DPR- yang menguasai proses penentuan anggaran dan seleksi pimpinan KPK- berupaya untuk membuat rancangan undang-undang yang membatasi perekrutan anggota KPK hanya dari kepolisian dan kejaksaan, membatasi ruang gerak penyelidikan, serta penjadwalan baru untuk membubarkan KPK. Walaupun Presiden Joko Widodo melantik mantan ketua LSM terkenal Indonesian Coruption Watch (ICW) Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan, sejauh ini pelantikan itu terlihat sebagai bagian dari pencitraan politik saja. Widodo membiarkan kepentingan KPK semakin terongrong oleh serangan-serangan politik, termasuk dari dua tokoh terkuat dalam kabinetnya: Menkopolhukam Luhut Pandjaitan yang mengatakan revisi UU KPK bukanlah upaya pelemahan KPK, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memandang KPK sebagai ancaman bagi pembangunan ekonomi.
Kesimpulan
Di mata para pegiat anti-korupsi, kasus Indonesia ini sangatlah mengerikan. Kendatipun KPK telah berupaya melawan semaksimal mungkin praktik-praktik korupsi sejak tahun 2004, korupsi terbukti semakin merajalela. Jaringan-jaringan kekuasaan (yang meskipun saling berlawanan) di DPR, eksekutif, kepolisian dan kehakiman untuk sementara bersatu melawan KPK sebagai musuh bersama. Sungguh ironis bagi Indonesia yang memiliki sistem kedemokrasian terbesar ketiga di dunia dan yang menjadi teladan bangsa-bangsa Islam lain. Korupsi telah menjadi jantung bagi sistem kedemokrasian Indonesia. Ia dijalankan dan dijaga dengan “kesepakatan elit” seperti yang diuraikan John Higley. Pada bulan May 1998 dari regim Suharto ke Habibie, kesepakatan elit politik Indonesia ini dapat dibilang terbentuk secara diam-diam, konsequen dan terburu-buru (dalam suasana khas kultur elit Indonesia yang paternalistik dan tahu sama tahu).
Ia menjelma menjadi sekelompok aturan main tak tertulis dalam menata persaingan politik. Dengan melembaganya kesepakatan elit tersebut, kelanggengan demokrasi jadi terjamin. Proses pembagian kekuasaan politik maupun manfaat ekonomi diatur secara jauh lebih canggih dibandingkan dengan sistem politik demokrasi Anglo-Amerika. Maka itu, dapat disimpulkan, karena Indonesia tidak menempuh jalur kelembagaan yang menuju pada sistem kedemokrasian berkesinambungan yang tidak korup menyebabkan tidak adanya cara efektif untuk membasmi korupsi politik di Indonesia.
Howard Dick, Profesor Ekonomi dan Hukum/Indonesianis, Fakultas Ekonomi, University of Melbourne, Australia
Jeremy Mulholland, Presdir Investindo International Pty Ltd dan Peneliti Politik-Ekonomi/Indonesianis, Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H