Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Para Koruptor Membuat Ibu Pertiwi Menangis Darah

11 Mei 2016   05:59 Diperbarui: 11 Mei 2016   07:25 3851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berdasarkan ratusan wawancara elit yang dilakukan dalam rangka penelitian S3nya Jeremy Mulholland, ketika KPKPN yang dipimpin Jusuf Syakir menghantam presiden Megawati lewat penyelidikan aset-aset keluarganya, Megawati merasa terancam. Megawati bertindak cepat. Dia mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang melahirkan KPK dan sekaligus mengenyahkan musuh politiknya, Jusuf Syakir – dengan cara meleburkan KPKPN ke dalam KPK. Itulah sebabnya mengapa KPK sampai memiliki kewenangan atas penyelidikan dan penuntutan melalui Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hingga akhir 2013, KPK sudah menyelidiki sekitar 350 kasus korupsi dan menghukum 44% pejabat senior, 18% anggota DPR, 11% kepala daerah, 3% menteri, 2% hakim dan lain sebagainya 22%. Totalnya, 400 elit ditangkap. KPK juga mengusut kasus-kasus yang mengkhawatirkan di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Sampai pertengahan 2015, tiga gubernur Riau berturut-turut dipenjarakan setelah diproses di pengadilan Tipikor. Mereka bukan saja mengontrol dana Bank Riau Kepri untuk main proyek (termasuk mark-up dana gedung baru), tetapi juga secara gila-gilaan mengalihfungsikan hutan lindung menjadi perkebunanan kelapa sawit yang merupakan biang keladi kebakaran hutan dan kabut asap regional.

Walaupun pencapaian KPK telah cukup efektif memenuhi amanat perundang-undangannya dari segi jumlah penyelesaian kasus korupsi, rakyat kelihatanya cukup puas melihat para tersangka dipermalukan dengan pemakaian jas oranye di muka umum, namun semua itu tidak membuat berkurangnya tindakan korupsi sama sekali. KPK dapat diibaratkan sebagai seorang kesatria yang melawan Hydra, makhluk mistis berwujud ular raksasa yang memiliki sembilan kepala dalam mitos Yunani.

Apabila sang kesatria itu memotong salah satu kepalanya maka akan tumbuh beberapa kepala baru. Kalau dilihat di atas permukaan, banyak berita tentang anggota elit yang ditangkap dan dipenjarakan oleh KPK. Namun proses penegakan hukum oleh KPK ini telah membuat para penguasa semakin culas dan cerdik dalam mencuri dan menyalahgunakan wewenangnya. Saking melembaganya praktik-praktik korupsi ini, apabila ada yang enggan ikut korupsi, dia bakal terkena sanksi. Reputasinya dihancurkan dengan berbagai cara sehingga dia tidak akan bertahan lama dalam jabatannya.

Sekarang ini arus utama praktik-praktik korupsi politik terkait dengan meningkatnya tanggungan biaya kampanye di ketiga tingkat pemerintahan: nasional, regional, lokal. Di lapangan, pengeluaran kampanye yang sebenarnya bisa 10 sampai 20 kali lipat lebih banyak daripada data yang dilaporkan secara resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saking jamaknya dana kampanye tak resmi ini, jika masing-masing caleg dan capres diselidiki hingga tuntas, sebagian besar dari mereka akan berakhir di penjara.

Mereka yang ikut dalam perebutan kekuasaan akan bertarung terlebih dahulu dalam mengumpulkan dana politik informal demi kepentingan kampanye. Dana itu biasanya diperoleh dari para pihak swasta. Saudagar-saudagar ini akan menerapkan strategi defensif. Mereka menyumbangkan dana pada semua calon. Setelah pemilihan selesai, mereka tinggal memanfaatkan hubungan yang telah terbina dengan siapapun yang terpilih. Namun ada juga yang selektif; mereka memilih calon tertentu lalu mendanainya. Harapannya, bila calon itu menang, mereka bisa panen. Tidak sedikit pula yang mencalonkan diri mereka sendiri.

Sumber pendanaan politik lain yang sebetulnya merupakan unsur yang sangat mendasar dalam sistem patronase adalah penjualan jabatan. Pada seluruh lapisan aparatur pemerintah, jabatan-jabatan lazim diperjualbelikan. Pembayaran mengalir dari bawah ke atas seturut sistem patronase. Dana politik informal dikumpulkan dari beraneka ragam praktik korupsi politik guna melunasi obligasi yang terkait dengan jabatan yang sudah diperoleh. Juga untuk mempertahankan dukungan dari penguasa-penguasa yang lebih kuat. Sisanya, untuk mendanai gaya hidup mewah serta pendidikan keluarga. Pola patronase ini dapat ditemukan dalam berbagai ragam bidang seperti kepolisian, kehakiman, bea-cukai dan pendidikan. Skala dan aturan pendistribusian dipahami dengan jelas oleh semua pihak. Apabila ada yang melanggar norma-norma pendistribusian yang mengikuti prinsip “sama rasa sama rata” misalnya, dengan “sikap pelit yang berlebihan” pasti dihukum.

DPR juga dikomersialisasikan. Keputusan politik seringkali ditukar dengan uang. Jabatan ketua-ketua komisi adalah posisi politik yang sangat basah. Menteri dan birokrat senior dari eksekutif, mau tak mau, terpaksa berkompromi dalam proses pembuatan undang-undang karena mereka butuh dukungan dalam sidang-sidang DPR. Pembagian dana disalurkan pada setiap anggota komisi sesuai dengan besarnya kekuasaan dan jabatan. Hal itu terlihat dalam kasus-kasus Setya Novanto, Damayanti (Komisi V) dan Dewie Yasin Limpo (Komisi VII). Posisi yang mereka jabat mencerminkan keterampilan mereka dalam mengumpulkan dana politik besar-besaran – sesuatu yang sudah dikemukakan dalam analisa kami yang lain “negara menyerupai pasar politik” (state as political market) (lihat Dick dan Mulholland, 2011, 65-85; https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi39p2kn8_MAhVIkpQKHUkKBh8QFggcMAA&url=https%3A%2F%2Foapen.org%2Fdownload%3Ftype%3Ddocument%26docid%3D368290&usg=AFQjCNEfdbqzpbVFUS79KYRUbEcxFYIHzA&bvm=bv.121421273,d.dGo).

KPK

Pada tahun 2015 perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan melemah akibat perseteruan sengit antara KPK dan Polisi. Berdasarkan informasi dari rekaman suara “rapat Freeport,” (lihat http://www.kompasiana.com/pemburupelangi/skandal-freeport_5678c1b33f23bdcd04ea72c8), Megawati mendesak presiden Joko Widodo melantik mantan ajudannya, Budi Gunawan, sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Tapi KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus korupsi “rekening gendut.” Di bawah tekanan publik yang dahsyat, Joko Widodo akhirnya berkompromi dengan melantik Budi Gunawan hanya sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri). Penunjukan ini akal-akalan, sebab sesungguhnya Budi Gunawan tetap dijadikan tokoh terkuat di kepolisian. Alhasil, polisi menyerang balik dengan menuntut pimpinan KPK.

Posisi KPK saat ini jauh lebih rapuh dibandingkan saat polisi pertama kali melawan KPK pada tahun 2009. Berdasarkan berita yang dimuat majalah Tempo, saat itu KPK menetapkan besan Presiden Yudhoyono, Aulia Pohan sebagai tersangka. Polisi lantas menyerang balik dengan menangkap Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh sebagai otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen karena motif cinta segitiga. Proses peradilan yang sangat mencurigakan itulah mengakibatkan Antasari divonis bersalah. Selain itu, dua pemimpin KPK lainnya juga ditangkap dengan tuduhan yang sudah direkayasa, akan tetapi mereka berdua kembali bebas berkat derasnya tekanan opini publik. Sampai awal tahun 2016, pencapaian KPK masih nihil. Pemimpinnya ditetapkan menjadi tersangka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun