DKI, seperti bapak ketahui Bapak Prabowo Subianto adalah Ketua Umum Gerindra, dan memang kami akhirnya memutuskan untuk mengajak Pak Prabowo turun bahwa awal-awalnya kami menyatakan bahwa Jakarta dan tentang warga Jakarta adalah pemimpin yang fokus menuntaskan permasalahan pekerjaan, pendidikan warga Jakarta, biaya hidup tinggi dan persatuan, oleh warga Jakarta yang kita lihat betul-betul sangat beragam warga Jakarta. Sosok Pak Prabowo itu ternyata melalui beberapa “internal survey” (survei politik internal) kami sangat diterima sebagai tokoh yang bisa dipercaya sebagai pembawa pesan damai di antara kita. Bahwa beliau datang bisa meyakinkan para pemilih atau calon pemilih bahwa Jakarta ke depan adalah Jakarta yang harus bisa  mempersempit jurang ketimpangan, ekonomi, kesejahteraan sosial itu sangat memiliki resonansi yang tinggi di warga Jakarta.

Jeremy: tapi juga hal itu mencerminkan ketiga pembesar politik ini melihat bahwa Jakarta termasuk posisi-posisi kepemimpinan yang dijadikan “batu loncatan” atau “a stepping stone for higher office”.

Sandiaga: Kembali lagi pada pertanyaan yang pertama yaitu saat “detik-detik yang sangat menentukan”. Waktu saya bicara sama Mas Anies di awal-awal pembicaraan kita di enam jam di saat yang menentukan itu, saya sampaikan ke beliau “nich kita janjian dulu dari awal, kita sama-sama fokus lima tahun ke depan yaa. Kita sudah melihat bahwa posisi DKI ini, dan saya sudah mendengar dari semua pihak termasuk para politisi, para pengamat bahwa ini adalah batu loncatan. Saya bilang kalau mas Anies menganggap ini sebagai batu loncatan “I am not interested to partner with you” (saya tidak berminat berpasangan denganmu) dan saya memegang mandat dan satu waktu itu memegang mandat sebagai calon gubernur, dan saya bersedia menjadi calon Wakil gubernur kalau dia sepakat untuk tetap fokus lima tahun ke depan membangun Jakarta. Ini yang saya sepakati sama dia bahwa kita hadir di Jakarta ini untuk membenahi Jakarta. Menjadi pemimpin untuk semua golongan, memperbaiki bidang kelemahan kerja, pendidikan maupun, biaya hidup dan persatuan di antara warga dan meneruskan yang sudah bagus, program-program yang sudah bagus akan kita teruskan. Ini yang selalu dicoba diungkit-ungkit terus selama kita berkampanye selama enam bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun