Mohon tunggu...
Arfa Siti
Arfa Siti Mohon Tunggu... -

Pelajar yang menjadikan pengalaman sebagai guru sejati dan terus memperbaiki diri lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahasa Ala Politisi

30 Juni 2013   06:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:13 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh : Roy Martin Simamora

Hanya bisa berbicara, kalau lagi kacau balau, tanpa tahu membawa damai.
Melihat politisi kita yang sedang berdiri di depan orang banyak, berbicara tentang hal yang penting dan kadang tidak penting untuk didengar dengan bahasa yang membuat orang jadi multitafsir. Mungkin kita sering kesal, malas kalau melihat seorang politisi berbicara di khalayak ramai atau berasyik ria di TV dengan statement yang menurutnya sudah baik, padahal statementnya yang kita dengar belum tentu baik dan susah dicerna.

Bahasa adalah sarana menyampaikan pemikiran. Bahasa juga bisa digunakan sebagai sistem simbol. Sama seperti politik yang banyak menggunakan simbol atau konotasi untuk menyampaikan sesuatu agar terlihat abstrak sehingga maksud bisa disamarkan. Sayangnya saat ini tak banyak politisi memakai bahasa dengan apik sehingga makna jadi samar bahkan hilang.


Penggunaan bahasa dalam politik tidak selalu jahat karena bahasa sebagai alat yang sama digunakan politikus, aktivis, maupun praktisi. Bahasa bisa digunakan untuk memberitahu, mempengaruhi dan meyakinkan. Hal ini berkaitan dengan cara tokoh politik bagaimana menyakinkan masyarakat tentang kebijakan-kebijakannya, dan cara-cara masyarakat menanggapi keputusan tersebut.


Bahasa sangat penting dalam politik, sebagai aspek yang kuat sekali, juga terbuka, bisa digunakan orang yang berkuasa maupun orang biasa sekalipun. Alasan kekuatan bahasa adalah bahasa bisa mengubah pendapat/persepsi orang. Bahasa juga bisa digunakan mendalangi masyarakat, terutama bidang politik. Sebab pidato atau argumen yang bagus bisa menyakinkan masyarakat tentang isu-isu penting.


Selain itu, di kalangan politisi juga terjadi kecenderungan meniru gaya berbahasa orang yang paling berwibawa dan paling berkuasa pada masanya. Seperti di era reformasi sekarang ini, penggunaan bahasa para politisi cenderung dengan tipe-tipe eufimisme yang tidak jarang menimbulkan multitafsir.


Seperti pesan-pesan yang disampaikan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato-pidatonya. Meskipun diksi (pilihan kata) dan struktur kalimatnya bagus, tidak jarang menimbulkan kebingungan bagi masyarakat yang mendengarnya. Sehingga masyarakat Indonesia seolah-olah dituntut memiliki wawasan kebahasan yang dapat mengimbangi bahasa-bahasa para politisi.


Bahasa-bahasa ala SBY mulai mempengaruhi politisi lain dalam menggunakan bahasa. Mengkaji dan memahami penggunaan eufimisme atau bahasa-bahasa ‘plesetan’ yang terus meluas menjadi ‘PR’ baru bagi masyarakat Indonesia.

Menurut Peter Lewuk dalam bukunya Kritik Filosofis Atas Pembangunan, terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang umumnya digunakan kelompok elite kekuasaan. Salah satunya, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi alat menyatakan pikiran.


Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa sendiri. Wacana-wacana kampanye dan aneka idiom berisi janji-janji partai dengan mudah diwacanakan untuk mengisi sebanyak mungkin ruang dan wacana rakyat yang awam politik.


Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Bahasa-bahasa propaganda ditebar untuk menyiarkan kebencian. Propaganda dilakukan dalam rangka pembusukan nama baik orang lain, menyulut permusuhan dan konflik dalam masyarakat.


Bahasa-bahasa yang dilontarkan para politisi untuk menyerang lawan politiknya adalah hal yang biasa kita lihat. Saling serang dengan argumen seakan menjadi tontonan rutin kita ketika mereka muncul di tv. Tak hanya itu, politisi juga kerapkali mencampur-adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang menurutnya itu baik padahal sangat menyalahi tata bahasa Indonesia. Menurut mereka (Politisi) itu lebih nyaman. Serta tidak ada segan maupun rasa bersalah, mencampur-adukkan Bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam setiap ucapan, logat dan tulisan, hanya agar kelihatan pintar dan untuk bergaya.

Seorang politisi seharusnya dibekali penggunaan bahasa yang baik Dan benar. Dia harus menguasai unsur-unsur bahasa baru bisa mengeluarkan statement. Seringkali statement yang kita dengar tidak memenuhi syarat kebakuan. Ceplas-ceplos. Kita bisa melihat karakter dan sikap mereka kalau sedang diwawancarai. Plin-plan. Omong A hari ini, besok omong B. Menggunakan bahasa-bahasa kasar, menyakiti orang, melecehkan. Sebagai contoh, di televisi politisi Ruhut Sitompul mengatakan: “Bangsat!”, sahutnya ketika beradu argumen di parlemen karena tak mampu menahan diri melawan “kata-kata” politikus dari partai


lain. Bak kehabisan akal, disebabkan keterbatasan kosa kata. Bahasa yang digunakan tak bernalar, tak berproses berfikir, sehingga kerapkali kita sebut "Asbun".


Jadi, sebenarnya perlu seorang ahli bahasa di negeri ini sebagai juri, untuk menguji statement para elit politik kita, supaya yang mendengar tidak kebingungan dan salah tafsir.


Jelasnya, para politisi perlu belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga nalarnya juga benar. Sangat perlu kalau setiap politisi yang mengeluarkan statement perlu diuji bahasanya. Hemat saya, saat seorang politisi yang berbicara hendaknya memikirkan terlebih dahulu statement yang ingin dikeluarkan agar yang mendengar mudah mencernanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun