Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Para Koruptor Membuat Ibu Pertiwi Menangis Darah

11 Mei 2016   05:59 Diperbarui: 11 Mei 2016   07:25 3851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekarang media gencar memberitakan tentang penangkapan para koruptor baik yang telah lama menjadi buronan dan lari ke luar negeri, ataupun koruptor yang tertangkap tangan menerima suap dari para konglomerat. Miris dan pilu setiap membaca dan menonton berita tentang ulah para koruptor. Banyak pengamat politik yang mengulas tentang hal ini, namun selain berita dan analisa dari para pengamat politik di Indonesia ternyata ada dua orang pengamat dari Australia Howard Dick dan Jeremy Mulholland yang mengupas secara mendalam, tidak tebang pilih tentang sepak terjang para koruptor dan juga bagaimana peranan KPK dalam melawan ini semua.

Tulisan mereka berdua dimuat di Georgetown Journal of International Affairs dengan judul "The Politics of Corruption in Indonesia" untuk lebih lengkap bisa dibaca linknya di sini https://muse.jhu.edu/article/615082/pdf. Hasil terjemahan dari tulisan mereka bisa anda baca dengan nyaman di bawah ini. Tujuan penerjemahan adalah agar kita bisa lebih mengerti persoalan korupsi politik di Indonesia dari sisi pengamat luar negeri.

Korupsi Politik Indonesia

Howard Dick dan Jeremy Mulholland

Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia terbesar ketiga dalam sistem kedemokrasian di dunia setelah India dan Amerika Serikat, salah satu pasar domestik terbesar di dunia (setara dengan Perancis dan Inggris) dan juga negara muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, permainan politik elit Indonesia yang rumit mesti dikupas secara mendalam.

Sejak diumumkannya hasil survei Transparency International 2015 tanggal 27 Januari 2016, pemerintahan Jokowi condong menafsirkan hasil survei tersebut sebagai perkembangan positif menyangkut perbaikan tata kelola politik. Namun sesungguhnya hasil survei tersebut hanyalah berdasarkan persepsi-persepsi subyektif semata yang tidak seusai dengan kenyataan politik ekonomi Indonesia.

Kalau kita memusatkan perhatian pada perekonomian Indonesia, tantangan-tantangan paling hebat adalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, serta sarana dan prasarana penunjang kehidupan publik. Sedangkan dalam ranah perpolitikan, tantangan terberatnya adalah korupsi elit. Pada umumnya, wacana anti-korupsi berkaitan erat dengan gagasan teoretis bahwa korupsi itu merupakan suatu disfungsi atau dapat dipahami sebagai semacam kanker yang menular ke dalam tubuh politik yang perlu “diobati” untuk mencapai tata kelola politik yang baik. Ada pula gagasan teoretis lain yang juga kerap dipakai dalam memaknai korupsi, yaitu, korupsi adalah akibat dari manusia yang busuk. Manusia-manusia busuk itu dapat diidentifikasi untuk kemudian disingkirkan secara efektif.

Akan tetapi, pada kenyataannya Indonesia adalah masyarakat patronase. Korupsi sudah menjadi “jantung kultural” dalam berbagi kekuasaan dan kekayaan di antara pembesar-pembesar partai politik dan jaringan-jaringan kekuasaan yang berlawanan dalam sistem kedemokrasian Indonesia. Meskipun semenjak akhir tahun 2003 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – yang merupakan sebuah terobosan kelembagaan di Indonesia – sudah berupaya menahan dan menuntut para politisi dan birokrat kelas kakap, namun korupsi makin lama makin merajalela. Banyak anggota dari para penguasa politik yang berusaha untuk menyerang dan mengerdilkan KPK.

Sejarah Korupsi Politik

Semenjak 1999, Indonesia memiliki sistem kedemokrasian multi-partai yang stabil dan berhasil bertahan jauh lebih lama dibandingkan dengan pengalaman kedemokrasian di dasawarsa 50-an. Akan tetapi, dalam periode demokrasi kedua ini, praktik-praktik korupsi menjadi tema utama dalam wacana politik. Di satu sisi, tak ada satu pun calon presiden yang tidak menjanjikan komitmen pemberantasan korupsi. Di sisi lain, biaya politik yang semakin mahal mengakibatkan tak ada satu pun calon presiden yang sanggup memenangkan pemilihan umum tanpa mobilisasi dana politik besar-besaran, terkadang menghalalkan segala sumber dan cara – entah itu putih, abu-abu, atau hitam. Hal serupa juga terjadi pada para calon kepala daerah dan anggota legislatif. Maka jangan heran jika janji-janji kampanye yang berkobar-kobar kepada rakyat runtuh oleh janji-janji tak terucap kepada pendana-pendana elit yang menagih secara halus piutang budi yang tak tulus yang telah mereka tanamkan.

Praktik-praktik korupsi semakin terang setelah badan ‘independen’ Komisi Pemberantasan Korupsi mulai bekerja pada tahun 2004. Namun jika ditinjau sejarah berdirinya lembaga tersebut, kejadiannya cukup mencengangkan. Jauh sebelum berdirinya KPK, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah mengamanatkan agar dibentuknya suatu komisi antikorupsi. Namun lembaga itu tak juga kunjung dibentuk. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melahirkan ‘Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara’ (KPKPN).

Berdasarkan ratusan wawancara elit yang dilakukan dalam rangka penelitian S3nya Jeremy Mulholland, ketika KPKPN yang dipimpin Jusuf Syakir menghantam presiden Megawati lewat penyelidikan aset-aset keluarganya, Megawati merasa terancam. Megawati bertindak cepat. Dia mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang melahirkan KPK dan sekaligus mengenyahkan musuh politiknya, Jusuf Syakir – dengan cara meleburkan KPKPN ke dalam KPK. Itulah sebabnya mengapa KPK sampai memiliki kewenangan atas penyelidikan dan penuntutan melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hingga akhir 2013, KPK sudah menyelidiki sekitar 350 kasus korupsi dan menghukum 44% pejabat senior, 18% anggota DPR, 11% kepala daerah, 3% menteri, 2% hakim dan lain sebagainya 22%. Totalnya, 400 elit ditangkap. KPK juga mengusut kasus-kasus yang mengkhawatirkan di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Sampai pertengahan 2015, tiga gubernur Riau berturut-turut dipenjarakan setelah diproses di pengadilan Tipikor. Mereka bukan saja mengontrol dana Bank Riau Kepri untuk main proyek (termasuk mark-up dana gedung baru), tetapi juga secara gila-gilaan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi perkebunanan kelapa sawit yang merupakan biang keladi kebakaran hutan dan kabut asap regional.

Walaupun pencapaian KPK telah cukup efektif memenuhi amanat perundang-undangannya dari segi jumlah penyelesaian kasus korupsi, rakyat kelihatanya cukup puas melihat para tersangka dipermalukan dengan pemakaian jas oranye di muka umum, namun semua itu tidak membuat berkurangnya tindakan korupsi sama sekali. KPK dapat diibaratkan sebagai seorang kesatria yang melawan Hydra, makhluk mistis berwujud ular raksasa yang memiliki sembilan kepala dalam mitos Yunani.

Apabila sang kesatria itu memotong salah satu kepalanya maka akan tumbuh beberapa kepala baru. Kalau dilihat di atas permukaan, banyak berita tentang anggota elit yang ditangkap dan dipenjarakan oleh KPK. Namun proses penegakan hukum oleh KPK ini telah membuat para penguasa semakin culas dan cerdik dalam mencuri dan menyalahgunakan wewenangnya. Saking melembaganya praktik-praktik korupsi ini, apabila ada yang enggan ikut korupsi, dia bakal terkena sanksi. Reputasinya dihancurkan dengan berbagai cara sehingga dia tidak akan bertahan lama dalam jabatannya.

Sekarang ini arus utama praktik-praktik korupsi politik terkait dengan meningkatnya tanggungan biaya kampanye di ketiga tingkat pemerintahan: nasional, regional, lokal. Di lapangan, pengeluaran kampanye yang sebenarnya bisa 10 sampai 20 kali lipat lebih banyak daripada data yang dilaporkan secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saking jamaknya dana kampanye tak resmi ini, jika masing-masing caleg dan capres diselidiki hingga tuntas, sebagian besar dari mereka akan berakhir di penjara.

Mereka yang ikut dalam perebutan kekuasaan akan bertarung terlebih dahulu dalam mengumpulkan dana politik informal demi kepentingan kampanye. Dana itu biasanya diperoleh dari para pihak swasta. Saudagar-saudagar ini akan menerapkan strategi defensif. Mereka menyumbangkan dana pada semua calon. Setelah pemilihan selesai, mereka tinggal memanfaatkan hubungan yang telah terbina dengan siapapun yang terpilih. Namun ada juga yang selektif; mereka memilih calon tertentu lalu mendanainya. Harapannya, bila calon itu menang, mereka bisa panen. Tidak sedikit pula yang mencalonkan diri mereka sendiri.

Sumber pendanaan politik lain yang sebetulnya merupakan unsur yang sangat mendasar dalam sistem patronase adalah penjualan jabatan. Pada seluruh lapisan aparatur pemerintah, jabatan-jabatan lazim diperjualbelikan. Pembayaran mengalir dari bawah ke atas seturut sistem patronase. Dana politik informal dikumpulkan dari beraneka ragam praktik korupsi politik guna melunasi obligasi yang terkait dengan jabatan yang sudah diperoleh. Juga untuk mempertahankan dukungan dari penguasa-penguasa yang lebih kuat. Sisanya, untuk mendanai gaya hidup mewah serta pendidikan keluarga. Pola patronase ini dapat ditemukan dalam berbagai ragam bidang seperti kepolisian, kehakiman, bea-cukai dan pendidikan. Skala dan aturan pendistribusian dipahami dengan jelas oleh semua pihak. Apabila ada yang melanggar norma-norma pendistribusian yang mengikuti prinsip “sama rasa sama rata” misalnya, dengan “sikap pelit yang berlebihan” pasti dihukum.

DPR juga dikomersialisasikan. Keputusan politik seringkali ditukar dengan uang. Jabatan ketua-ketua komisi adalah posisi politik yang sangat basah. Menteri dan birokrat senior dari eksekutif, mau tak mau, terpaksa berkompromi dalam proses pembuatan undang-undang karena mereka butuh dukungan dalam sidang-sidang DPR. Pembagian dana disalurkan pada setiap anggota komisi sesuai dengan besarnya kekuasaan dan jabatan. Hal itu terlihat dalam kasus-kasus Setya Novanto, Damayanti (Komisi V) dan Dewie Yasin Limpo (Komisi VII). Posisi yang mereka jabat mencerminkan keterampilan mereka dalam mengumpulkan dana politik besar-besaran – sesuatu yang sudah dikemukakan dalam analisa kami yang lain “negara menyerupai pasar politik” (state as political market) (lihat Dick dan Mulholland, 2011, 65-85; https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi39p2kn8_MAhVIkpQKHUkKBh8QFggcMAA&url=https%3A%2F%2Foapen.org%2Fdownload%3Ftype%3Ddocument%26docid%3D368290&usg=AFQjCNEfdbqzpbVFUS79KYRUbEcxFYIHzA&bvm=bv.121421273,d.dGo).

KPK

Pada tahun 2015 perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan melemah akibat perseteruan sengit antara KPK dan Polisi. Berdasarkan informasi dari rekaman suara “rapat Freeport,” (lihat http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/skandal-freeport_5678c1b33f23bdcd04ea72c8), Megawati mendesak presiden Joko Widodo melantik mantan ajudannya, Budi Gunawan, sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Tapi KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus korupsi “rekening gendut.” Di bawah tekanan publik yang dahsyat, Joko Widodo akhirnya berkompromi dengan melantik Budi Gunawan hanya sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri). Penunjukan ini akal-akalan, sebab sesungguhnya Budi Gunawan tetap dijadikan tokoh terkuat di kepolisian. Alhasil, polisi menyerang balik dengan menuntut pimpinan KPK.

Posisi KPK saat ini jauh lebih rapuh dibandingkan saat polisi pertama kali melawan KPK pada tahun 2009. Berdasarkan berita yang dimuat majalah Tempo, saat itu KPK menetapkan besan Presiden Yudhoyono, Aulia Pohan sebagai tersangka. Polisi lantas menyerang balik dengan menangkap Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh sebagai otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen karena motif cinta segitiga. Proses peradilan yang sangat mencurigakan itulah mengakibatkan Antasari divonis bersalah. Selain itu, dua pemimpin KPK lainnya juga ditangkap dengan tuduhan yang sudah direkayasa, akan tetapi mereka berdua kembali bebas berkat derasnya tekanan opini publik. Sampai awal tahun 2016, pencapaian KPK masih nihil. Pemimpinnya ditetapkan menjadi tersangka.

DPR- yang menguasai proses penentuan anggaran dan seleksi pimpinan KPK- berupaya untuk membuat rancangan undang-undang yang membatasi perekrutan anggota KPK hanya dari kepolisian dan kejaksaan, membatasi ruang gerak penyelidikan, serta penjadwalan baru untuk membubarkan KPK. Walaupun Presiden Joko Widodo melantik mantan ketua LSM terkenal Indonesian Coruption Watch (ICW) Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan, sejauh ini pelantikan itu terlihat sebagai bagian dari pencitraan politik saja. Widodo membiarkan kepentingan KPK semakin terongrong oleh serangan-serangan politik, termasuk dari dua tokoh terkuat dalam kabinetnya: Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang mengatakan revisi UU KPK bukanlah upaya pelemahan KPK, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memandang KPK sebagai ancaman bagi pembangunan ekonomi.

Kesimpulan

Di mata para pegiat anti-korupsi, kasus Indonesia ini sangatlah mengerikan. Kendatipun KPK telah berupaya melawan semaksimal mungkin praktik-praktik korupsi sejak tahun 2004, korupsi terbukti semakin merajalela. Jaringan-jaringan kekuasaan (yang meskipun saling berlawanan) di DPR, eksekutif, kepolisian dan kehakiman untuk sementara bersatu melawan KPK sebagai musuh bersama. Sungguh ironis bagi Indonesia yang memiliki sistem kedemokrasian terbesar ketiga di dunia dan yang menjadi teladan bangsa-bangsa Islam lain. Korupsi telah menjadi jantung bagi sistem kedemokrasian Indonesia. Ia dijalankan dan dijaga dengan “kesepakatan elit” seperti yang diuraikan John Higley. Pada bulan May 1998 dari regim Suharto ke Habibie, kesepakatan elit politik Indonesia ini dapat dibilang terbentuk secara diam-diam, konsequen dan terburu-buru (dalam suasana khas kultur elit Indonesia yang paternalistik dan tahu sama tahu).

Ia menjelma menjadi sekelompok aturan main tak tertulis dalam menata persaingan politik. Dengan melembaganya kesepakatan elit tersebut, kelanggengan demokrasi jadi terjamin. Proses pembagian kekuasaan politik maupun manfaat ekonomi diatur secara jauh lebih canggih dibandingkan dengan sistem politik demokrasi Anglo-Amerika. Maka itu, dapat disimpulkan, karena Indonesia tidak menempuh jalur kelembagaan yang menuju pada sistem kedemokrasian berkesinambungan yang tidak korup menyebabkan tidak adanya cara efektif untuk membasmi korupsi politik di Indonesia.

Howard Dick, Profesor Ekonomi dan Hukum/Indonesianis, Fakultas Ekonomi, University of Melbourne, Australia

Jeremy Mulholland, Presdir Investindo International Pty Ltd dan Peneliti Politik-Ekonomi/Indonesianis, Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun